“Rimar!” Suara panggilan yang mengagetkanku. Seketika itu juga aku terbangun dari lelapnya tidur sambil mengusap-usap wajah karena takut ada sisa air liur yang menempel.
“Ini orang gimana, sih! Niat gak, jagain kakakku? Lihat itu Kak Gio lagi apa? Malah enak-enakan tidur!”
Mas Gio sedang sarapan seorang diri ketika aku menoleh ke arahnya. Memangnya jam berapa, kok, sudah ada makanan? pikirku dengan kondisi masih setengah sadar. Akhirnya, aku melirik jam berbentuk persegi di dinding dekat televisi, ternyata sudah jam setengah delapan pagi. Pantas saja kalau makan pagi sudah diantar, biasanya jadwal makan pagi diantar sekitar jam enam.
Selepas salat Subuh, Mas Gio membiarkanku tertidur lagi saat melihat kedua mataku yang begitu kuyu. Maka dari itu, aku pun langsung terlelap begitu kepalaku bersandar di sisi ranjang seperti sebelumnya.
“Mama, Mbak Sari, Lisa, kapan kalian datang? Maaf, saya ketiduran,” ujarku sambil
“Tapi ... aku harus kerja, Mas.”“Di kantor maupun di sini, kamu sama-sama bekerja untuk saya. Dengarkan saja dan turuti!”Akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Aku tidak masalah dengan pekerjaan, tapi ... apa iya aku tidak mandi dan ganti pakaian? Aku tidak ada baju ganti sama sekali. Apalagi, setelah semalam berhadapan dengan si pria gelap, badanku berkeringat dan kini sedikit gatal-gatal. Untung saja, AC di kamar rumah sakit membuatku tak kegerahan lagi.***Setelah empat hari dirawat di rumah sakit, Mas Gio bisa pulang dan aku bisa kembali bekerja. Akan tetapi, Mas Gio masih harus beristirahat selama seminggu di rumah sampai benar-benar pulih dan tak ada keluhan lagi.Selama aku menemaninya di rumah sakit waktu itu, ternyata Mas Gio diam-diam memerintah asisten rumah tangga untuk menyiapkan kebutuhanku; salah satunya pakaian dan underware. Lalu, semuanya itu diantar oleh supir ke rumah sakit.
Kami yang ada di atas hanya memperhatikannya. Namun, tiba-tiba mertuaku tersungkur dan tak berdaya di anak tangga terakhir. Tangannya terlihat memegang perut yang sudah berlumur darah. Sementara itu, si pengemudi berlari cepat ke motor yang ditumpangi temannya, lalu melesat dengan kecepatan tinggi.Beberapa orang yang melihat kejadian itu berusaha mengejar motor, termasuk para security. Selain itu, aku dan Pak adit serentak menuruni tangga untuk menolong mertuaku.“Ma ....?!” Refleks aku memanggil namanya.Teriakanku juga membuat si sopir dan Pak Adit menatapku bersamaan. Tanpa memedulikan mereka, aku langsung menahan tubuh mertuaku sebelum menempel ke lantai. Kupegang perutnya yang ternyata terdapat luka sobekan, darahnya terus mengalir, dan bulu kudukku ikut merinding. Padahal, bukan aku yang mengalaminya, tetapi kaki ini rasanya lemas seketika saat melihat cairan berwarna merah tua di tanganku. Kebingungan membuatku tak bisa berpikir jernih dan be
Mas Gio mendekati, menarik tangan, lalu membawaku ke tempat yang agak sepi. Dia melepas tangan dengan kasar dan mengempaskan tubuhku ke tembok.“Awh, Mas?”“Apa yang kamu lakukan di sini dengan Adit? Mau pamer kedekatan kalian, hah!”“Enggak, Mas. Kami ke sini sama-sama karena khawatir dengan Mama. Apa itu salah?”“Apa datang kemari harus dengan cara saling berpegangan tangan begitu?”“Mas, dia hanya membantuku menemukan ruangan Mama. Dia juga yang sudah sukarela mengantarku ke sini, masih untung aku gak digendongnya.”“Apa maksudmu digendong? Kamu sebagai istri tidak tahu diri sekali! Apa kamu tidak punya malu?!”“Kenapa aku harus malu?! Tidak ada orang yang tahu tentang hubungan aku dan kamu. Selama Mas masih menyembunyikan kenyataan ini, selama itu juga aku aman dari prasangka buruk orang-orang. Mas enggak ingat apa yang Mas lakukan di depan perusahaan se
“Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta
“Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari
“Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel
Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip
Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He