"Mau apa kamu kesini, Evita?" tanyaku membuatnya terkejut dan langsung berbalik badan, kini posisi kami berhadapan di teras rumah.Evita tersenyum simpul menatapku."Memangnya salah ya, seorang sahabat, datang mengunjungi sahabatnya?" imbuhnya lagi sambil melangkah melewatiku, melenggang dengan santainya memasuki ruang tamu rumah ini."Evita. Nggak perlu basa-basi! Kamu mau apa kesini?" ucapku tegas. Entah dia tahu dari mana aku ada di sini."Rupanya di sini kamu sembunyi? Ehm, rumahnya cukup nyaman, pantas saja kmu betah di sini? Walaupun sendiri. Tapi bagus sih, aku jadi bebas berduaan dengan Raka." Evita pun berbalik badan, dengan senyum merekah."Mau apa kamu kesini? Kalau cuma mau buang-buang waktuku, mending kamu pergi, aku mau istirahat!" "Aku, cuma mau memastikan apa informasi yang kudapatkan dari orangku, itu benar, atau salah. Ternyata benar." sahutnya kini ia duduk dengan santai di ruang tamu."Sudahlah Evita, cukup basa-basinya! Mau apa kamu kesini?!" kesalku."Oke. Seben
Raka Pov.Aku berjalan tergesa-gesa menuju ke unit apartemen dimana Evita berada. Aku ingin menuntut penjelasan padanya.Ketika sampai di depan unit apartemen, aku mengetuk pintu tapi sepi, sepertinya Evita sedang tidur, tak ada sahutan apapun dari dalam.Sebenarnya bisa saja aku langsung membuka pintu dan masuk, karena aku juga memiliki kartu aksesnya, tapi aku segan, dan memilih di bukakan pintu oleh Evita.Sekitar lima menit belum ada jawaban dari dalam. Aku memutuskan untuk menghubungi Evita. Tersambung tapi tidak di angkat. Perasaanku mendadak tidak enak, takut terjadi suatu hal yang buruk dengan Evita.Akhirnya aku memutuskan untuk langsung masuk saja."Evita! Vita! Kamu di dalam?" panggilku, sambil mengetuk pintu kamar, tapi tetap tak ada sahutan dari dalam."Evita!" Aku memutar handle pintu kamar, hingga terbuka pintunya. Ternyata sepi. Tak ada Evita di dalam kamarnya. Aku melangkah ke kamar mandi yang berada di dalam kamar, barangkali Evita sedang mandi."Vita! Kamu di dalam?
Aku melangkahkan kaki keluar apartemen, tak kupedulikan teriakan Evita memanggil namaku."Raka!""Raka! Aku bersumpah, Kamu akan menyesal udah giniin aku Raka!" Evita masih terus berteriak histeris. Aku tetap melangkah dengan pasti. Meski suasana hatiku saat ini sangat kacau. Aku kecewa.Sampai di depan, aku langsung meminta pada pihak keamanan apartemen, untuk mengusir Evita, membawa serta semua barang-barangnya. Aku tak peduli dia mau tinggal dimana aku tak mau tahu.Aku telah kecewa untuk yang kedua kalinya dengan orang yang sama.Sosok yang aku pikir menjadi tempat aku melabuhkan cinta, nyatanya itu semua hanya tipu muslihat. Cinta, Ah aku seperti baru menyadari, kebersamaanku akhir-akhir ini bersama Evita hanya sebuah perasaan semu, untuk menutupi kekosongan hati ini. Ya, hati ini terasa kosong dan hampa tanpa kehadiran Amira di sisiku.Setiap hari bahkan setiap detik, aku selalu diliputi rasa gelisah, khawatir, cemas tentang keberadaan Amira. Betapa bo dohnya justru datang pa
"Tau apa Lo!" Aku membalas dengan mencengkeram Hoodie yang dikenakan Arya."Jangan Lo pikir Gue nggak tahu ya, Gue tahu semuanya!"Aku tercekat. Darimana Arya tahu Evita telah kembali, dan beberapa kali aku menghabiskan waktu bersamanya."Lo, nggak perlu tahu, Gue tahu dari mana, yang jelas, Gue nggak akan tinggal diam. Gue akan rebut Amira dari Lo, biar Gue yang bahagiain dia. Ngerti Lo!"Arya melenggang begitu saja meninggalkan teras rumahku usai mengatakan itu. Aku mengacak kasar rambutku.Aarrgghh! Kenapa semuanya jadi begini? Aku baru saja mengambil keputusan untuk melepaskan Evita dan ingin memperbaiki semuanya. Tapi justru Arya datang ingin mengambil Amira dariku.Enggak. Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Amira adalah istriku, selama aku belum mengatakan kata talak, di masih sah istriku.Aku masuk ke dalam rumah, dengan pikiran makin tak karuan.*Esok harinya. Aku tak menyerah, hari ini aku akan datangi kembali rumah Caca, aku harus menemui Amira. Aku yakin Caca tahu diman
