Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku. Aku Amira Anggraini. Niatku datang ke pernikahan Evita–sahabatku berujung petaka. ternyata Evita kabur di hari pernikahannya. Sialnya lagi aku yang yang di suruh untuk menggantikannya, jadi Pengantin pengganti. Semua yang terjadi bagaikan mimpi buruk, sikap Raka–kekasih Evita yang kini jadi suamiku, begitu sangat dingin dan cuek. Pernikahan macam apa yang harus kujalani ini? Kenapa tiba-tiba Evita pergi di hari bahagianya? Bukankah ini adalah pernikahan impiannya? Mampukah aku bertahan menjalani pernikahan sandiwara ini? Bagaimana jika suatu saat Evita kembali datang dan melihat kenyataan jika aku telah menjadi istri Raka? Yuk baca kisah selengkapnya hanya di goodnovel. Selamat Membaca.
Lihat lebih banyak"Surat gugatan cerai sudah masuk ke pengadilan.""Oke. Bagus!" Aku lega mendengar pernyataan pengacara yang kubayar untuk membantu proses perceraian Evita dengan suaminya.Lebih cepat lebih bagus, agar Evita segera terbebas dari pernikahan yang tak sehat itu. "Tapi ....""Tapi apa?""Apa Anda yakin, akan membantu dia untuk segera lepas dari suaminya?" Pak Azizi bertanya seolah meragukan keputusanku."Apa maksud Anda bertanya begitu? Tugas anda cukup jelas. Bantu Evita untuk secepatnya bisa bercerai! Paham!"Pak Azizi terpana, karena aku sedikit meninggikan suara."Baik. Tapi saran saya, Anda pikirkan lagi, kalau ada waktu temui Pak Satya, suaminya Evita."Aku langsung menoleh, merasa aneh. Untuk apa aku menemui dia? Laki-laki brengsek yang suka menyakiti perempuan? Main tangan, kasar sama perempuan."Untuk apa?""Anda akan tahu jawabannya setelah nanti bertemu dengan beliau. Saya permisi."Pak Azizi langsung pergi usai mengatakan itu. Membuatku bingung.Setelah perbincangan dengan Pa
"Bagaimana sudah ada kabar keberadaan Amira?" tanya Papa melalui sambungan telepon. Nada bicaranya terdengar sangat dingin."Belum."Terdengar tarikan napas berat diujung sana."Menyesal Papa menyandingkan wanita sebaik dia untuk Kamu!" pedasnya."Dosa apa Papa memiliki anak bo doh sepertimu Raka!" umpatnya lagi.Aku sudah terbiasa dengan semua umpatan Papa. Jika sedang marah, Papa tak segan mengeluarkan kata kasar untukku meski aku adalah darah dagingnya sendiri."Tak perlu datang ke kantor sebelum Amira ditemukan, paham!" Panggilan terputus secara sepihak.Aku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Amira, kamu dimana? Pulang lah Sayang, maafkan aku." Aku bermonolog.Aku menatap pesan di masangger yang Amira kirimkan beberapa jam lalu, entah sudah berapa kali aku membacanya berulang kali.Aku pun langsung membalas pesan itu, Tapi Amira tak online lagi, dan mengabaikan pesanku."Amira, mengapa kau menghukumku? Dengan cara seperti ini?" Aku bermonolog, mengusap kasar
Satu Minggu kemudian ...Satu Minggu sudah berlalu, aku belum menemukan dimana Amira berada. Beberapa tempat sudah kudatangi. Tapi tak satu pun yang membuahkan hasil.Bapak, ibu, Papa dan Mama, jangan tanya bagaimana sikap mereka terhadapku. Semuanya mendiamkan aku. Aku seperti tengah di hukum. Mereka membiarkan aku cari jalan sendiri mencari keberadaan istriku. Walau aku tahu sebenarnya mereka juga pasti mengkhawatirkan Amira, tapi mereka seolah tutup mata tak membantuku. Aku pontang-panting mencari Amira kesana-kemari. Terlintas dalam benakku untuk melaporkan pada polisi, tapi Ayah dan Papa menolak, dengan alasan, Amira itu pergi karena dirinya sendiri yang menghendaki, bukan karena paksaan atau semacam penculikan. Lelah, letih itu sudah pasti. Kini aku hanya bisa pasrah, menanti Amira pulang ke rumah. Aku berharap dia baik-baik saja di luar sana.Evita, beberapa kali ia menghubungiku dalam keadaan menangis. Ketika aku datangi, dia menangis karena telah di teror oleh suaminya, t
