PoV Sabrina
Aku bersyukur, Dira dengan lapang hati mau menerima masa laluku. Bahkan dia ingin memperjuangkan cinta kami.
Tiba di rumah, aku langsung mencari Kak Inggit.
“Kakak kamu ada di taman belakang. Lagi ngobrol sama suaminya. Ada apa sih?” jawab Mama saat aku menanyakan keberadaan Kak Inggit.
“Nanti juga Mama tau kok. Dah ya, aku mau ketemu Kak Inggit dulu.” Setengah berlari ke taman belakang. Langkah kaki terhenti, ketika kulihat Kak Inggit dan suaminya seperti sedang bertengkar. Aku segera membalikkan badan, memilih pergi ke kamar, menunggu mereka selesai.
Dari balkon kamar yang menjorok ke taman belakang, diam-diam memerhatikan pasangan suami istri itu. Mereka masih saja berdebat. Entah apa yang menyebabkan pertengkaran mereka. Eh, si kembar di mana ya?
Berlari menuruni anak tangga, mencari Rafi dan Rifa.
“Bi, si
PoV SabrinaKedua mata Kak Inggit menerawang, mungkin sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku.“Menurut kamu diapain, Rin?”“Bakar!!” Emosiku kian tak terkendali. Kak Inggit tertawa lepas sampai memegang perutnya.“Gak mau! Ada-ada aja kamu!”Sebal sih, udah ngerebut suami orang, malah sengaja pamer pernikahan ke istri pertama. Pelakor emang gak punya hati!“Kita ketemuan aja, Kak! Jambak rambutnya sampe putus!” kataku masih dengan emosi meluap. Kak Inggit menarik napas panjang.“Kakak mau gugat cerai aja kali ya?”“Kakak mundur?” Kak Inggit menggeleng.“Bukan. Cuma pengen tau aja, hidup Mas Genta sama si Dita itu nantinya gimana. Kakak udah capek, lihat kelakuannya. Bilang janji gak akan mengulangi, gak taunya sekarang malah maki
PoV Dokter Rahmat (Papa Sabrina)‘Anak pembuat onar! Gak tau diri! Selalu saja bikin masalah.’ Aku terus memaki sepanjang jalan.Sabrina dari dulu sangat sulit diatur, anak pembangkang. Berbeda sekali dengan anak pertamaku, Inggit. Dia adalah anak yang membanggakan.Mengeluarkan ponsel, menghubungi sahabat karib. Aku ingin berbincang banyak hal dengannya.“Hallo, Pras?” sapaku saat sambungan telepon terhubung.“Berkali-kali aku bilang jangan panggil dengan nama itu!!”Ya Tuhan, dia malah marah-marah. Kuembuskan napas perlahan. Jangan sampai terpancing emosi.“Sorry, Bram ... aku lupa.”“Sudah tua kau! Selalu saja lupa!”“Aku tidak mau berdebat. Kau sedang di mana, Bram?”“Di rumahlah ....” Aku
PoV Abang“Bohong apa, Yu?” Bukannya menjawab, Ayu justru menatapku dengan tatapan yang sangat menusuk. Seolah kebohongan yang aku lakukan sangat menyakitkannya. Tapi kebohongan apa?Seingatku, selama ini tidak ada yang aku tutupi darinya. Semua telah aku ceritakan. Apalagi keseharian kami selalu bersama-sama. Ayu memalingkan wajah. Enggan memandangku. Air matanya merembas.“Sayang ... bilang ke Abang. Abang bohong soal apa? Tolong ....” Kuusap air mata yang membasahi pipinya.“Yu ... tolong bilang, kesalahan Abang apa?” Dia tetap bungkam. Sepertinya Ayu sedang tidak mau bicara padaku. Mungkin lebih baik membiarkan Ayu sendiri dulu.“Ya udah kalau Ayu gak mau ngomong sama Abang. Lebih baik, Ayu istirahat dulu. Biar sehat lagi. Abang sayang Ayu.” Mengecup keningnya lama. Kedua bibir Ayu masih terkatup rapat. Aku b
