Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.
Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.
Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
~Celeste~ “Mereka adalah keluarga yang baik dan terpandang. Mereka tidak akan menyakiti kamu. Temanku ingin membantu kita, Nak,” bujuk Papa dengan suara mendayu. “Membantu tidak akan memberi syarat seberat itu, Pa. Ini sama saja dengan Papa menjual aku demi membayar utang. Apa bedanya aku dengan p*lacur di luar sana!?” tangkisku dengan sengit. “Este! Jaga bicara kamu! P*lacur tidak menikah secara sah! Mereka memberikan tubuh mereka demi uang. Dan pria yang mereka tiduri bukanlah suaminya. Kamu akan bahagia hidup sebagai istri pria itu. Dia adalah ahli waris utama ayahnya, Nak. Apa kamu tidak tahu betapa beruntungnya kamu? “Ada banyak perempuan di luar sana yang berebut untuk menjadi istrinya, berusaha untuk menarik perhatiannya. Mengapa kamu malah menolak niat baik mereka? Pria mana lagi yang berasal dari keluarga terpandang yang mau menikahi kamu?” “Tidak, Pa. Aku tidak akan menikah dengan pria asing. Titik! Aku dan Kakak akan berusaha mencari cara untuk membantu Papa mengumpulka
Restoran milik Papa mengalami masalah karena sebuah kesepakatan bisnis yang ternyata hanyalah tipuan. Seseorang yang dikenalnya dari seorang teman menawarkan kepada Papa untuk membuka cabang restoran dan memberi pinjaman yang cukup besar. Bangunan bertingkat tiga itu ternyata tidak mempunyai izin, dan terpaksa disegel ketika sudah sembilan puluh persen rampung. Papa memercayakan pengurusan izin kepada orang yang diutus oleh kenalannya tersebut dan tidak pernah memeriksa hasil kerjanya. Karena restoran tidak jadi dibangun, Papa dianggap telah melanggar perjanjian kerja sama dan diminta untuk mengembalikan uang yang telah dipinjam beserta penalti yang harus dibayar. Jumlahnya sangat besar. Uang simpanan Papa bahkan belum cukup untuk membayarnya. “Pa, ini uang tabunganku dan Este. Semoga ini bisa membantu,” kata Kakak sambil memberikan setumpuk uang di atas meja kerja Papa. “Tidak.” Dia mendorong uang itu kembali ke arah kami. “Kamu perlu uang untuk membuka praktik, sedangkan adikmu b
~Jonah~ Menyusun rencana, memeriksa lokasi, mengajukan proposal, mengadakan event, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi pelaksanaan setiap harinya, menulis laporan, menerima masukan, kemudian menyusun rencana baru lagi, begitu terus berputar-putar yang harus aku lakukan sebagai manajer pemasaran. Tidak ada hari untukku duduk diam di ruanganku selama sebulan terakhir ini karena peluncuran apartemen baru yang dibangun oleh perusahaan Ayah mendapat sambutan baik, tetapi belum semua unit terjual. Jika kami tidak bergerak cepat, kami akan segera disibukkan lagi dengan program baru untuk memasarkan unit pada mal yang sebentar lagi akan selesai dibangun. Fabian sedang menunjukkan laporan terbaru promosi yang kami lakukan di sebuah mal ketika seseorang menabrak tubuhku sehingga cup kopi yang aku pegang mengenai pakaianku dan tumpah. Kopi itu sudah tidak panas lagi tetapi isinya masih penuh. Aku tidak sempat meminumnya karena tidak berhenti bicara dengan asistenku. “Aku mohon, maafkan aku
~Celeste~ Setelah memarkirkan mobil di halaman kampus, aku setengah berlari menuju kantor jurusanku. Suasana kampus sedang sepi karena perkuliahan sudah dimulai. Aku melihat sahabatku melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku segera mendekatinya. Melihat wajah bahagianya, aku mengerutkan kening. Kemarin Nola masih terlihat berduka karena khawatir tidak akan bisa membayar biaya kuliahnya untuk semester berikutnya. Jadi, dia mulai mencari-cari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilamarnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sekaligus biaya kuliahnya. Orang tuanya masih mencicil rumah dan kendaraan mereka, karena itu pendapatan bulanan mereka selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan kredit. Yang disimpan juga hanya cukup untuk membayar biaya pendidikan Nola dan adik-adiknya. “Terima kasih banyak, Cel.” Dia memeluk aku, lalu melompat-lompat bahagia. Aku terpaksa ikut melompat karenanya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. “Papa dan mamaku sudah mendapatkan g
Walaupun aku sudah tidak sabar ingin mengerjakan skripsiku, aku tidak bisa segera pulang ke rumah. Papa masih dirawat di rumah sakit. Kakak sedang bekerja, jadi Papa pasti kesepian jika sepanjang hari ini tidak ada yang menemani. Keadaan akan berbeda andai saja Mama masih hidup. Mama sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kanker otak yang dideritanya. Kanker itu baru diketahui ketika Mama sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kami berjuang bersama selama hampir enam bulan ketika Mama akhirnya mengembuskan napas yang terakhir. Aku masih sering melihat Papa berwajah sedih saat dia berpikir tidak ada yang sedang melihatnya. Hidup bersama selama dua puluh lima tahun pasti tidak mudah untuk membiasakan diri hidup tanpa pasangan lagi. Karena itu, aku mengerti mengapa Papa sangat berharap bisa mempertahankan restoran miliknya. Restoran itu adalah usahanya dari nol bersama Mama. Mereka memulai dari usaha warung makan kecil yang perlahan menerima katering. Pelanggan semakin banyak da
~Jonah~ Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan. Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja. “Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian
~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam