Tirai warna putih sejak tadi berkibar karena pintu balkon yang sengaja kubuka menjadi pemandangan di depan mata. Pagi ini, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Entah kenapa, tubuh ini rasanya sangat lelah. Mungkin karena kemarin pertama kalinya aku beraktivitas di luar hampir seharian.Hati yang terluka, tidak selamanya akan sembuh dengan sendirinya. Butuh waktu dan usaha untuk sekadar menutupnya agar tidak makin menganga. Namun, sering kali diri sendiri lupa jika keberadaan orang terdekat adalah penyembuh utama.Aku memang benci dengan Rasya, tapi mendengar hidupnya yang sekarang, ada rasa iba yang menelusup. Namun, saat kembali ingat perbuatan keluarganya yang membuat Ayah pergi untuk selamanya, membuatku kembali geram.Ah, pikiran ini pun seakan-akan menambah penat. Tidak perlu aku memikirkan laki-laki yang sudah merusak hidup ini. Aku harus fokus pada rencana pernikahannya dengan Narendra yang akan dilangsungkan dua pekan lagi."Ran, kamu sudah bangun belum, Nak? Ayo, sarapan du
Aku dan Narendra menikmati suasana malam di pinggir jalan sambil menyantap seblak ekstra pedas. Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi sandaran hidupku itu juga menyukai pedas rupanya. Namun, melihat wajahnya yang memerah itu membuatku mengulum senyum. Bahkan, tiga gelas es susu cokelat sudah habis sebagai pendamping makan. "Kalau nggak kuat, nggak usah maksa! Mana, buat aku aja?" Kurebut mangkuk di hadapannya yang tinggal berisi setengah porsi seblak. "Memangnya, kamu nggak kepedesan, Ran? Gila, ini seblak apa jus cabe?" Narendra mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan mulut. "Ini makanan kesukaanku, Ren. Nggak berasa pedesnya kalau kayak punyamu." Aku mulai menyantap seblak milik Narendra karena milikku sudah habis sejak tadi. "Jangan, deh, Ran. Nanti, anakku juga kepedesan. Kasihan."Perkataan Narendra justru membuatku tersedak. Bahkan, pedasnya sampai terasa di hidung. Sakit. Narendra pun kebingungan karena aku terus terbatuk-batuk dengan air mata yang mengalir dengan s
Seharusnya aku senang karena tidak ada lagi alasan untuk mengingat Rasya, tapi kesedihan ini tidak bisa dipungkiri. Janin dalam kandunganku gugur karena pendarahan di saat hati ini sudah menerima sepenuhnya. Bahkan, di usia yang sudah masuk bulan keempat ini, mungkin ruhnya sudah ditiupkan. Dan itu menambah rasa sesal yang mendalam.Aku mengunci mulut rapat-rapat sejak kejadian itu. Rasa kehilangan ini begitu nyata dan sangat menyayat hati. Bahkan, Narendra yang tidak salah apa pun itu mendapat imbas dari sikap diam dan kemarahanku.Saat aku tersadar setelah menjalani kuret, wajah Narendra yang menjadi pemandangan pertama. Dia terlihat begitu sedih, tapi aku buru-buru membuang muka. Aku marah karena dia menolak membawaku pulang tadi pagi.Kalau saja tadi aku langsung pulang, mungkin tidak akan bertemu Rasya dan aku tidak akan mengalami keguguran."Maafkan aku, Ran. Aku hanya ingin yang terbaik buatmu, tapi aku nggak memikirkan jika orang itu akan datang saat aku pergi. Aku minta maaf,
Aku mencoba tenang kali ini. Suasana kamar yang baru saja kujejaki ini membuat sekujur badan berkeringat meskipun AC dalam keadaan menyala. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil memainkan jari-jari tangan menjadi kegiatan paling berat saat ini. Aku ... gugup. Masih terbayang jelas ingatan tadi pagi di mana Narendra menjabat tangan Rendy sambil mengucapkan akad. Dia begitu gagah dan tampan hingga menghipnotisku tanpa bertindak. Saat kata "Sah" menggema, aku baru sadar jika kini sudah memiliki status baru sebagai seorang istri. Rangkaian acara resepsi melelahkan pun kami jalani hingga sore menjelang. Yang membuat bahagia, semua keluarga besar Narendra menerimaku dengan hangat. Satu rombongan dari keluarga ayah Narendra datang tanpa kecuali. Mereka begitu antusias saat mendengar jika anak dari almarhum Ayah Raharja akan menikah. "Akhirnya, cucu kesayangan Kakek menikah juga. Kakek titip Narendra, Nak. Sudah lama Kakek menyuruhnya menikah agar tidak hidup sendirian, tapi alasannya belu
Menjalani kehidupan baru dengan laki-laki yang dicintai adalah impian setiap perempuan, tidak terkecuali aku. Takdir yang sebelumnya kuanggap tidak adil, kini seakan menjadi takdir paling sempurna. Apalagi, bisa menikah dengan Narendra, laki-laki yang mencintaiku apa adanya. Ketika diri mampu bersabar, akan ada kebahagiaan yang tersebar pada waktu yang tepat sembari memberi rasa pada hari-hari yang sebelumnya hambar. Bahkan, amarah yang sempat membakar, lebih baik disiram dengan air sebagai penawar. Hingga nantinya, hal baik yang akan menjadi kabar. Aku membuka mata saat azan Subuh berkumandang. Meskipun tidak terlalu keras terdengar dari apartemen ini, seruan itu tetap mampu membangunkanku. Satu pekan sudah aku terbangun dengan pemandangan paling indah--menurutku. Menatap Mas Narendra di saat dia masih tertidur membuat hati ini sangat bahagia. Mengingat setiap perlakuan lembutnya mampu menghapus jejak ketakutan saat berhadapan dengan Rasya. Ah, untuk apa mengingat nama itu lagi?
