Share

Bab 2. Gwencana

Bohong bila Sheyra berkata tidak masalah mengenai kepergian Kafka ke benua seberang untuk meraih impiannya. Kenyataannya, hal itu hanya terucap di bibirnya saja dan tidak dengan hatinya. Jika boleh meminta, Sheyra ingin Kafka melanjutkan studinya masih dalam tanah air saja, tidak sampai harus ke luar negeri yang jaraknya begitu jauh dari jangkauan.

Namun, ketika mendengar Kafka menceritakan segala mimpi-mimpinya yang telah laki-laki itu susun dengan sedemikian rupa, rasanya Sheyra tidak berhak untuk melarang dan mencegahnya.

Seperti Kafka yang mempunyai mimpi, begitu juga dengan Sheyra. Dia selalu bermimpi setelah lulus kuliah nanti, Sheyra ingin bekerja dan mengumpulkan uang untuk modal menikah dan bisa hidup bersama Kafka setiap harinya. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan tentang semuanya di bawah satu atap yang sama, dan masih banyak impian-impian lainnya yang ingin Sheyra lakukan bersama Kafka.

Mungkin karena hanya Kafka, satu-satunya manusia yang bisa Sheyra jadikan sebuah rumah ternyaman nya. Laki-laki itu mampu memahami Sheyra lebih dari ayahnya sendiri. Kafka tak hanya menjadi kekasihnya, melainkan telah menjadi teman hidup Sheyra juga. Oleh karena itu, Sheyra ingin Kafka menjadi teman di seumur hidupnya dengan meresmikan hubungan menuju ke jenjang yang lebih serius.

Namun, ekspektasi manis itu terkadang tak selalu berjalan sesuai realita. Kenyataannya, hanya Sheyra yang menginginkan pernikahan itu cepat dilaksanakan sementara Kafka menginginkan mengejar mimpinya terlebih dahulu. Padahal, bukankah Kafka dan Sheyra bisa mengejar mimpi bersama setelah menikah nanti?

"Sheyra?" panggil sebuah suara yang membuat lamunan Sheyra tersentak. Bergerak, Sheyra memindai sekitar dan dia mendapati jika seluruh keluarganya telah berkumpul di meja makan. Bukan! Maksud Sheyra bukan keluarganya, melainkan keluarga papanya.

"Kamu jauh-jauh dari kost ke sini cuma mau melamun?" tanya Tante Utari, istri papanya yang tidak lain merupakan ibu tiri Sheyra.

Nada suara Tante Utari tidaklah sinis, melainkan terkesan lembut. Namun, entah mengapa Sheyra selalu menangkap nada tak suka dari ibu tirinya itu setiap kali sang Papa mengundangnya untuk melakukan makan malam bersama.

"Udah, Ma. Mungkin Sheyra memang sedang banyak pikiran," ujar sang Papa berniat menengahi perang di antara anak dan istrinya itu.

"Banyak pikiran kenapa? Dia kuliah sama ngekost juga dibayarin Papa. Hidupnya udah enak. Kurang apa coba?"

Sheyra mengepalkan telapak tangannya dengan erat dan menggigit bibirnya setelah mendengar perkataan dari ibu tirinya itu. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menelusup masuk menuju relung kalbunya.

"Memangnya kalau keliatannya nggak punya beban, nggak boleh melamun ya, Ma?" sahut Radit, saudara tiri Sheyra dari pernikahan sang Ayah dengan Tante Utari.

"Nggak boleh lah. Ngelamunin apa emangnya?" ketus Tante Utari yang membuat Radit menggeleng pelan.

"Banyak lah. Bisa aja, Kak Sheyra lagi ngelamunin Mama karena sikap Mama selalu gitu ke Kakak."

Sheyra pun melirik ke arah Radit yang kini telah mengambil posisi duduk pada kursi yang berhadapan dengannya, yang hanya dibatasi dengan sebuah meja. Radit mengerlingkan satu matanya kemudian tersenyum manis menatap Sheyra. "Iya nggak, Kak?" tanya remaja yang baru duduk di kelas sepuluh itu sambil mengangkat satu alisnya.

Seketika, Sheyra melotot kesal yang justru membuat Radit terkekeh pelan. Adiknya itu memang senang sekali menjahilinya. Walau demikian, Sheyra tidak menjadikannya suatu masalah. Justru, dia menganggap bahwa sikap Radit itu merupakan sikap refleks sebagaimana adik menjahili kakaknya. Karena sikap Radit itulah, perasaan Sheyra yang semula tidak nyaman, berubah menjadi lebih baik saat berada di rumah 'ayah dan keluarga barunya'.

"Udah ... Udah. Kita makan dulu ya. Nanti keburu dingin." Papa menginterupsi semuanya guna menghentikan perdebatan yang selalu terjadi di meja makan itu.

Beruntung, Utari tak lagi ingin menyerang Sheyra begitu juga Radit yang akhirnya menurut pada perintah sang Papa. Makan malam pun berjalan dengan lancar sampai semuanya menandaskan makanan yang terhidang di atas meja.

Tidak berapa lama, seorang ART di rumah papanya datang untuk membereskan alat-alat makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Setelah meja makan kembali dalam keadaan bersih dan hanya menyisakan keranjang berisi buah-buahan beraneka jenis itu, sang Papa pun berdehem, pertanda akan ada pembicaraan yang serius.

"Kamu .. acara wisudanya kapan?" tanya Papa yang tertuju pada Sheyra.

"Masih dua minggu lagi, Pa," jawab Sheyra sambil berusaha mengulas senyum tipisnya.

Sang Papa pun tampak mengangguk-angguk dengan alis yang saling bertaut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak Sheyra ketahui.

