“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Aaah, mmmpht! Uuuuhhh … aaahhh.” Terdengar samar suara desahan itu berasal dari kamar utama. Jantung Leonel seakan berhenti berdetak. Wajahnya memucat, ia membatu di tempat. Ia baru saja kembali dari bekerja, tapi langsung disambut dengan desahan-desahan penuh nikmat yang jelas sekali bunyian itu berasal dari mulut istrinya.Gegas Leonel berlari menuju kamar, ia lempar tas kerjanya secara sembarang. Pintu kamar tidak terkunci sama sekali ketika ia memutar gagang.“Bajingan!” Leonel memaki dengan emosi yang menguasai. Wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras. Napasnya terdengar ngos-ngosan karena menahan amarah.“Mas ….” Airin menoleh menatap suaminya. Wajah wanita itu tampak memerah menahan kenikmatan. Suaranya terdengar parau, serak, dan bergetar. Tubuhnya setengah telanjang dengan keringat yang membasahi badan.Leonel menatap sekitar, mencari seseorang.“Di mana keparat itu?!” Leonel mencari menuju kamar mandi, tapi tidak menemukan tanda-tanda keberadaan lelaki lain di sana. Ia
“Aaah … hhhh!” Terdengar desahan memenuhi ruang kerja milik Leonel.Di atas meja dengan tumpukan map itu, tampak seorang wanita mendesah di bawah Leonel. Mendengar itu, Leonel semakin merasa panas, menikmati sensasi di selangkangannya. “Apa istrimu tidak akan marah jika dia tahu kau selingkuh denganku?” Livy bertanya dengan napas yang terdengar begitu ngos-ngosan, seperti orang yang habis marathon puluhan kilo meter. Matanya merem melek menikmati sodokan yang semakin lama terasa semakin nikmat.“Persetan dengan wanita itu. Dia hanya wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa. Dia akan memaafkanku jika dia mengetahui perbuatanku.” Leonel berucap dengan penuh percaya diri. Ia berhenti bergerak, menciptakan gurat kecewa di wajah cantik Livy, sebab ia hampir mencapai puncak kenikmatan.Plak!Leonel memberikan pukulan yang cukup keras. Menciptakan bekas kemerahan dengan telapak tangan di bokong montok, mulus, dan putih milik Livy. Wanita itu merasa panas di sana, cukup sakit karena Leonel lag
“Mas ….” Airin menyambut dengan senyuman ketika Leonel pulang. Ia peluk tubuh atletis itu dengan penuh kasih sayang. Ia bermanja di sana, mendongak menatap wajah suaminya.“Aku capek, Airin.” Leonel berucap dengan wajah masam. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan. Tampak sekali jika ia merasa sangat risih ketika dipeluk oleh sang istri.Airin melepas pelukan. Wajahnya tampak berbinar, manik matanya memancarkan cahaya kebahagiaan. Ia menjinjit, memberi kecupan lembut di bibir Leonel.“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap bibirnya untuk menghapus bekas ciuman Airin di sana.Air wajah Airin tampak berubah. Jelas saja itu sangat menyakiti hatinya. Sebelumnya Leonel masih ingin menciumnya, tapi kini lelaki itu seakan merasa sangat jijik kepadanya.Leonel berlalu begitu saja, meninggalkan Airin yang tengah berdiri membatu di depan pintu masuk. Wanita itu masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berpikir positif. Tidak ingin ia menyakiti hatinya dengan ber
“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”“Ada papa di luar.”Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.“Mengapa kau tidak bilang padaku?”“Aku sudah memberitahumu.”“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hub