“Iya sih, masih keliihatan oke, ganteng juga. Tapi, ya Tuhan … masa jodoh gue seumuran bapak-bapak gini, sih? Yang bener aja?”
Nala akhirnya menerima tawara gila dari pria asing bernama Bastian Wilantara itu. Entah bagaimana latar belakang laki-laki itu, Nala sendiri tak tau sama sekali. Karena satu-satunya hal yang dirinya ketahui adalah usia laki-laki itu yang sepantaran dengan mamanya.Pernikahan mereka dilaksanakan begitu kondisi Nala pulih sempurna. Sudah tidak memakai kursi roda, Nala kini bisa berdiri kokoh, dengan riasan yang begitu pas di wajahnya. Sayang, riasan indah itu tidak seindah senyumannya.Dibanding Bastian, pengantin prianya itu justru menebar senyum merekah, seakan-akan menipu dunia bahwa dirinya bahagia dengan pernikahan ini. Sedangkan Nala, tersenyum kaku, seolah memamerkan ia benar-benar terpaksa menikahi bandot tua itu."Awas jangan lama-lama, lanjut nanti malam aja!"Teriakan seorang tamu di pernikahan mereka, disusul dengan siulan bernada menggoda itu membuat Nala cepat-cepat menarik dirinya yang tengah ‘menikmati’ ciuman pertama mereka sebagai sepasang suami-istri.“Congor siapa sih itu, nggak sopan banget!"Nala memberikan tatapan yang ramai disebut bombastic side eye pada laki-laki yang duduk di bangku paling depan dan kini tengah tertawa lebar tanpa beban."Akh!" Nala memekik pelan saat tiba-tiba saja pinggangnya dirangkul posesif. Saat ia menoleh, yang didapatinya adalah senyuman manis Bastian. Deretan gigi putihnya terlihat dengan jelas, begitu juga dengan lesung pipitnya yang menambah pesonanya.Mudah bagi Bastian untuk membaca raut wajah kesal Nala. Ia memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan telinga istrinya dan berbisik, "Udah, nggak usah diladenin. Anggep aja orang gila."Nala membalas lembut senyuman itu sembari melepaskan dengan perlahan tangan besar yang masih melilit pinggangnya. Agak tak nyaman untuknya.“Oke, tapi nggak usah curi-curi kesempatan juga, dong, Om!” katanya sarkastik.Pesta pun terus berlanjut hingga malam hari, kedua pengantin tampak sibuk memberikan senyuman hangat—ralat, hanya berpura-pura memberikan senyuman hangat sebagai balasan dari do'a yang dilontarkan para tamu undangan. Menyalami satu per satu tamu yang datang benar-benar terasa menguras semua tenaga yang ada.Rasanya, tamunya tak habis-habis. Seperti seluruh penduduk di dunia ini turut hadir dalam acara kali ini.
Sorot mata Nala langsung membola saat melihat kehadiran kawan-kawannya yang tampak tersenyum ke arahnya. Seketika saja rasa lelahnya hilang.
Namun, mata Nala terus memutar … mencari sosok yang ingin ia lihat, tetapi tidak ditemukan. "Dewa mana? Kok nggak bareng kalian?" Temannya kurang satu, apakah yang dimaksud Diana tadi adalah Dewa?"Oh—Dewa, anu, dia lagi sakit, Nal. BAB. Tapi udah nitip amplop sama gue kok, jadi aman.”Teman-teman Nala bukan tak tau bagaimana latar belakang pernikahan sahabatnya itu. Namun, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa memberikan doa serta harapan baik untuk Nala dan juga pernikahannya, semoga sahabatnya itu bahagia. Usai sesi foto bersama teman-temannya, kening Nala kembali dibuat berkerut melihat interaksi antara salah seorang teman laki-lakinya dan laki-laki yang telah resmi berstatus sebagai suaminya tersebut.Samar, Nala mendengar apa yang diucapkan temannya itu."Tenang aja, Om. Ini obat ampuh banget biar nggak cepet loyo, bukannya mau ngeremehin Om nih ya, tapi umur emang nggak bisa dibohongin, Om." Tangan teman Nala itu bergerak pelan memasukkan sesuatu ke dalam kantung kemeja yang digunakan Bastian. Jangan lupakan senyuman jahil yang menghiasi bibirnya itu.Bastian sendiri tampak menaikkan kedua alisnya dan membiarkan benda asing itu tersimpan masuk ke dalam sakunya, sebelum akhirnya teman Nala