"Sepertinya, Papa nggak bisa datang di acara wisuda kamu. Nggak tau kalau Mama—"

"Aku juga nggak bisa, Pa. Sibuk," sela Tante Utari cepat.

Sheyra tersenyum getir dengan dada yang menahan sesak karena ribuan belati seperti sedang menghujam ulu hatinya. "Nggak papa, Pa. Lagian, acara gitu-gitu cuma formalitas aja. Aku juga nggak tau mau datang atau nggak. Yang penting 'kan aku udah bener-bener lulus dan menyelesaikan studiku," jawab Sheyra berusaha menguatkan dirinya sendiri.

"Baguslah. Jadi, kamu nggak buat repot keluarga."

"Ma," tegur Radit dengan suara yang pelan, mungkin agar tak terkesan membentak mamanya yang telah berbicara seenaknya saja.

Tante Utari justru membuang muka setelah sebelumnya menatap sengit ke arah Sheyra.

"Nggak papa, Kak. Nanti biar aku yang datang ke acara wisuda Kakak," ucap Radit dengan senyuman yang membuat Sheyra pun ikut tersenyum sambil menatap Radit dengan hangat.

"Nggak boleh. Kalau kamu datang ke acara itu gimana sekolah kamu?" sela Tante Utari tampak kesal dengan keputusan putranya yang sangat berseberangan dengan jalan pikiran beliau.

"Tinggal izin ke guru aja, Ma. Gampang," balas Radit tanpa beban sambil menjentikkan ibu jarinya pada telunjuk.

Hal itu membuat Tante Utari marah dan meninggalkan meja makan lebih dulu. Melihat kepergian istrinya itu, sang Papa pun menyusul hingga di meja makan itu menyisakan Sheyra dan Radit saja. "Makasih ya, Dit," ujar Sheyra terharu.

Radit mengangguk tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya, jumawa.

"Kakak pulang dulu ya, Dit," pamit Sheyra, setelah di rasa tidak ada lagi keperluannya di sana.

"Yaah. Kenapa nggak nginep aja sih, Kak?" pinta Radit memohon, tetapi segera mendapat jawaban dari Sheyra berupa sebuah gelengan kepala.

"Kakak pergi dulu ya. Habis ini, kamu langsung tidur, jangan kebanyakan main game."

Setelah berkata demikian, Sheyra pun beranjak dari duduknya kemudian melambaikan tangan sebagai salam perpisahan atas berakhirnya perjumpaan Sheyra dengan Radit.

Ketika langkah kakinya sudah melewati gerbang rumah mewah tersebut, saat itu juga Sheyra tak mampu membendung perasaan marah dan kecewanya pada sang Papa. Dia meluapkannya dengan menangis sampai tetes demi tetes air matanya mengalir begitu deras membasahi pipi.

"Nggak papa, Shey. Nggak papa," gumam Sheyra berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Namun karena ucapan dirinya sendirilah, Sheyra merasa telah menjadi manusia yang paling menyedihkan. Dia selalu berusaha berkata 'tidak apa-apa' pada setiap hal yang berada di luar kendalinya dan hal itu semakin membuat perasaannya hancur sampai tak berbentuk.

Setelah cukup tenang, Sheyra pun mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Dia ingin segera pulang ke kamar kost nya kemudian bisa menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan perasaan tak nyamannya.

****

"Makasih, Pak," ucap Sheyra saat ojek yang mengantarnya telah sampai di depan pagar kostnya dan bersiap untuk pergi demi mencari penumpang baru lagi.

"Sama-sama, Mbak."

Setelah itu, Sheyra pun berbalik dan berniat untuk masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya.

"Sheyra!"

Ketika Sheyra menoleh ke samping kiri, dia mendapati sosok Kafka yang tengah duduk di jok motornya sambil melemparkan tatapan sendu ke arahnya. "Kafka?" gumam Sheyra yang membuat laki-laki itu tersenyum padanya.

"Harusnya, tadi kamu minta aku yang jemput," ucap Kafka sambil berjalan mendekati Sheyra yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia sengaja menunggu Sheyra di depan kost,an dan ingin memastikan jika kekasihnya itu dalam keadaan baik-baik saja setelah dari rumah papanya.

Tentunya bukan tanpa sebab Kafka melakukan hal itu. Karena sepanjang yang dia tahu, 'makan malam' yang papa Sheyra adakan itu selalu membuat kekasihnya pulang dalam keadaan bersedih. Tak jarang, Kafka menemukan Sheyra dalam keadaan mata bengkak, hidung memerah, dan begitu kacau, seperti malam ini.

Tanpa Sheyra bercerita panjang lebar, Kafka sudah mengerti jika di rumah papanya, Sheyra kembali mendapatkan sesuatu yang menyakiti perasaanya.

Sheyra tersenyum ketika menemukan wajah Kafka sudah lebih dekat dari jangkauannya, sehingga dia bisa menatapnya dengan puas. Namun, sebuah sentuhan di punggung tangannya membuat Sheyra menunduk dan mendapati telapak tangan Kafka sedang bergerak menggenggam tangannya.

"Lagi sedih ya?" tebak Kafka sambil satu tangannya yang lain menyentuh pipi Sheyra.

Mendapat pertanyaan seperti itu, sontak saja membuat bibir Sheyra melengkung ke bawah dengan pandangan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Mau jalan-jalan nggak? Kebetulan, malam ini aku bawa motor," ajak Kafka berusaha menghibur kekasihnya.

Tidak sulit untuk membuat Sheyra kembali ceria. Terbukti saat Kafka selesai melontarkan tanya, perempuan itu seketika tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar. "Mau seblak," ucapnya yang membuat Kafka terkekeh renyah.

"Oke. Malam ini kita akan kulineran."

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status