Tubuh Rafa melemas saat dirinya mencoba bangun setelah ketiduran di sofa tadi siang. Rafa mengusap wajahnya lalu mengambil ponsel. Diusapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul setengah empat sore. "Sudah lebih dari tiga jam ternyata aku ketiduran," gumamnya lirih. Banyak pesan yang masuk di ponselnya tak membuat Rafa ingin segera membuka. Dia memilih memijit pelipis kepalanya yang berdenyut-denyut dengan pelan. Memang hal yang tak biasa bagi Rafa untuk tidur siang, terlebih dia tidur selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu ketukan pintu disertai suara salam kembali terdengar. "Assalamu'alaikum."Rafa menajamkan pendengarannya, merasa pernah mendengar suara tamu tersebut di suatu tempat. "Wa'alaikumsalam," serunya seraya mencoba bangkit berdiri.Dengan langkah sedikit terhuyung, Rafa berjalan dengan pelan karena penglihatannya juga terasa berkunang-kunang. Rafa menyipitkan mata karena efek sakit kepala yang dirasakannya."Siapa ya-" Suara Rafa terhenti saat ia membuka pintu dan m
Suara tawa terdengar menggema di ruang santai milik pria berambut coklat bernama Liam. Tangannya menepuk keras bahu kawannya yang bernama Rafa-duduk di sampingnya. Rafa tak menggubris Liam yang masih tertawa bahagia di atas penderitaannya. Wajahnya masih bertekuk masam sambil memandang malas ke arah TV yang masih menampilkan acara pacuan kuda."Kau sudah janji padaku, Rafa. Esok aku ingin kau sudah menjadi gelandangan di jalanan," ujar Liam."Berisik!" jawabnya sambil beralih dari tempatnya duduk."Eh! Mau kemana?" Liam membuntuti kawannya yang enggan untuk menjawab.Ternyata Rafa hanya menuju ke arah dapur, mengambil soda kaleng dingin yang berada di dalam kulkas dan meminumnya, berharap dapat mendinginkan kepala dan hatinya yang mulai panas. "Bagaimana kalau hukumannya ku ganti dengan saham perusahaan 10%? Bukankah itu terdengar lebih menggiurkan?"Liam menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tubuhnya menyender di kulkas besar miliknya
Keesokan harinya, Pevita terbangun dari tidurnya ketika mendengar gedoran pintu yang mengusik ketenangannya. "Ada apa, sih?" teriaknya dari dalam, enggan untuk beranjak dari kasur."Maaf mengganggu, tapi saya harus menyampaikannya. Tuan sedang ada masalah dan nyonya harus turun segera ke ruang tengah." Diba masih berdiri di balik pintu."Hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Pevita. Dia sendiri tak pernah mau tahu urusan Rafa. Selama duit mengalir dalam kantongnya, dia tak mau ambil pusing dengan segala masalah yang sedang dialami Rafa."Nyonya." Sekali lagi Diba memanggil Pevita dengan nada datar.Ketukan pintu sekali terdengar dan itu berhasil membuat Pevita marah. "Apaan sih! Berisik banget!" ujarnya ketika membuka pintu. Rambutnya berantakan dan baju tidur masih melekat di tubuh sintalnya."Nyonya harus turun ke ruang tengah sekarang!"Pevita mendengus kasar dan melewati Diba untuk turun ke ruang tengah.Setelah
Hari berganti, Rafa sudah bersiap menaiki sepeda motor maticnya untuk berangkat ke perusahaannya. Bukan lagi sebagai CEO, melainkan sebagai cleaning servis sesuai yang diinginkan Liam.Sial! Liam benar-benar sedang mengerjaiku! umpatnya dalam hati jika mengingat pekerjaannya sekarang.Ketika dia memanasi sepeda motornya, terdengar dari kejauhan suara yang menghantui tidurnya semalam, "Mas ganteng! Aku tunggu kedatanganmu dari subuh, kenapa belum dateng-dateng?" Terlihat Lina datang setengah berlari mendekat ke arah rumah Rafa.Sontak Rafa langsung menaiki motor dan melajukan motornya seraya berteriak, "Nanti malam bu, saya kasih fotokopinya!"Rafa tertawa puas setelah melihat tingkah Lina yang menghentak-hentakkan kaki sambil memonyongkan bibir tebalnya. Sungguh dia merasa sial mendapat tetangga genderuwo seperti Lina. "Mungkin nanti aku harus telepon Liam buat cari kawasan rumah yang lebih aman."Di pukul 7 pagi tepat, Rafa har
