Semua bermula atas pernyataan Gus Bed, yang memberiku dua pilihan, bertahan atas sikap dinginnya atau minta cerai saja. Malam pertama yang kukira penuh kebahagiaan dan kehangatan. Tapi ... aku diabaikan.Bisa saja kuambil keputusan minta cerai, tapi bagaimana dengan keluargaku? Pernikahan kami bahkan belum sehari.Suatu malam, aku menunggu Gus Ubed dengan gelisah. Tangan menggenggam sachet obat yang kudapatkan tadi sore. Pikiran ini melayang pada kejadian tadi siang saat berdiskusi dengan salah seorang ustazah, teman mengajar di pesantren."Jadi boleh menggunakan obat perangsang?" tanyaku malu-malu."Kalau melakukannya dengan pasangan halal kenapa tidak? Asal kandungannya halal. Apalagi misal hubungan keduanya bermasalah karena urusan ranjang. Misal si suami atau si istri tidak bisa bergairah.""Tanpa sepengatahuan pasangan?" Kulebarkan mata, mengangkat kedua alisnya.
"Ya Allah, Ukhty. Itu istrinya sampe bela-belain beli obat perangsang lho." Ustazah Tika, salah seorang rekan mengajar sekaligus sahabatku menunjuk gambar seorang wanita dengan perut buncit dalam ponselnya."Lho kenapa? Dia cantik kok." Jelas aku penasaran. Aku juga ingin hamil anak suamiku, tapi mana mungkin terjadi jika disentuh saja tidak."Iya, pengen hamil tapi suaminya gak nafsuan. Mungkin karena terlalu stres bekerja. Jadi mereka berinisiatif pakai obat perangsang," jawabnya."Suaminya ndak marah?""Ya ndak lah, kan kesepakatan berdua. Mungkin dia juga jengah, masa hamilin bininya aja ndak bisa. Laki-laki itu harga dirinya tinggi. Dan itu kelemahan mereka." Tika bicara lebih lanjut.Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Andai Gus Bed begitu. Bisa diajak bicara memperbaiki hubungan kami yang hambar. Apa gunanya aku menggebu-gebu menci
Aku menunggu Gus dengan gelisah. Segala sesuatunya telah kupersiapkan termasuk penampilan yang sudah mirip pelacur. Tapi bukankah menggoda dan genit pada suami itu halal dan dianjurkan? Jika aku tak bisa mendapatkan Gus lantaran dia menutup hati, biar aku yang datang dan membukanya dengan caraku.Dua jam menunggu Gus Bed, dan tak ada tanda-tanda ia datang. Aku mulai lelah dan mengantuk. Hingga kurasakan seseorang menyentuhku. Ketika membuka mata dengan berat, pria berwajah tampan itu memegangi tubuhku di atas ranjang.Namun, bukan tatapan penuh gairah yang membuatku hangat, atau ciuman bahwa ia menginginkanku, Gus bergerak menjauh karena kaget.Dia masih dingin, meski raga kami tak ada jarak seperti ini.Aku sangat malu. Segera kuraih selimut dan minta maaf. Bangkit dari ranjang. Untung saja obat yang kubeli kemarin masih dalam genggaman."Em, biar saya buatkan minuman hangat untuk
Namun, mataku melebar sempurna. Terhenyak kaget, ketika tangan kekar melingkar di perut."Dek Liana ... percaya lah, abang hanya mencintai Adek."Hatiku sakit. Dia menyebut nama Liana dan mengatakan secara blak-blakan perasaannya. Airmataku kembali jatuh. Kuabaikan semua itu. Mengikuti ritme yang Gus ciptakan kala menghadirkan kehangatan di antara kami. Cinta memenuhi dada kami. Aku tak peduli jika cinta dalam hatinya hanya untuk Liana.Kami menjalani malam pertama tanpa kesadaran dari Gus Bed. Malam yang singkat baginya, karena usai mencapainya Gus kembali memejamkan mata. Menumpuk lelahnya dalam tidur. Ia bahkan tak sadar saat aku mencium dan memeluknya.Namun, meski begitu bagiku ini adalah malam yang panjang. Malam pertama kali pria yang kucintai menyentuhku dengan cara halal.________Sebulan telah berlalu ....Di acara tahunan pesantren, kami ber
Bahagianya .... Allah sangat baik. Meski tadinya aku berbuat curang memasukkan obat perangsang, bukan kah suatu kejadian tak akan terjadi tanpa izin Allah? Dan sekarang Dia mengirim hadiah terbaik untuk menyatukan aku dan Gus Bed. Kehadiran bayi ini pasti mampu merobohkan pagar yang Gus bangun antara kami.Kutunjukkan dua garis yang masih terlihat samar pada Ning Aishwa dan Liana. Kakak iparku tentu saja senang, tapi ... tidak dengan Liana. Wajah perempuan itu syok! Dia melangkah pergi begitu saja tanpa mengucap apa-apa padaku. Bahkan sekadar ucapan selamat."Wah, kenapa Liana seperti itu sikapnya? Bukannya dia harusnya kasih doa dan selamat?" Ning Aishwa mempertanyakan sikap Liana."Ehm. Biar saja Mbak, mungkin Liana belum bisa terima. Wajar saja kan. Dia pasti menyimpan cemburu," ucapku. Yah, dari dulu aku biasa bicara blak-blakan pada puteri kiai ini.Seperti halnya aku yang sangat cemburu p
Setiap hari aku dan Ibu Liana menjaga Gus juga Liana secara bergantian. Di samping keluarga yang datang setiap hari.Menebus obat, melapor kondisi terbaru. Juga memeriksa barangkali ada pergerakan. Meski memiliki kecemburuan pada Liana, aku berusaha ikhlas. Menjaga dan merawatnya, tak membedakan dengan yang kulakukan pada Gus Bed.Ibu Liana banyak diam saat aku memasuki kamar puterinya. Dia sepertinya belum ridha atas pernikahan kedua sang menantu.Sudah hampir seminggu, keduanya belum juga sadar. Kami bahkan punya kekhawatiran bahwa keduanya tak akan bisa bangun. Lantaran kecelakaan yang mereka alami mengakibatkan luka dalam serius.Hingga memasuki minggu kedua, saat aku menjaga Gus Bed di malam hari ..."Dek ...."Terdengar pelan suara dari lisan Gus yang sudah san
"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng."Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop."Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu."Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap."Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.
Akhirnya lelakiku pergi, menemui istri pertama yang sangat dicintai. Meninggalkanku dengan hati yang remuk dan semakin remuk. Lelaki yang tetap tampan meski terlihat pucat dan marah itu dibantu kakak iparnya.Mbak Aishwa dan Umi Aisyah bahkan hanya menatapku sesaat lalu mengikuti Gus Bed pelan.Aku harus menguatkan hati untuk tidak menangis di sini. Menahan semua rasa sakitku sendiri. Entah, sebenarnya masih ada kah yang menginginkan kehadiranku, Tuhan? Mungkin akan lebih baik aku menghilang, dan membuat mereka semua bahagia, tanpa aku yang mengotori pandangan.Allah ... Astaghfirullah. Hanya padaMu hamba berpegang.Kulangkahkan kaki pelan, berpura-pura tak peka akan sikap semua orang, dan merasa baik-baik saja.Meniti lantai keramik yang berjajar rapi memenuhi lorong teras rumah sakit, pikiranku kembali mengembara. Memikirkan semua kejadian. Sikap Gus