Aku mengemudikan mobil menuju ke rumah salah satu teman Amira, Caca namanya, sesuai dengan informasi yang kudapatkan dari Mita.Mita bilang ia pernah datang ke rumahnya Caca bersama Amira, waktu itu Caca pernah memesan makanan untuk sebuah acara di rumahnya.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya aku sampai di depan sebuah rumah dengan gaya minimalis, cat dinding abu-abu dan pintunya berwarna putih. Pagar rumahnya berwarna putih, dan halaman tak seberapa luas dengan pohon mangga tak begitu besar di sudut halaman."Assalamualaikum!" seruku.Kondisi rumah tampak sepi. Aku mengucapkan salam sekali lagi, akhirnya seorang wanita berumur sekitar enam puluh puluh tahunan tergopoh-gopoh keluar rumah."Eh ada tamu? Maaf tadi Ibu di belakang? Apa ini calonnya Caca? Wah ganteng juga ya, ayo masuk! Masuk! Mari." Gaya sambutan dari Ibu itu tentu membuatku bingung."Eh maaf Bu, maaf! Sa–saya bukan calonnya Caca, tapi saya suaminya temannya Caca. Nama saya Raka."Ibu yang mengenakan jilbab berwarn
Evita kembali mencoba menghubungiku lagi, tapi aku mengabaikannya, dan memilih mematikan daya ponselku.Aku yang sedang pusing begini, bisa-bisanya dia menawarkan hal konyol begitu. Astaghfirullah! Untung aku masih punya iman.Kembali pikirkan tertuju pada Amira. Kemana dia ya Allah! Aku mengusap kasar rambutku.Aku buka media sosial berlogo huruf F, berharap bisa menemukan keberadaan Amira.Aku buka akun milikku, dan langsung mengunjungi profil Amira.Amira bukan tipe wanita yang aktif di sosial media. Kulihat di wall pribadinya juga sepi, tak ada unggahan status ataupun unggahan video di sana. Terakhir foto yang di unggah di sana adalah foto wisudanya, bersama Ayah, ibu dan Mas Faisal.Aku langsung mengirim pesan di masangger. Aku sangat berharap ia mau membalas dan memberitahu keberadaannya saat ini.[Amira Sayang, kamu dimana? Aku mohon maafkan aku, beritahu aku dimana kamu berada, aku jemput kamu Sayang.]Aku kirim pesan itu padanya. Beberapa menit berlalu masih senyap, tak ada
Aku bergegas keluar rumah, menyalakan mesin mobil, tujuanku saat ini adalah rumah mertuaku. Mungkin Amira ada di sana, seperti kemarin ketika dia memergoki ada Evita di kantor. Aku melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Berharap bisa segera sampai di rumah mertuaku.Begitu sampai, aku memarkirkan mobil di halaman, bergegas turun."Assalamualaikum," seruku seraya mengetuk pintu."Waalaikum salam!" Terdengar suara sahutan dari dalam. Pintu pun terbuka."Raka!" ucap Ayah sambil menatap ke arah belakang tubuhku. Seolah mencari sesuatu."Iya Ayah.""Amira mana? Kamu sendirian?" tanyanya. Dari responnya seperti ini, itu artinya Amira tak ada di sini.Seketika hati ini makin dilanda gelisah.Tatapan netra Ayah juga mendadak berubah, seakan langsung menyadari ada yang tak beres aku kemari seorang diri, tanda ada Amira bersamaku."Masuk. Duduk dulu," ujarnya kemudian. Aku mengangguk dan mengekor di belakang laki-laki yang mengenakan kacamata, dan masih memakai sarung dan kaos ob