Suara dentingan sendok beserta garpu yang beradu dengan piring terdengar di seluruh ruangan kantin. Riuh ramah orang berbincang pun nampak berpadu apik dengan suara dentingan sendok tersebut. Berbeda dengan para staf dan karyawan yang menyantap makan siang dengan para kawannya, Rafa menyantap makan siangnya dengan tenang tanpa ada lawan untuk diajak bicara. Pandangannya fokus melihat ke arah bawah gedung yang menampilkan jalanan padat ibu kota dibawah sengatan surya. Suara decitan kursi membuat Rafa menoleh, pemuda yang mengenakan seragam biru sama sepertinya tengah tersenyum canggung. "Maaf pak, boleh saya duduk disini? Semua bangku sudah penuh," ujarnya dengan sopan.Rafa menoleh kebelakang dan menyapu pandangan di sekeliling. Memang kantin tengah begitu ramai pengunjung. Hanya ada beberapa kursi kosong yang berada di antara staf dan karyawan kantor. Tentu membuat pemuda itu sungkan untuk sekedar duduk makan berdampingan dengan mereka. Rafa kembali menatap pemud
Hari ini adalah hari kedua Rafa akan menjalani tugasnya sebagai Cleaning Service. Tidak ada semangat seperti kemarin, karena seharian nanti, dia akan berada di wc lantai 2 dan 3. Ketika dia sudah bersiap berdiri di depan pintu luar dengan mengenakan seragamnya, tiba-tiba ada bola kecil berwarna merah menggelinding dan mengenai tepat sepatu kerjanya. Dia menoleh pada langkah kaki anak kecil yang akan mengambil bola miliknya. "Aduh, bolaku!"Rafa enggan berurusan dengan anak kecil, jadi dia tak peduli dan memilih beranjak untuk segera melajukan motornya. Namun belum sempat ia menyalakan motor, terdengar teriakan wanita yang pernah ada di dalam ingatannya."Rafi! Jangan lari-larian gitu, Nak," teriaknya menghampiri anak kecil.Rafa menoleh, tercengang atas apa yang dilihatnya. "Dewi?" pekiknya ketika melihat wajah yang dulu pernah menghiasi hari-harinya.Wanita itu tersentak, tubuhnya gemetar karena mengenali suara itu. Dia mendongakkan kep
Rafa menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang dulunya adalah ruang kerjanya. Menyenderkan tubuh, lengan, dan kepalanya di sofa. Pagi hari ini benar-benar menjadi sebuah kejutan hebat untuknya. Rafa menutup matanya, bibirnya menyungging sebuah senyuman ketika ia ingat akan pertemuannya dengan Dewi hari ini. Wanita itu mempunyai hutang penjelasan mengenai anak laki-laki yang diberi nama Rafi."Apa sekarang kau sudah gila hanya karena mendapat tuduhan pencurian, bro?" tanya Liam ketika melihat saudara angkatnya itu tersenyum dengan mata yang tertutup rapat.Rafa membuka matanya, menatap langit-langit ruang kerja yang sementara ini milik Liam. "Memang benar aku sudah gila, pertemuanku dengan Dewi tadi pagi benar-benar hal yang tak terduga, Liam."Hah? Dewi? "Tunggu, Dewi? Siapa itu Dewi?" tanya Liam sama sekali tak mengerti."Apa kau bahkan sudah lupa siapa itu Dewi? Bukankah kau dulu juga menyukainya? Lalu patah hati karena ia lebih memilih diriku di
Sebenarnya perkataan Dika tadi siang bisa dikatakan benar. Malam ini Rafa sudah mengecek seluruh cctv perusahaan bersama Liam di ruang kerjanya. Namun memang, dia harus berusaha lebih keras karena cctv yang berada di sekitar ruang pribadi cleaning service sengaja dimatikan oleh seseorang ketika peristiwa pencurian itu terjadi.Tapi tak masalah bagi Rafa dan Liam, mereka bisa menemukan bukti lain lewat cctv tersembunyi yang dulu Rafa perintahkan seseorang untuk memasang di titik tertentu. Meskipun beberapa saksi telah disuap oleh si pelaku, tentu hal itu pun tak menyulitkan Rafa dan Liam untuk membuka kembali mulut para saksi."Bagaimana? Udah tahu kan, siapa pelakunya?" Sejauh ini Liam sudah mengetahui siapa sang pelaku, meskipun tidak mempunyai bukti yang akurat. Seharusnya Rafa mengamuk, mengeluarkan amarah tak terkendali karena baru kali ini ia memiliki seorang pengkhianat dalam hidupnya. Tapi kali ini ia ingin bersikap lebih tenang dan lebih bisa meng