PoV Abang
Tiba di kantor, Dion masuk ke ruanganku untuk membicarakan soal proyek yang akan kami tangani.
“Gimana soal lahan kemaren?” Aku membuka percakapan saat berada di ruangan. Dion menarik kursi, duduk, menumpang kaki, ibu jari mengusap bulu di dagunya.
“Lancar. Cuma itu lahan ada yang bekas empang. Jadi harus diurug tanah banyak. Kalau gak diurug dulu, bisa ambles nanti perumahannya.”
Aku berpikir sejenak. Membayangkan lahan tersebut. Kalau begitu, berarti harus tambah anggaran dari rencana anggaran sebelumnya.
“Strategis lokasinya?”
“Lumayan. Dekat area pabrik aja sih. Lokasinya di belakang pabrik itu. Kita udah sepakat soal harga. Tinggal ngebangun.”
“Good. Kalau kurang budget, tinggal bilang. Usahakan mandornya jujur.”
Dion mengubah posisi duduk. Menum
PoV Dira Hubunganku dengan Sabrina sudah berjalan hampir tiga bulan. Tidak ada kendala selama ini. Bahkan, aku sempat dikenalkan oleh keluarganya. Ternyata, Ayah Sabrina seorang dokter. Ayahnya bernama Rahmat Hardian, sedangakan ibunya Widya Yargadinata. Keluarga terhormat dan kaya raya. Sejujurnya aku merasa minder, apalagi Sabrina kerap kali berbicara soal pernikahan. Entahlah, aku tak mengerti. Kenapa dia begitu ingin menikah denganku? Terus terang aku pun telah jatuh hati padanya. Sabrina yang dulu terkenal populer di kampus, dan sering kali bergaya centil, sekarang sudah berubah 180 derajat. “Dir, besok Kakak aku yang tinggal di Semarang mau datang. Kamu ke rumah ya? Mau aku kenalin.” Ucapnya saat kami baru tiba di kos-an pukul delapan malam. Aku dan Rina menikmati hembusan angin malam di depan teras. Terdiam, memikirkan pembicaraan atau pertanyaan yang akan
PoV SabrinaSungguh! Aku tak menyangka kalau Dira anak tukang bakso. Penampilannya selama ini sangat mencerminkan orang yang berada, seperti orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Lebih tak menyangka lagi, ternyata dia seorang duda! Astaga ... kenapa kisah cintaku selalu rumit?Memejamkan mata, mengingat kembali kedekatan kami yang baru terajut hitungan bulan.Hingga tiba di rumah, air mataku tak henti berlinang.“Rina, kamu nangis?” Mama menghentikkan langkah saat menuju kamar. Kuseka air mata, terbata menjawab pertanyaan wanita yang telah melahirkanku.“Ng-Nggak apa-apa, Ma. Rina mau ke atas dulu.” Menaiki anak tangga, tidak menghiraukan panggilan Mama.Di dalam kamar, kutumpahkan segala beban di hati. Menangis histeris. Aku tidak mau kehilangan Sudira. Aku ingin menikah dengannya, bagaimana pun masa lalunya yang terpenting se
PoV Sabrina.Di depanku sudah duduk lelaki yang kusayangi. Kami sengaja bertemu di salah satu cafe dekat kampus.“Makasih, Rin. Kamu masih mau ketemu sama aku.” Dira membuka percakapan setelah dua cangkir kopi diletakkan oleh waiters di atas meja.“Iya. Ada yang mau aku bicarakan.” Jawabku menatap lelaki yang sangat kurindukan.“Bicaralah. Tentang hubungan kita?” mendongak, menatap lelaki berkulit sawo matang.“Iya. Bukan Cuma itu, aku juga ... ingin jujur soal masa laluku.”Dira mengerutkan kening. Alisnya tertaut, kedua bola mata memandang intens.“Masa lalu? Oke, aku akan dengarkan masa lalu kamu.”Menarik napas panjang. Bingung, mau mulai dari mana. Mengingat masa lalu yang sempat dulu aku kubur dalam-dalam.“Dira, aku bukan perempuan baik-ba
