“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya.
“Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian.Jillian melangkah cepat menuju kitchen.“Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya.“Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?”“Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!”“Siap Bu.”Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi.“Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….”Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum.“TenJillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
“Tunggu sini aja ya, Pak … aku cuma sebentar kok.” “Baik, Non.” Setelah mobil yang dikendarai driver Ujang berhenti sempurna di depan loby kantor daddynya—Chalondra Jillian Guzman, putri tunggal dari Adolf Guzman-pemilik kerajaan bisnis yang terdiri dari real estate, komunikasi, jasa keuangan, jasa kesehatan, perusahaan kertas dan agribisnis di Indonesia—turun dari mobil mewahnya dan melangkah gemulai melintasi loby. Semua mengangguk disertai senyum ramah menyapa putri dari pemilik perusahaan di mana mereka bekerja. Tapi tidak sedikitpun senyum ramah berbalas dari bibir gadis yang kerap disapa Jillian itu, malah dagunya terangkat tinggi dengan tatapan lurus ke depan. Jillian terkenal sombong dan jutek juga bermasalah. Seringkali Adolf terkena serangan jantung karena ulah putrinya. Terlibat perkelahian di nightclub hampir setiap minggu. Merasa anak Sultan, Jillian juga selalu bersikap seme
“Baru pulang, sayang?” Suara berat Adolf mengudara padahal sosoknya entah di mana itu membuat Jillian menghentikan langkah seketika. Adolf selalu memanggil Jillian dengan sebutan sayang tapi tidak pernah mampu sampai menyentuh hati Jillian. Hati Jillian beku semenjak daddynya terbang ke Singapura untuk keperluan bisnis—satu jam setelah sang mommy dimakamkan. “Anak gadis enggak baik tidur larut malam, nanti kantung matanya timbul.” Adolf berusaha menasihati Jillian dengan candaan. “Jil, ke kamar dulu.” Jillian pamit, enggan berkomunikasi dengan Adolf setelah pertengkaran mereka tadi sore. Kakinya hendak ia hentakan menaiki anak tangga. “Jil, Daddy mau bicara sebentar boleh?” “Sudah malem, Dad … Daddy harus istirahat, sudah tua.” Tidak ada nada tinggi atau ketus, setiap kali setelah pertengkaran—Adolf memulai pembicaraan kembali dengan lemah lembut maka Jillian akan
“Pak Adolf … maaf, tadi Non Jill pergi ….” Pak Ujang melapor dengan napas tersengal menginterupsi perbincangan Adolf dengan salah satu kliennya. “Jill,” gumam Adolf dengan raut wajah cemas. Jadi ingat jika ia datang ke sini bersama sang putri, Adolf terlalu asyik berbincang dengan pak Wijaya-kliennya yang tidak sengaja bertemu di resto ini. “Tadi … Non Jill pergi meninggalkan resto ini, Pak … maaf Pak, saya enggak bisa ngejar.” “Pak Adolf, sebaiknya kita sambung pembicaraan kita nanti … sepertinya ada hal yang lebih penting yang membutuhkan perhatian Anda.” Pak Wijaya mengerti, ia pun harus kembali ke meja di mana keluarganya berada. “Baik, Pak Wijaya … sampai bertemu hari Senin di kantor.” Pak Wijaya akhirnya meninggalkan meja Adolf sehingga daddynya Jill bisa fokus kembali pada putrinya. “Jill pergi menggunakan apa?” Adolf bertanya kepada Pak Ujang. “Naik mobil, Pak … tapi enggak tah
“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi. “Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas. “Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy. Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.” “Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh. Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya. “Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—“ “Dad!!” Jillian membalikkan badannya. “Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!” Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah. “Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….” Jillian per
“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.” Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman. “Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah. “Baik Pak.” Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga. Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian. Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah. Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman. Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian. Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jen