Raka Pov.[Tak kusangka, cinta yang kuperjuangkan nyatanya tega mengkhianati, hanya demi sepenggal kisah masa lalunya.]Sebuah pesan masuk dari Amira sontak membuat detak jantungku seakan berhenti sejenak.Disertai sebuah foto aku dan Evita duduk di Coffe shop ini.Aku langsung menoleh mencarinya. Aku yakin Amira berada di sekitar sini, dan melihatku sedang bersama Evita sekarang ini.Aku meneguk saliva dengan begitu sudah payah."Kamu kenapa?" tanya Evita menyadari perubahan sikapku yang tiba-tiba. Aku masih celingukan mencari sosok wanita yang telah menjadi istriku."Hei, cari siapa?""Amira ada di sini.""Hah! Apa? Mana? Mana?" Evita langsung mengedarkan pandangannya ikut mencari keberadaan Amira. Tapi tak ada. Aku tak menemukannya.Aku meraup kasar wajahku. Aku yakin Amira saat ini pasti sangat marah besar padaku."Nggak ada kok! Ngaco kamu!" cetus Evita."Aku yakin dia ada di sini, dia mengirim pesan dan foto kita di meja ini," jelasku, dengan suara bergetar.Beberapa saat aku m
Aku turun dari taksi, menatap gedung tinggi nan megah di jantung kota ini. Hari sudah hampir gelap, semilir angin mulai berhembus menggoyangkan daun-daun pohon palm yang berjejer di pelataran apartemen.Entah mengapa hati ini yakin untuk datang kemari. Sesuai alamat yang tertera di berkas itu. Aku meluncur kemari.Aku mulai melangkah memasuki area apartemen. Tak begitu ramai, hunian orang kaya memang berbeda, terlihat lebih privasi. Bahkan di lobby ada sekuriti yang berjaga.Aku mantapkan langkah menuju ke Lobi. Berjalan ringan memindai sekeliling. Hanya beberapa orang terlihat lalu lalang keluar masuk ke area gedung.Aku harus berjalan agak ke dalam sampai ada lift untuk naik ke atas, tapi aku ragu, karena aku tak memiliki akses untuk masuk ke area hunian apartemen. Tentunya tidak sembarang orang bisa masuk ke area sana, hanya yang memiliki akses atau dijemput oleh pemilik untuk bisa masuk.Aku terus melangkah tanpa keraguan, melewati begitu saja sekuriti keamanan yang ada di lobi.
"Mita, sudah kamu siapkan semua yang aku kirim tadi?" tanyaku melalui panggilan telepon."Beres semuanya. Tenang aja.""Bagus. Besok aku ke Kafe tinggal eksekusi. Kamu bantu aku, jangan lupa Kafe besok tutup jam lima sore, biar aku fokus menyiapkan dinner makan malamku dengan Raka."Aku ingin benar-benar menyiapkan hari ulang tahun Raka. Aku ingin yang spesial, berharap ia akan merasa bahagia dan menjadi momen indah yang selalu melekat dalam ingatannya."Cieee, yang sekarang jadi bucin sama suami. Tuh kan apa aku bilang, yang dulu benci jadi sekarang cinta kaaannn!" ledek Mita.Aku menggaruk tengkuk merasa malu dengan apa yang pernah kukatakan dulu. Ah, Mita ingat saja dia tentang tantangannya dulu."Kamu nggak lupa kan sama tantangan kita dulu, aku akan dapat makan gratis selama sebulan," lanjutnya lagi diiringi tawa riang di seberang sana."Oh, ehm itu.""Aku mau mulai besok, kamu traktir aku!" ucap Mita terkekeh."Ya iya! Kerja dulu yang bener kamu! Awas kalau nggak bener.""Siap,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.