itu menepuk pelan pundaknya dua kali dan berlalu pergi. Sok akrab memang.Tentu saja Nala tak bisa menahan senyum melihatnya, kelakuan temannya ini memang diluar brediksi BMKG. Sialnya senyuman itu tak berlangsung lama, Nala menghembuskan napas kesal saat melihat gerombolan temannya itu malah asik memakan berbagai macam hidangan yang tersedia. Memang, soal makanan tidak akan dilewatkan oleh mereka. Otak teman-temannya itu bisa dibaca dengan mudah, kaum mendang mending dan tak mau rugi seperti dirinya sendiri.Melihat arah pandang Nala, Bastian pun sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa menjangkau Nala. "Laper? Mau aku ambilin makan dulu?"Bisikan itu begitu dekat di telinga Nala, membuatnya terkejut karena tiba-tiba ada sesuatu yang hangat berembus di area sensitifnya. Buru-buru ia menggelengkan kepalanya serta menjauhkan dirinya. "Nggak usah, nanti aja makannya.""Yakin? Masih sekitar satu jam lagi acaranya," tanya Bastian memastikan.Nala memutar bola matanya malas, ia begitu sensitif saat ini. Rasanya melihat apapun yang suaminya lakukan padanya malah membuat emosinya semakin membara. Baginya, lebih baik laki-laki itu diam seperti patung saja. Ini juga, memangnya siapa lagi sih tamu yang belum datang? Kok banyak banget perasaan. Itu saja tidak ada yang dirinya kenal selain teman-temannya. "Iya, nanti aja. Tanggung. Udah deh, jangan bawel," balas Nala dengan nada sewot.Bastian menganggukkan kepalanya, tak berniat memaksa jika si pemilik tubuh tak mau.Satu jam setelahnya acara yang teramat panjang itupun benar-benar berakhir. Orang pertama yang merasa lega tentu saja Nala, karena secepatnya ia bisa melepaskan gaun yang berat ini dari tubuhnya."Biar saya bantu."Kening Nala langsung berkerut saat melihat laki-laki yang usianya lebih cocok sebagai papanya itu melangkah mendekat ke arahnya, tangannya yang besar terulur untuk membuka resleting gaun yang dikenakannya. Rupanya kepekaan laki-laki itu begitu tinggi. Tentu saja Nala sendiri tak bisa menolaknya meskipun sebenarnya ia enggan, sebab tangannya sendiri tak mampu menjangkau bagian belakang tubuhnya.Huh—Memang gaun pernikahan didesain seperti ini kah? Resleting dibuat susah untuk dibuka seorang diri agar pengantin wanita meminta bantuan pada suaminya untuk membukanya?Nala menahan napas saat merasakan hembusan hangat itu menerpa punggungnya yang begitu polos. Bulu kuduknya merinding seketika, sebelum akhirnya ia memejamkan mata. Tiba-tiba saja otaknya malah membayangkan dirinya bersenggama dengan laki-laki tua. Dan, hal itu membuatnya terasa ingin muntah.‘Palingan rasanya cuma kaya digelitiki capung, nggak bakalan berasa.’ Seketika, Nala kembali dihinggapi penilaian buruk terhadap Bastian, suaminya.Mengingat akan malam pertama mereka, Nala seketika ingat juga pada sesuatu yang diberikan oleh temannya tadi pada Bastian."Om, kalau mau minta jatah malam ini, mendingan obat dari temen gue diminum dulu deh, Om.” Matanya kemudian melirik ke arah pangkal paha Bastian dengan tanpa minat. “Gue nggak mau ya, Om, kalau tiba-tiba Om udah loyo duluan pas gue belum selesai.” Seolah belum cukup, ia kembali melanjutkan lontaran isi hatinya. “Tenang, gue nggak berharap Om bakalan puasin gue juga kok. Gue sadar diri juga gimana kondisi partner-nya."'Nggak tertarik sama body kamu."Ah, sial! Kata-kata itu terus terngiang di telinga Nala. Tadi, usai Nala terus memojokkan Bastian yang dianggapnya loyo, tahu-tahu pria itu mendekat dan membisikkan kata-kata itu di telinganya.Nala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, geram. Kenapa sih susah sekali untuk menghilangkan memori itu dari otaknya? Ia menarik nafas panjang guna menormalkan kembali emosinya. "Brengsek! Dikiranya gue tertarik apa sama bentukan kek gitu?! Gue aja ragu itu monas masih bisa berdiri!"Disibak dengan kasar selimut tebal yang menutupi tubuhnya saat ini. Setiap langkah kakinya begitu menghentak, menunjukkan betapa kesalnya ia saat ini."Dasar Om Tua, sialan!"Gerakan kaki Nala terhenti setelah ia berdiri di depan meja rias. Ia mendudukkan bokongnya di kursi kayu dengan ukiran seperti bunga-bunga batik. Kini, pandangannya tertuju sepenuhnya pada wajah kusutnya dari pantulan cermin. Ia menatap iba pada wajah yang tak bahagia di sana. Pernikahan seharusnya m