Setelah Mas Narendra pergi, tak lama kemudian, Hera datang berkunjung sendirian. Wajahnya sedikit kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Katanya sedang marahan dengan Rendy.Hera tidak menangis, tapi dia uring-uringan karena Rendy tidak setuju dengan gaun pengantin pilihannya. Dan sekarang, dia ingin mengajakku untuk memesan ulang gaun pengantin yang akan digunakan bulan depan.Aku menghela napas kasar. Niat hati ingin rebahan, tapi calon adik ipar mood-nya sedang jelek. Bisa batal pernikahan adik kesayanganku kalau calon istrinya tidak kuturuti."Mbak nggak keberatan, 'kan? Soalnya, aku tadi ketemu Mas Narendra di lobi, katanya Mbak libur hari ini."Aku mencium bau persekongkolan di sini. Namun, mau bagaimana lagi? Lebih baik aku pergi dengan Hera, sekalian refreshing. Otak juga ngebul kalau dibuat bekerja terus-menerus."Kita ajak Ibu, ya, Mbak," ucap Hera saat kami baru akan beranjak pergi."Boleh. Ibu juga pasti ingin jalan-jalan."Akhirnya, kami pergi bertiga menggunakan tak
Kejutan ulang tahun kedua puluh delapan ini membuatku merasa sangat berharga. Cintanya sungguh luar biasa, tecermin dari lagu yang dia bawakan. Dan malam ini pula, aku ikhlas memberikan apa yang memang sudah menjadi haknya sejak dua bulan yang lalu. Dia begitu lembut memperlakukanku, hingga ketakutan saat Rasya menyentuhku dulu lenyap dan berganti kenyamanan. "Terima kasih, Sayang," bisiknya setelah selesai berlabuh. Ya, suasana malam yang syahdu ditemani gemuruh petir di luar, tidak sedikit pun mengganggu. Namun, itu justru menjadi teman saat kami akan terlelap bersama butiran air yang tampak memercik di kaca pintu balkon karena tirainya tidak tertutup sempurna. ***Tiga pekan terlewat. Pagi ini, aku sengaja meminta izin Mas Narendra untuk tidak bekerja selama beberapa hari ke depan. Alasannya hanya satu, aku ingin menjadi orang pertama yang paling sibuk mempersiapkan pernikahan Rendy yang tinggal menghitung hari. Dari mulai memastikan tempat akad nikah, tempat resepsi, katering
Aku masih bimbang antara masuk ke ruang poli kandungan atau tidak. Namun, melihat antusias Mas Narendra, hati ini tidak tega jika mengecewakannya. Aku benar-benar takut kali ini. Bukan karena tidak ingin hamil, tapi takut jika hasilnya negatif. Pun takut jika terjadi keguguran lagi nantinya. Beberapa saat kami menunggu, namaku akhirnya dipanggil. Namun, aku bergeming, enggan untuk beranjak dari duduk. Hingga Mas Narendra menarik tanganku dan membuat tersadar. Dia sudah berdiri di hadapan. "Ada apa?" tanyanya lembut. "Aku takut, Mas," jawabku pelan seraya menatapnya. Memang ada keraguan di hati ini. "Sebentar saja, ya. Kalaupun hasilnya negatif, nggak apa-apa. Sekalian konsultasi saja," bujukya seraya berjongkok di hadapan dan meremas kedua tanganku dengan lembut. Aku tidak bisa menolak lagi. Harapannya terlalu besar. Akhirnya, dengan langkah pelan, aku pun masuk ke ruangan dokter dengan hati yang gelisah. Sebuah alat digeser-geser pada perutku setelah mengikuti instruksi sang d