PoV SabrinaAku bersyukur, Dira dengan lapang hati mau menerima masa laluku. Bahkan dia ingin memperjuangkan cinta kami.Tiba di rumah, aku langsung mencari Kak Inggit.“Kakak kamu ada di taman belakang. Lagi ngobrol sama suaminya. Ada apa sih?” jawab Mama saat aku menanyakan keberadaan Kak Inggit.“Nanti juga Mama tau kok. Dah ya, aku mau ketemu Kak Inggit dulu.” Setengah berlari ke taman belakang. Langkah kaki terhenti, ketika kulihat Kak Inggit dan suaminya seperti sedang bertengkar. Aku segera membalikkan badan, memilih pergi ke kamar, menunggu mereka selesai.Dari balkon kamar yang menjorok ke taman belakang, diam-diam memerhatikan pasangan suami istri itu. Mereka masih saja berdebat. Entah apa yang menyebabkan pertengkaran mereka. Eh, si kembar di mana ya?Berlari menuruni anak tangga, mencari Rafi dan Rifa.“Bi, si
PoV SabrinaKedua mata Kak Inggit menerawang, mungkin sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku.“Menurut kamu diapain, Rin?”“Bakar!!” Emosiku kian tak terkendali. Kak Inggit tertawa lepas sampai memegang perutnya.“Gak mau! Ada-ada aja kamu!”Sebal sih, udah ngerebut suami orang, malah sengaja pamer pernikahan ke istri pertama. Pelakor emang gak punya hati!“Kita ketemuan aja, Kak! Jambak rambutnya sampe putus!” kataku masih dengan emosi meluap. Kak Inggit menarik napas panjang.“Kakak mau gugat cerai aja kali ya?”“Kakak mundur?” Kak Inggit menggeleng.“Bukan. Cuma pengen tau aja, hidup Mas Genta sama si Dita itu nantinya gimana. Kakak udah capek, lihat kelakuannya. Bilang janji gak akan mengulangi, gak taunya sekarang malah maki
PoV Dokter Rahmat (Papa Sabrina)‘Anak pembuat onar! Gak tau diri! Selalu saja bikin masalah.’ Aku terus memaki sepanjang jalan.Sabrina dari dulu sangat sulit diatur, anak pembangkang. Berbeda sekali dengan anak pertamaku, Inggit. Dia adalah anak yang membanggakan.Mengeluarkan ponsel, menghubungi sahabat karib. Aku ingin berbincang banyak hal dengannya.“Hallo, Pras?” sapaku saat sambungan telepon terhubung.“Berkali-kali aku bilang jangan panggil dengan nama itu!!”Ya Tuhan, dia malah marah-marah. Kuembuskan napas perlahan. Jangan sampai terpancing emosi.“Sorry, Bram ... aku lupa.”“Sudah tua kau! Selalu saja lupa!”“Aku tidak mau berdebat. Kau sedang di mana, Bram?”“Di rumahlah ....” Aku
PoV Abang“Bohong apa, Yu?” Bukannya menjawab, Ayu justru menatapku dengan tatapan yang sangat menusuk. Seolah kebohongan yang aku lakukan sangat menyakitkannya. Tapi kebohongan apa?Seingatku, selama ini tidak ada yang aku tutupi darinya. Semua telah aku ceritakan. Apalagi keseharian kami selalu bersama-sama. Ayu memalingkan wajah. Enggan memandangku. Air matanya merembas.“Sayang ... bilang ke Abang. Abang bohong soal apa? Tolong ....” Kuusap air mata yang membasahi pipinya.“Yu ... tolong bilang, kesalahan Abang apa?” Dia tetap bungkam. Sepertinya Ayu sedang tidak mau bicara padaku. Mungkin lebih baik membiarkan Ayu sendiri dulu.“Ya udah kalau Ayu gak mau ngomong sama Abang. Lebih baik, Ayu istirahat dulu. Biar sehat lagi. Abang sayang Ayu.” Mengecup keningnya lama. Kedua bibir Ayu masih terkatup rapat. Aku b
PoV SilviAku sangat menyesal, membahas dan bertanya soal wanita bugil itu. Ayu benar-benar shock. Aku kira dia tahu, ternyata tidak. Sekarang Abang dan Ayu sedang berdua di dalam kamar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ayu pada suaminya. Duh, semua ini memang salahku.“Mbak Silvi, diminum dulu tehnya.” Bi Sumi duduk di kursi sebelahku.“Udah, Mbak ... jangan terlalu dipikirin. Insya Allah Mbak Ayu sama Mas Dendi baik-baik saja.” Hibur Bi Sumi yang memang tahu akar permasalahannya. Tadi selepas keluar kamar Ayu, aku langsung bercerita soal obrolan di ruang tamu.“Silvi takut ... Ayu sama Abang berantem, Bi.” Suaraku bergetar. Menahan rasa sesal di dada. Kalau ada apa-apa dengan rumah tangga sahabatku, akulah orang pertama yang pantas disalahkan. Mengangkat cangkir yang disuguhkan Bi sumi, menyesap teh hangat perlahan-lahan.