"Ma? Jumat sore aku punya rencana balik ke Indonesia," celetuk Kafka saat makan malam keluarga sedang berlangsung. Hal itu tentu saja membuat mamanya tersedak sampai terbatuk-batuk karena ucapan Kafka itu terdengar tidak masuk di akal. Merasa bersalah, Kafka pun bergerak memberikan air kemudian menepuk-nepuk pundak sang Mama pelan. "Maaf udah buat Mama tersedak," sesal Kafka setelah melihat bahwa kondisi mamanya sudah lebih baik. "Tadi, kamu bilang kamu mau pulang ke Indonesia? Buat apa, Ka?" cecar beliau setelah keadaannya lebih tenang. "Siapa yang mau balik ke Indo?" Pertanyaan dari arah kamar itu membuat Kafka baik mamanya sama-sama menoleh, dan Kafka seketika tak punya nyali ketika melihat sang Papa sedang berjalan menuju meja makan untuk melakukan makan malam. Berbeda dengan Kafka, Bu Diana justru tersenyum jumawa, merasa jika perdebatan kali ini akan dimenangkan oleh beliau karena suaminya itu pasti akan membela. "Kafka mau pulang ke Indo. Nggak tau buat apa. Jangan bilang,
"Astaga!" Sheyra berseru kaget ketika mendapati Arya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunjukkan senyum lebarnya. "Udah selesai mandinya?" tanya Arya tanpa dosa. "Udah. Kamu ngapain di depan pintu? Aku 'kan kaget, Ar." Sheyra bersungut kesal. Beruntung, dia sudah mengenakan piyama di dalam kamar mandi, sehingga Arya tak melihatnya dalam keadaan mengenakan handuk saja. "Nungguin kamu mandi. Lama. Aku udah gerah banget," sahut Arya sambil mencubit kerah kemejanya risih kemudian mengendus bau badannya sendiri. Mendengar itu, Sheyra terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian, dia beri jalan untuk Arya lewat sambil menengadahkan tangan, mempersilahkan. "Silahkan masuk, Tuan. Saya sudah selesai," candanya yang langsung membuat tangan Arya terulur lalu mengacak handuk kecil yang bertengger di kepalanya. "Aku mandi dulu." Sheyra mengangguk saja. Setelah pintu itu tertutup, dia berjalan ke walk in closet guna menyiapkan pakaian tidur untuk Arya. Berbeda kond
"Mau sampai kapan marah sama Om dan Tante sih, Ka?" tanya Richelle yang membuat Kafka mengartikan bawah Richelle sudah tak sudi menampungnya lagi. Sudah terhitung dua hari dia pergi dari apartemen orang tuanya untuk melarikan diri. Dia berani bertindak seperti itu tentunya bukan tanpa sebab, melainkan karena hal itu merupakan sebuah bentuk dari kekecewaannya pada sang Papa yang tega bermain tangan. "Kamu ... Lagi nggak ngusir aku buat pergi dari apartemen kamu 'kan?" jawab Kafka yang justru balik bertanya. Richelle yang sedang berdiri di ambang pintu pembatas antara kamar dan balkon itu pun menghembuskan napas kasar. "Nggak gitu, Ka. Aku cuma nggak mau Tante Diana dan Om Hardy khawatir.""Mereka nggak akan khawatir, Chel." Kafka berucap yakin. Hal itu tentunya mengundang sebuah tanya bagi Richelle hingga membuat gadis pemilik rambut berponi itu pun mendekat dan turut duduk pada bean bag yang kosong—di balkon. "Kenapa bisa gitu? Emang, masalah sebenarnya apa, Ka? Kamu belum cerita
Sheyra mengerjapkan matanya dengan lembut saat indera pendengarannya menangkap suara kicau burung yang begitu merdu. Bunyi derum mobil yang mesinnya sedang dipanaskan itu pun ikut menjadi backsound dalam suasana pagi yang nampaknya akan cerah. Sheyra belum bisa memastikan apakah hari ini cuaca akan cerah, mendung, atau justru hujan sebab matahari pun masih malu-malu menampakkan keindahannya. Walau demikian, sinar yang dimilikinya itu sudah mampu menembus celah gorden di dalam kamarnya. Saat Sheyra hendak bangkit, dia merasakan sebuah tangan besar yang memeluk perutnya, dan karena hal itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk beranjak. Ketika menoleh, dia mendapati wajah damai Arya yang berada dalam jarak sangat dekat dengan wajahnya. Dipandanginya wajah tampan itu dengan seksama. Matanya lekas memindai mulai dari kening, rahang, alis, kelopak mata yang tertutup, hidung, dan berakhirlah di bibir natural yang memiliki tekstur tebal serta lembut itu. 'Pikiran macam apa ini?'