"Sekarang kemasi barang-barangmu, kita pulang sekarang!" titahku."Enggak. Aku masih mau di sini." Amira menolak."Aku ini suamimu, wajib hukumnya seorang istri menurut apa kata suami!" Aku bersikeras."Tadinya aku pikir kamu benar-benar sudah berubah, tapi ternyata aku salah! Kamu tetap tak pernah memperdulikan perasaanki, Raka!""Apa maksudmu! Oh, aku tahu, Kamu tak mau pulang karena di sini lebih mudah bertemu dengan Arya? Begitu kan 'kan?!" Aku dongkol bukan main, tapi aku harus bisa meyakinkan Amira agar mau kuajak pulang."Jangan asal bicara! Aku bukan wanita seperti itu!" sanggah Amira."Suami macam apa yang lebih mementingkan wanita lain ketimbang perasaan istrinya?" Amira menatapku tajam."Soal Evita? Itu– itu sudah selesai dan sekarang aku mau kita mulai semuanya dari awal," kataku bersungguh-sungguh. Aku tak sanggup jika harus berjauhan lagi dengannya. Aku tersiksa tanpanya.Amira terdiam sambil menatapku dalam, sepertinya ia masih tak percaya dengan apa yang kukatakan."Am
Setelah memastikan Evita sudah benar-benar pergi, aku memutar kembali mobilku menuju ke rumah kontrakan Amira. Aku harus bisa membujuknya untuk ikut pulang ke rumah.Aku sampai di depan rumah yang satu jam lalu aku datangi. Pintunya masih tertutup rapat."Amira! Mir!" panggilku sambil mengetuk pintu.Tak ada sahutan, sepertinya Amira masih marah padaku karena ulah Evita tadi."Mir! Buka pintunya Sayang, aku tahu kamu di dalam dan mendengarku."Senyap. Amira masih berkeras hati tak ingin membuka pintu."Amira! Buka dulu, kita perlu bicara," ucapku lagi.Satu menit.Dua menit.Lima menit.Masih tak ada tanda-tanda Amira akan membuka pintu. Sampai aku lelah menunggu."Amira! Buka dulu dong! Aku ingin kita bicara. Dengerin aku dulu."Aku terus mengetuk berkali-kali pintu rumah itu. Pintu dengan daun pintu berwarna cokelat kehitaman."Amira!"Ceklek!Pintu akhirnya terbuka. Namun aku kecewa, bukan Amira yang keluar tapi seorang perempuan berusia lebih tua dari Amira, aku taksir usainya sek
Pagi hari aku melihat Amira sedang menyapu halaman rumah itu. Dia memang selalu begitu, tak mau diam, selalu ada saja yang dikerjakan, padahal sedang hamil, harusnya dia banyak istirahat. Aku langsung melangkah mendekatinya. Tanpa bicara apapun, aku langsung meraih gagang sapu yang dipegangnya.Ia pun terkejut dan langsung menoleh."Raka!" "Kamu lagi hamil, jangan capek-capek aku nggak mau anakku kenapa-kenapa. Duduklah biar aku yang nyapu," ucapku tanpa menoleh ke arahnya, dan langsung melanjutkan menyapu daun-daun pohon mangga yang tak begitu banyak."Kamu kok udah di sini, sepagi ini?" Ia terlihat heran, apalagi aku datang tanpa membawa mobil atau motor. Ya aku memang menyewa satu kamar kos di ujung gang ini. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa dekat dengannya. Dan tadi pagi aku sengaja datang kemari berjalan pagi, menikmati suasana pagi di desa ini.Tak kusangka suasana di desa pagi-pagi sangat sejuk. Damai, jauh dari keramaian. Pantas saja Amira betah berlama-lama tinggal d
"Kamu aja tega sama aku, kenapa aku nggak bisa tega sama kamu?!"Amira menyendok sayur untuk dirinya sendiri lalu makan dengan tenang, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Tak tahukah dia aku juga sebenarnya sangat lapar sekali. Apalagi makanan terlihat sangat enak."Mir, aku ikut makan ya. Please!""Aku bilang enggak ya enggak!" serunya. Aku terkejut, tiba-tiba dia seperti marah."Udah sekarang mending kamu pulang aja. Aku enek lihat muka kamu!"Aku ternganga. Ya Allah dia keserupan apa? Perasaan tadi di depan dia baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba berubah."Kamu denger nggak?" sentaknya lagi."Amira kamu ini aneh banget. Tadi kamu nggak apa-apa. Kenapa sekarang marah-marah!""Ya suka-suka aku lah! Kamu aja berbuat sesukamu sendiri, membawa mantan pacar ke rumah, mana yang lebih tega?!"Ya Salam! Ternyata dia masih dendam toh, soal itu."Amira, aku kan udah minta maaf! Aku sekarang udah sadar, aku memilih kamu. Aku udah nggak ada hubungan apapun lagi dengan dia. Aku janji akan