Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
"Gimana Nala bayarnya, Ma?" Bayangan jika dirinya tak bisa membayar biaya rumah sakit mamanya, benar-benar membuat Nala takut. Jika ia tak bisa membayar biaya rumah sakit, maka sama saja dengan ia membunuh sang Mama, 'kan? "Tuhan ... tolong bantu hambamu ini." Buliran air matanya menggenang di pelupuk mata.Pemandangan mamanya yang tengah berbaring dengan berbagai alat bantu dari balik kaca panjang pintu itupun semakin buram, sampai pada akhirnya tangisnya kembali tak terbendung. Ia terisak, tanpa suara sebab tadi ia sudah banyak menangis dan meraung.Suara bariton tiba-tiba menyentak Nala yang tengah terisak hebat itu."Biar saya yang bayar biaya rumah sakit Mama kamu!"Pandangan mata Nala langsung beralih ke arah sumber suara dengan kening berkerut. “Maaf?” Ia mengerutkan dahi, lalu menghapus lelehan air mata di pipi dengan cepat.“Saya cuma mau nolong kamu.”Pria dengan tinggi menjulang dan pesona rupawan itu berkata dengan ekspresi dingin.“Ya Tuhan, apa lagi ini?” Nala memejamka
“Iya sih, masih keliihatan oke, ganteng juga. Tapi, ya Tuhan … masa jodoh gue seumuran bapak-bapak gini, sih? Yang bener aja?” Nala akhirnya menerima tawara gila dari pria asing bernama Bastian Wilantara itu. Entah bagaimana latar belakang laki-laki itu, Nala sendiri tak tau sama sekali. Karena satu-satunya hal yang dirinya ketahui adalah usia laki-laki itu yang sepantaran dengan mamanya.Pernikahan mereka dilaksanakan begitu kondisi Nala pulih sempurna. Sudah tidak memakai kursi roda, Nala kini bisa berdiri kokoh, dengan riasan yang begitu pas di wajahnya. Sayang, riasan indah itu tidak seindah senyumannya.Dibanding Bastian, pengantin prianya itu justru menebar senyum merekah, seakan-akan menipu dunia bahwa dirinya bahagia dengan pernikahan ini. Sedangkan Nala, tersenyum kaku, seolah memamerkan ia benar-benar terpaksa menikahi bandot tua itu."Awas jangan lama-lama, lanjut nanti malam aja!"Teriakan seorang tamu di pernikahan mereka, disusul dengan siulan bernada menggoda itu membu
'Nggak tertarik sama body kamu."Ah, sial! Kata-kata itu terus terngiang di telinga Nala. Tadi, usai Nala terus memojokkan Bastian yang dianggapnya loyo, tahu-tahu pria itu mendekat dan membisikkan kata-kata itu di telinganya.Nala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, geram. Kenapa sih susah sekali untuk menghilangkan memori itu dari otaknya? Ia menarik nafas panjang guna menormalkan kembali emosinya. "Brengsek! Dikiranya gue tertarik apa sama bentukan kek gitu?! Gue aja ragu itu monas masih bisa berdiri!"Disibak dengan kasar selimut tebal yang menutupi tubuhnya saat ini. Setiap langkah kakinya begitu menghentak, menunjukkan betapa kesalnya ia saat ini."Dasar Om Tua, sialan!"Gerakan kaki Nala terhenti setelah ia berdiri di depan meja rias. Ia mendudukkan bokongnya di kursi kayu dengan ukiran seperti bunga-bunga batik. Kini, pandangannya tertuju sepenuhnya pada wajah kusutnya dari pantulan cermin. Ia menatap iba pada wajah yang tak bahagia di sana. Pernikahan seharusnya m
Malam pertama Nala ia habiskan dengan berbagi cerita bersama Dewa. Nala tak menutup mata, ia tau jika Dewa menaruh rasa padanya, sementara Dewa sendiri juga tau jika Nala justru menaruh hati pada Kak Rafi, yang notabe-nya adalah kakaknya sendiri.Percakapan yang berisi penuh dengan kata-kata penghibur itu berakhir saat jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Nala membaringkan tubuh lelah itu di ranjang, matanya tak kunjung mengantuk, membuatnya hanya bisa menatap langit-langit kamar. Entah jam berapa tepatnya Nala benar-benar tertidur, terakhir kali dirinya melihat jam masih menunjukkan pukul 3 pagi."Eughh."Jika biasanya pasangan baru akan mengambil cuti dari semua aktivitas yang dilakukan sehari-hari, maka berbeda dengan Nala. Ia sama sekali tak memiliki kesepakatan melakukan hal itu dengan laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya tersebut, jangankan melakukan kesepakatan, sekedar untuk berbicara ringan saja hampir tak pernah."Ah! Pusing." Nala memegangi kepalanya yang ter
Hah, suasana di meja makan begitu tegang. Dua wanita berbeda usia itu saling melemparkan tatapan ganas, seakan-akan siap untuk menerkam lawannya kapan saja. Sementara Bastian yang baru bangun dari tidurnya masih mengeluh pusing. Pasalnya, tiba-tiba Nala menggedor-gedor pintu kamarnya hingga membuatnya terlonjak kaget."Ya ampun, cuma masak mie doang? Bisa-bisanya punya Istri kok begini."Nala diam, mengamati bagaimana lawan bicaranya ini menyudutkannya, sembari menunggu respon dari laki-laki yang baru menikahinya tersebut. Apakah akan membelanya?"Di dapur nggak ada apa-apa yang bisa dimasak, belum belanja. Aku lupa," sahut Bastian yang membuat Nala langsung tersenyum senang mendengarnya. "kamu juga ngapain pagi-pagi ke sini? Kapan pulangnya?""Semalem. Jahat banget kamu tuh!"Bastian pusing. Kepalanya terasa pusing karena Sonya dan juga sisa-sisa minumnya semalam. Diliriknya ke arah Nala yang tampak diam saja menyimak obrolannya dengan Sonya. "Nggak kuliah?"Brakkk"Lah, iya! Kok bis