Malam pertama Nala ia habiskan dengan berbagi cerita bersama Dewa. Nala tak menutup mata, ia tau jika Dewa menaruh rasa padanya, sementara Dewa sendiri juga tau jika Nala justru menaruh hati pada Kak Rafi, yang notabe-nya adalah kakaknya sendiri.Percakapan yang berisi penuh dengan kata-kata penghibur itu berakhir saat jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Nala membaringkan tubuh lelah itu di ranjang, matanya tak kunjung mengantuk, membuatnya hanya bisa menatap langit-langit kamar. Entah jam berapa tepatnya Nala benar-benar tertidur, terakhir kali dirinya melihat jam masih menunjukkan pukul 3 pagi."Eughh."Jika biasanya pasangan baru akan mengambil cuti dari semua aktivitas yang dilakukan sehari-hari, maka berbeda dengan Nala. Ia sama sekali tak memiliki kesepakatan melakukan hal itu dengan laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya tersebut, jangankan melakukan kesepakatan, sekedar untuk berbicara ringan saja hampir tak pernah."Ah! Pusing." Nala memegangi kepalanya yang ter
Hah, suasana di meja makan begitu tegang. Dua wanita berbeda usia itu saling melemparkan tatapan ganas, seakan-akan siap untuk menerkam lawannya kapan saja. Sementara Bastian yang baru bangun dari tidurnya masih mengeluh pusing. Pasalnya, tiba-tiba Nala menggedor-gedor pintu kamarnya hingga membuatnya terlonjak kaget."Ya ampun, cuma masak mie doang? Bisa-bisanya punya Istri kok begini."Nala diam, mengamati bagaimana lawan bicaranya ini menyudutkannya, sembari menunggu respon dari laki-laki yang baru menikahinya tersebut. Apakah akan membelanya?"Di dapur nggak ada apa-apa yang bisa dimasak, belum belanja. Aku lupa," sahut Bastian yang membuat Nala langsung tersenyum senang mendengarnya. "kamu juga ngapain pagi-pagi ke sini? Kapan pulangnya?""Semalem. Jahat banget kamu tuh!"Bastian pusing. Kepalanya terasa pusing karena Sonya dan juga sisa-sisa minumnya semalam. Diliriknya ke arah Nala yang tampak diam saja menyimak obrolannya dengan Sonya. "Nggak kuliah?"Brakkk"Lah, iya! Kok bis
"A--Nal." Mendadak tubuh Bastian terasa membeku, susah payah ia menelan ludahnya sendiri dengan pandangan yang masih tertuju pada wanita di depannya ini yang masih setia menunggu jawaban darinya.Dari reaksi terkejut yang diperlihatkan Bastian tentu saja Nala tau apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, membuatnya menganggukkan kepalanya samar. "Ayo, Om. Kita pulang."Tanpa menunggu lama lagi, Bastian kembali menyalakan mesin mobilnya, melajukannya dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota. Di sampingnya, Nala hanya diam sembari menatap lurus jalanan yang ada di depannya.TuutttPonsel Nala berdering, membuatnya buru-buru meraihnya, menatap sejenak nama yang tertera, dan menggeser icon berwarna hijau. "Ya, gimana?" tanyanya setelah meletakkan ponselnya di telinga."Aman. Dewa udah baikan, mungkin nanti sore atau besok pagi bakalan pulang.""Gue seneng dengernya. Bilangin sama dia, jangan banyak makan pedes. Oh iya, gue b
