Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu.
“Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan lelaki itu.Leonel mendaratkan bibirnya di bibir seksi itu. Ia terus memaju mundurkan pinggangnya sembari melumat bibir yang membuat ia begitu kecanduan sehingga selalu ingin merasakan nikmatnya. Suara decakan terdengar ketika mereka saling melumat satu dengan yang lain.Livy merasa cukup sesak ketika tubuh besar milik Leonel menimpa tubuhnya. Namun, itu bisa ditutupi dengan rasa nikmat yang ia terima dari lelaki itu.“Aaaah.” Leonel mendesah. Kepalanya serasa ingin meledak karena merasa terlalu nikmat.Hanya saja, Leonel berhenti sejenak.Tiga menit setelah itu, ia bangkit dengan posisi berlutut. Livy ia tarik dan ia minta untuk melakukan pose menungging. Kembali ia mencari kepuasan dari sekretaris kesayangannya itu.“Aaahh.” Livy mendesah. “Besok ada meeting penting, jangan tinggalkan apa pun di leherku.”“Kau bisa menutupinya dengan rambut indahmu.” Leonel mencari alasan. Ia tinggalkan banyak bekas cupangan di sana.Mereka terus bercinta tanpa mengenal waktu. Hingga dering ponsel terdengar di tengah percintaan.Leonel mengabaikan. Ia terus menikmati tubuh Livy dengan penuh nafsu. Ia ingin menguras cairan cintanya sebanyak mungkin. Membuang bibit-bibit bayi begitu saja di atas lantai dan juga di atas perut Livy.Ponsel terus berdering.“Ck!” Loenel berdecak.“Coba kau periksa dulu. Barangkali penting.” Livy berucap dengan sangat lembut disertai desahan.“Tidak ada yang lebih penting dibanding tubuhmu.” Leonel kembali mengecup leher jenjang itu.Ponsel berdering entah untuk yang kesekian kali.Leonel tampak sangat kesal. Ia menebak jika itu adalah istrinya. Dalam hati ia berjanji akan memberikan Airin pelajaran ketika pulang nanti. Berani sekali wanita itu mengganggu keseruannya dalam menikmati tubuh Livy.Namun, bukan Airin yang menghubungi. Melainkan Robin. Air wajah Leonel berubah seketika. Ia berusaha menormalkan napasnya yang terdengar sangat memburu seakan ia habis olah raga berat malam ini.“Halo, Pa.” Leonel berucap dengan penuh sopan, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.Livy menghampiri. Ia peluk tubuh polos milik Leonel dari belakang. Ia mulai menggoda lelaki itu. Telapak tangannya yang halus menggenggam dan mengocok laras panjang milik Leonel. Wajah Leonel memerah dan memanas. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan desahan-desahan.“Airin bersamamu?” Robin bertanya dengan penuh khawatir.“Iya. Dia sedang pergi membeli minum. Ada apa?”“Papa menghubunginya dua jam yang lalu, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Barusan papa hubungi lagi, tapi nomornya sudah tidak aktif. Kalian baik-baik saja?” Robin bertanya memastikan.“Kami baik-baik saja. Mungkin Hp Airin di-silent, jadi dia tidak tahu jika papa nelpon.”“Papa harap juga begitu. Kalian pulang sekarang, papa punya firasat tidak baik.”“Sebentar lagi, Pa. Airin masih ingin jalan-jalan.”“Ya sudah, kalian hati-hati di sana. Kau jaga istrimu baik-baik. Susul dia ke tempatnya membeli minum. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk padanya atau kau akan papa habisi.” Robin memberikan ancaman.“I-iya, Pa.” Leonel terdengar cukup takut mendapat ancaman itu.“Ada apa?” Livy bertanya setelah Leonel mematikan sambungan panggilan dan menaruh ponsel di atas meja kaca.“Wanita sialan itu bikin ulah. Dia pasti sengaja mematikan ponselnya agar aku dimarahi oleh ayahku.” Leonel berucap dengan kesal.Livy tersenyum manis. “Mengapa kau tidak menceraikannya saja? Aku sudah tidak tahan menjalin hubungan di belakang. Kadang aku juga ingin menunjukkan hubungan kita ke orang-orang. Terlebih teman-temanku.”“Aku sedang berusaha. Kau tahu kan, aku tidak akan bisa pisah dengannya jika bukan dia yang meminta lebih dulu. Dia yang punya kunci di dalam hubungan kami.”“Kau kurang kasar padanya. Kau harus bersikap lebih kasar lagi.”“Aku sudah bersikap sekasar mungkin.”“Beri dia pukulan.” Livy memberikan saran.“Ayahku akan memotong tanganku jika aku menyakitinya secara fisik.”“Apa istrimu memang mempunyai power sekuat itu?”“Dia anak tunggal kaya-raya dari teman ayahku. Ayahku punya hutang budi yang sangat besar pada mereka. Apa pun yang dia inginkan, ayahku merasa itu sebagai perintah yang harus dilakukan. Kau tahu, ayahku itu sangat galak dan tegas, tapi dia bisa sangat lembut pada Airin. Kadang aku ingin membunuhnya ketika aku merasa kesal. Dia benar-benar membuatku merasa sangat muak.”Livy semakin mengeratkan pelukan. Wajahnya ia tempelkan ke punggung lelaki itu.“Bagaimana jika kau beritahu istrimu tentang hubungan kita? Kurasa dia akan marah dan meminta pisah.” Livy menyarankan.“Kurasa itu bukan jalan terbaik. Aku akan terus mengabaikannya selama beberapa bulan ke depan, kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan.”***