"Sakit, Ka," keluh Sheyra saat inti tubuhnya yang berada di bawah sana sedang berusaha ditembus oleh kekasihnya, Kafka. Mendengar itu, Kafka seketika menghentikan gerakan mendorongnya dan menatap wajah Sheyra yang kini tampak meringis, menahan sakit. "Maaf ya. Aku janji akan pelan-pelan," bujuk Kafka dengan suara yang begitu lembut, yang telah membuat Sheyra terhipnotis sampai kepalanya pun mengangguk polos. Sejenak, Sheyra bisa menarik napasnya dengan lega saat dorongan itu tak lagi dirasakannya. Dia pun mendongak untuk memindai wajah Kafka yang kini berada di atasnya. Peluh dan keringat pun telah menghias wajah tampannya, yang membuat jemari Sheyra gatal dan bergerak menyeka keringat itu. "Kita .. harus banget lakuin ini ya, Ka?" tanya Sheyra yang segera membuat Kafka mengangguk sambil menyimpan jemari kekasihnya yang tengah menyentuh hidung mancungnya. Dia kecup punggung tangannya beberapa kali sebelum menyimpan kedua lengan Sheyra di masing-masing sisi tubuh kekasihnya. "Aku n
Bohong bila Sheyra berkata tidak masalah mengenai kepergian Kafka ke benua seberang untuk meraih impiannya. Kenyataannya, hal itu hanya terucap di bibirnya saja dan tidak dengan hatinya. Jika boleh meminta, Sheyra ingin Kafka melanjutkan studinya masih dalam tanah air saja, tidak sampai harus ke luar negeri yang jaraknya begitu jauh dari jangkauan. Namun, ketika mendengar Kafka menceritakan segala mimpi-mimpinya yang telah laki-laki itu susun dengan sedemikian rupa, rasanya Sheyra tidak berhak untuk melarang dan mencegahnya. Seperti Kafka yang mempunyai mimpi, begitu juga dengan Sheyra. Dia selalu bermimpi setelah lulus kuliah nanti, Sheyra ingin bekerja dan mengumpulkan uang untuk modal menikah dan bisa hidup bersama Kafka setiap harinya. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan tentang semuanya di bawah satu atap yang sama, dan masih banyak impian-impian lainnya yang ingin Sheyra lakukan bersama Kafka. Mungkin karena hanya Kafka, satu-satunya manusia yang bisa Sheyra jadikan sebu
'Pada akhirnya, kita semua butuh pulang pada satu tubuh yang mampu melerai segala jenuh, telinga yang mendengarkan segala keluh kesah yang tertahan, dan membutuhkan pelukan hangat sebagai pengisi tenaga untuk menjalani kehidupan esok dengan baik-baik saja.'"Udah kenyang belum?" tanya Kafka saat Sheyra sudah menghabiskan semangkuk bakso, seblak, cilok, dan yang sedang dimakan Sheyra saat ini adalah telur gulung. Sheyra mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian mengelus perutnya yang sudah penuh terisi oleh aneka jajanan di pinggir jalan. "Kenyang banget," jawabnya setelah berhasil mengunyah satu tusuk telur gulungnya yang terakhir. "Bisa gendut kalau terus-terusan begini," keluh Sheyra sambil menyeruput minuman manis rasa coklat favoritnya. Kafka yang gemas pun sontak mengacak rambut Sheyra pelan. "Nggak papa. Biar kamu gendut, aku tetep cinta." Mendengar ucapan dari kekasihnya itu pun membuat Sheyra mengulas senyum, merasa bersyukur karena Tuhan telah mengirim seseoran
Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana. Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra. Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam. Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian