"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya
"Terima kasih," balas Raka, sambil mendudukan diri di kursi kosong yang ada di dekatku. Akhirnya, aku memberikan semangkok mi instanku itu untuk Raka dan membiarkan dia memakannya sampai habis. Setelah itu, aku memilih untuk memasak makanan lain untuk diriku sendiri. Raka makan mie instan dengan lahap. Aku memilih untuk merebus dua butir telur.Setelah mie-nya habis Raka bangkit berdiri mengambil air minum kemudian melenggang begitu saja. "Eh, eh tunggu!" Buru-buru aku berdiri di hadapannya agar ia menghentikan langkah.Ia menatapku dengan dahi berkerut."Tuh beresin dulu mie-nya yang tumpah!" ucapku.Enak saja dia yang numpahin aku yang bersihin. Aku sudah berbaik hati berbagi mie instan milikku. Sekarang tugasnya membereskan kekacauan di dapur ini."Kau saja lah!" Ia mengibaskan tangannya. Tentu membuat netraku membeliak."Eh enggak, enggak! Kamu yang sudah membuat kekacauan ini Raka, jadi kau yang harus membersihkannya!" sungutku tak mau kalah."Ya sudah besok saja lah! Sekara
Seketika jantungku seperti berhenti sesaat, ketika Raka memanggilku dengan sebutan 'Sayang' terasa sangat ... aneh terdengar di telingaku."Sayang kok kamu malah diam." Lagi Raka berkata, kali ini bahkan tanpa canggung merangkul bahuku di depan Papa dan Mamanya.Aku hanya tersenyum kaku menanggapi ucapan Raka."Eh nggak apa-apa Mas," ucapku gugup.Kulihat Mama Rita tersenyum penuh arti menatap aku dan Raka secara bergantian."Ehm, sebentar Amira buatkan teh hangat dulu ya Ma, Pa." Papa dan Mama mengangguk. Bergegas aku berjalan cepat ke dapur, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba berdetak cepat. Aih, baru juga dia bilang sayang boongan, tapi kenapa aku sudah segugup ini? Aku membuat tiga cangkir teh hangat, untuk Mama dan Papa, dan satu lagi untuk Raka.Dan kalian tahu, ini adalah kali pertama aku membuatkan minuman untuk dia. Ya, Suamiku. Aku bahkan tak tahu, minuman apa kesukaannya, aku buatkan saja teh manis.Aku keluar ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi tiga can
Aku tertegun, tanpa mampu berkata apa-apa."Iya Ma. Mama doain aja ya Ma." Raka yang menyahutinya, sambil mencium takzim punggung tangan ibunya. Mama Rita pun tersenyum hangat menatap Raka.Melepas kepergian mereka Raka merangkul pundakku seraya melambaikan tangannya pada kedua orangtuanya.Jangan ditanya suasana hatiku saat merasakan lengan kekar itu melingkar di bahuku. Jantungku berpacu lebih cepat. Satu tanganku menyelinap di balik hijabku, menekan dada ini, khawatir Raka bisa mendengar detak jantungku.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, mesin mobil pun mulai menyala. Tapi tiba-tiba pintu mobil di samping kemudi kembali terbuka."Ya Allah Mama sampai lupa Sayang, ini tadi bawa ini dari rumah buat kalian berdua, ya Allah malah lupa tadi nggak di bawa masuk saat baru sampai sini." Mama Rita terkekeh sendiri menyadari kelupaannya."Ya Allah Ma. Repot-repot bawa makanan segala Ma." Aku menerima rantang susun dari tangan Mama."Nggak repot kok, kan masaknya di bantu Bik Ijah, ini m
"Oke, kita ketemu di tempat biasa. Aku langsung jalan sekarang kesana." Terdengar suara Raka berbicara di telepon dengan seseorang. Ia berbicara sambil berjalan ke dapur, mengambil air minum di meja makan kemudian berjalan melewatiku begitu saja.Aku membereskan meja makan, dan mencuci piring kotornya. Mengabaikan Raka yang sepertinya akan pergi keluar.Mau pergi kemana juga, itu bukan urusanku. Aku tetap dengan pekerjaanku. Setelah ini juga aku rencananya ingin keluar ketemu teman-temanku. Daripada weekend suntuk di rumah kan, lebih baik aku keluar bertemu teman-teman untuk shopping dan ke salon.Setelah membereskan dapur, aku pun bersiap dan langsung meluncur ke sebuah Mall, tempat aku janjian dengan teman-temanku."Hei, Yunia, Caca, maaf ya Gue telat, biasa tadi macet di jalan," ucapku begitu sampai di meja sebuah restoran dimana kedua temanku menunggu."Iya nggak apa-apa, santai aja, kita juga lagi makan dulu kok. Lo mau makan dulu?" tanya Yunia, aku menggeleng, karena tadi aku s
Aku sampai di rumah saat matahari sudah condong di ufuk barat.Lelah sih, tapi senang, aku bisa menghabiskan waktu bersama Yunia dan Caca, walaupun lebih sering kami berdebat dan saling meledek, tapi sebenarnya kami adalah geng yang kompak.Aku merasakan tubuhku juga segar setelah melakukan perawatan di salon.Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, hingga tiba-tiba ponselku berdering, aku langsung merogoh ponselku dari dalam tas. Tertera nama Mas Faisal di layar pipihku."Hallo Assalamualaikum Mas." "Wa'alaikumusalam. Apa kabar Dek?""Aku, baik. Alhamdulillah. Ada apa tumben nanyain?" cibirku, pasalnya dia sangat jarang sekali menanyakan kabarku. Paling-paling telpon jika ada satu hal yang penting."Ya Allah, ketus banget. Ya namanya seorang kakak, ya wajar dong nanyain kabar adiknya," sahutnya dari seberang sana."Ya. Wajar sih. Sekarang bilang, ada apa telpon Amira Mas?" tanyaku mulai serius pada kakak lelakiku ini."Kamu, di sana baik-baik aja kan?" Pertanyaan Mas Faisal tentu me
Aku bertanya pada Raka melalui gerakan tangan, sedang pendengaranku masih tetap fokus mendengarkan Mama Rita yang masih bicara di telepon. Raka pun paham, ia mengangguk dan mengacungkan jempol."Tap–tapi ini Amira lagi mau masak Ma, untuk makan malam," ucapku jujur, memang aku sedang menyiapkan sayur untuk di masak."Sudah mulai di masak, memangnya?""Ya, belum sih, lagi motong sayur, Ma." Aku melempar pandangan pada wortel yang masih belum selesai kupotong."Nah belum kan, masuk kulkas aja sayurnya Mir, kalian makan malam berdua keluar, please, anggap aja ini Hadian dari Mama untuk kalian." Lagi aku melirik Raka, ia mengangguk."Ya sudah oke Ma, nanti Raka dan Amira akan ke sana. Makasih banyak ya Ma. Mama sampai repot-repot booking tempat untuk kita makan malam, padahal Amira dan Raka juga bisa makan di rumah."Akhirnya aku pun menuruti permintaan Mama, sayur dan juga ayam yang tadi sudah ku keluarkan, aku masukkan kembali ke dalam kulkas."Bersiap-siap lah, kita akan jalan sekarang