Tepat pukul sebelas malam, Leonel pamit untuk pulang meski sebenarnya ia ingin menetap di sana lebih lama lagi. Ia beri Livy kecupan di kening, lalu beranjak pergi.“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
TIT!“Dokter! Dokter!” Robin berlari memanggil petugas ketika Airin memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan siuman.Tidak lama berselang, Robin kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa kondisinya. Benar saja, saat dokter tiba di sana, Airin telah membuka mata. Wanita itu berkedip berulang kali untuk menyesuaikan pandangan dengan cahaya. Ia tampak begitu terganggu dengan cahaya ketika pertama kali membuka mata di saat bangkit dari koma.Airin seperti orang linglung, masih setengah sadar ketika ia menatap sekitar. Para petugas tampak sibuk dalam memeriksa kondisinya.Robin tampak begitu senang hingga matanya berkaca-kaca. Seminggu sudah Airin tidak sadarkan diri dan kini akhirnya bisa bangun kembali meski kondisinya masih belum membaik sama sekali.Airin tidak bisa berbicara, bahkan untuk membuka mulut pun ia tidak snaggup karena rahangnya masih terasa sangat sakit. Untung saja rahangnya hanya bergeser, tidak patah. Jadi, penyembuhannya tidak memakan wa
“Istri saya baik-baik saja kan, Dok?” Leonel tampak panik.Airin merasa senang ketika sang suami mengkhawatirkan dirinya. Hal yang tidak pernah ia terima dari lelaki itu sejak enam bulan terakhir. Mendapati wajah panik lelaki itu, ia merasa bahwa Leonel masih peduli dan mencintainya.“Kau menekan perutnya?”“Tidak, aku hanya memeluknya.”“Pelukanmu terlalu kuat sehingga menekan perutnya. Bengkak di perutnya akibat hantaman itu masih sangat sensitive. Organ dalamnya harus mendapat perawatan itensif selama beberapa hari ini. Tolong dijaga istrinya agar tidak melakukan gerakan berat. Dia harus itirahat total.” Dokter mengingatkan.“Saya akan menjaganya, Dok.” Leonel berucap dengan nada yang begitu meyakinkan.Airin meraih tangan suaminya, ia genggam tangan itu dan ia taruh di dadanya. Ia tidak ingin Leonel pergi meninggalkan dirinya. Sebab, ia merasa aman jika suaminya berada di sisinya.Leonel berkaca-kaca menatap istrinya. setelah apa yang ia lakukan selama ini hingga membuat istrinya
“Biarkan aku masuk, Pa.” Leonel memohon dengan sangat. Kali ini tidak ada yang ia harapkan selain bisa bertemu dengan Airin.“Kau hanya akan membuat sakitnya semakin parah.” Robin tetap tidak mengizinkan.“Aku ingin tahu kondisinya sekarang.”“Dia baik-baik saja selama kau tidak mendekatinya.” Robin berucap dengan tegas, lalu kembali menutup pintu.Airin menatap sang mertua dengan sorot penuh tanya. Harapannya sangat besar ingin agar Leonel berada di sisinya. Namun, Robin selalu saja menghalangi. Ia sedikit kecewa dan kesal akan sikap mertuanya itu.“Mas Leo.” Airin berucap dengan suara serak menahan tangis. Seakan protes pada Robin karena tidak mengizinkan Leonel untuk masuk.“Mengapa kau masih saja menginginkannya? Apa kau lupa kau jadi seperti ini karena ulahnya? Jika dia tidak bisa mencintaimu dengan baik, biar papa yang melakukan tugasnya.” Robin berucap dengan sangat lembut, berusaha menghibur hati Airin yang sedang kemalut.Airin menggeleng. “Mas Leonel ….” Wanita itu terus saj
“Airin!” Arie dan Lenzy berlari menuju ranjang di mana putri mereka tengah terbaring tak berdaya di sana.“Ya ampun, Sayang. Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?” Lenzy menangis memeluk tubuh putrinya yang penuh dengan luka.“Mami?” Airin cukup terkejut ketika kedua orangtuanya berada di sana. Setelah siuman, ini pertama kali kedua orang itu datang untuk bertemu dengannya. Di tengah malam seperti itu pula.Robin tidak main-main dengan ucapannya. Setelah meluapkan amarahnya pada Leonel beberapa saat yang lalu, ia segera menghubungi teman baiknya untuk memberitahu mereka mengenai kondisi Airin saat ini. Tentu saja mereka sangat terkejut sekaligus marah, sebab lebih dari seminggu sudah Airin dirawat dan baru malam ini mereka diberitahu mengenai kondisi wanita itu.Arie sangat marah saat tahu bahwa berita tentang putrinya itu benar adanya. Ia cukup kecewa pada Robin yang telah merahasiakan kondisi putrinya. Ia juga sangat kecewa karena orang yang ia percaya tidak bisa menjaga Airin seperti