"Makanya hati-hati." Bastian mengoleskan obat pada kaki Nala yang luka akibat terjatuh.Meringis tat kala obat itu menciptakan rasa perih untuknya. "Iya, maaf. Tadi aku kira itu gambar apaan, otak gue aja yang kotor ternyata." Laki-laki dihadapannya ini hanya fokus mengobati lukanya, membuatnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sial! Yang dilihatnya malah wanita itu tengah menatapnya sinis. "kenapa, Tan? Gitu banget lihatinnya."Sonya mendengus kesal. "Tanggung jawab, minuman gue sampe tumpah gara-gara lo.""Kok? Gue?" Nala menunjuk dirinya sendiri. Perasaan ia tidak melakukan apapun yang merugikan wanita itu, kenapa ia bersalah?"Heh! Gara-gar--""Udah." Sahut Bastian. Ia tak ingin mendengar keributan lagi kali ini. "udah selesai, bisa kan masuk kamar?" Nala menganggukkan kepalanya.Sebenarnya masih perih, tapi ia masih cukup tau diri untuk tidak lebih merepotkan lagi. Untung saja kakinya tidak sampai pincang. Langkah kakinya terhenti saat ia hendak melewati foto tadi, dipandanginya
"Kenapa, sih? Kok diem aja dari tadi?" Dina meraih segelas jus mangga yang ada di depannya, sejak tadi belum tersentuh sama sekali.Tak ada yang tau pertanyaan itu ditujukan pada siapa, hingga tak ada yang menanggapinya."Nal?"Nala sontak saja langsung menoleh ke arah Dina, menaikkan sebelah alisnya karena tak paham. "Oh, tadi ngomong sama gue?""Setan.""Ya, maaf. Kan disini yang diem gue sama Argi, nggak tau kalau itu pertanyaan buat gue." Nala menyimpan kembali ponselnya ke atas meja, beralih memfokuskan diri pada teman di sampingnya ini. "gue sebenarnya kangen Mama, bingung."Suasana mendadak berubah. Baik Dina sendiri, Argi, maupun Dewa sama-sama menelan ludahnya sendiri.Menyadari suasana yang berubah karena ucapannya, membuat Nala menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kangen aja, nggak ada niatan gimana-gimana.""Iya, paham. Wajar kok." Argi membuka suara, ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya, "eh, gimana wiu wiu-nya? Mantep, nggak?"Tak ada
Tak hanya Nala, Bastian juga terlonjak kaget karena teriakan melengking Nala. Nala langsung membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar dari kamar.BrakkHah ... hah ... hahDibalik pintu yang baru saja tertutup, deru nafas Nala masih terdengar, dadanya kembang kempis. Apa yang baru saja dilihatnya barusan masih terbayang jelas dalam ingatannya."Apaan tadi, woi?" Ditepuknya dengan kasar kedua pipinya itu. Berharap dengan melakukan ini akan mengembalikan kewarasan otaknya. "sakit." Tepukannya berubah menjadi elusan di wajahnya. Rasanya masih panas, kedua pipinya pasti tengah memerah.Ceklek"Astaga!" Nala terlonjak kaget. Spontan saja ia langsung menoleh ke arah sumber suara. Di mana Bastian keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuhnya.Mendadak keduanya sama-sama canggung. Bastian menggaruk belakang kepalanya, sementara Nala sendiri membuang pandangannya ke arah lain sembari mengatur nafasnya."Emm, maaf ya, Om. Tadi malah lancang masuk-masuk ke dalam." Nala meringis, rasa ingin
"Hah? Kenapa, Om?" Buru-buru Nala menghampiri Bastian, lengkap dengan raut wajah penasarannya. "urgent, Om?"Melihat Nala yang terlalu antusias, bahkan meletakkan dengan kasar gelas dan teko di atas meja sebelum mendudukkan bokongnya di kursi, membuat Bastian lekas meletakkan alat makannya dan beralih menatap Nala. "Saya ada kerjaan di Jogja.""Lha? Itukan kerjaannya Om, terus maksudnya gimana?""Saya nggak mungkin ninggalin kamu sendiri."Nala mendengus, itu bukan alasan yang terdengar bagus di telinganya. "Biasanya juga sendiri, Om. Jangan khawatir.""Ini rumah, bukan apart. Nggak ada jaminan keamanan di sini, jangan ngeyel, ya."Kalimat terakhir yang Nala dengarnya terasa menggelitik telinga. Nadanya mengalun lembut. Aduh, tidak sesuai dengan mimik Bastian yang masih datar. "Kemarin juga Om nggak pulang, berani-berani aja tuh. Ya ... meskipun awalnya takut juga, sih, tapi nggak apa-apa, kok."Raut wajah Bastian mendadak terkejut, setelahnya pandangannya berubah memelas. Iya, ia aku