PoV SilviAku sangat menyesal, membahas dan bertanya soal wanita bugil itu. Ayu benar-benar shock. Aku kira dia tahu, ternyata tidak. Sekarang Abang dan Ayu sedang berdua di dalam kamar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ayu pada suaminya. Duh, semua ini memang salahku.“Mbak Silvi, diminum dulu tehnya.” Bi Sumi duduk di kursi sebelahku.“Udah, Mbak ... jangan terlalu dipikirin. Insya Allah Mbak Ayu sama Mas Dendi baik-baik saja.” Hibur Bi Sumi yang memang tahu akar permasalahannya. Tadi selepas keluar kamar Ayu, aku langsung bercerita soal obrolan di ruang tamu.“Silvi takut ... Ayu sama Abang berantem, Bi.” Suaraku bergetar. Menahan rasa sesal di dada. Kalau ada apa-apa dengan rumah tangga sahabatku, akulah orang pertama yang pantas disalahkan. Mengangkat cangkir yang disuguhkan Bi sumi, menyesap teh hangat perlahan-lahan.
PoV AyuUntuk kesekian kalinya, aku membentak Abang. Rasa sesak dan sesal menyelimuti dada. Kedua bola mata suamiku membulat, tapi tak ada amarah sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Ia mendesah panjang, lalu berdiri.“Abang udah jelasin yang sebenarnya. Perkara Ayu percaya atau gak, itu hak Ayu. Oke, Abang ke kantor lagi. Ayu baik-baik di rumah.”Sesungguhnya aku pun ingin mempercayai penjelasan Abang tapi entah kenapa ada keraguan tersendiri dalam hati ini.Ya Allah ... jangan sampai aku dibutakan oleh rasa cemburu dan curiga yang berlebihan.Suara derum mobil Abang sudah menjauh. Aku beranjak keluar, menemui Silvi dan Bi Sumi.Silvi sedang termangu di kursi meja makan seorang diri. Dia tampak bersedih, mungkin merasa bersalah padaku. Padahal tidak perlu seperti itu, justru aku berterima kasih padanya jadi tahu masalah ini.****Jam lima sore,
PoV DiraPenugasan keluar kota dari Pak Dendi membuatku sedikit ragu. Bukan tak mau. Persoalannya masalahku dengan Sabrina belum selesai. Apalagi kalau tugasnya mengawasi pekerja, mengecek bahan-bahan bangunan dan juga keluar masuk keuangan, itu membutuhkan pikiran yang ekstra.Pukul sembilan malam baru tiba di kost. Sebelumnya mampir sebentar di sebuah cafe bersama Rico dan Leo. Dua sahabatku semasa kuliah.Aku menemui mereka meminta pendapat perihal hubunganku dengan Sabrina. Kalau menurut Rico, aku harus tetap meminta restu pada orang tua Sabrina dengan membuktikan jika aku bisa meraih kesuksesan tapi itu butuh waktu yang sangat lama.Sementara Leo, memberi saran agar aku dan Sabrina kawin lari saja. Dari pada melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Karena menurutnya, sampai kapanpun orang tua Sabrina tidak akan merestui.Entahlah, hingga detik ini belum ada keputusan yang kuam
PoV Ayu Sambil berjalan di pinggir trotoar, aku memesan taksi online. Berdiri di halte yang tak jauh dari butik. Menyeka air mata yang mulai membasahi pipi. Ucapan dan pertanyaan Silvi membuatku takut. Takut apa yang dikatakannya benar adanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus mempercayai penjelasan Abang. Benar kata Silvi, aku harus mampu berdamai dengan masa lalu Abang. Taksi yang kupesan sudah berhenti tepat di depan. Segera masuk, memberi tahu alamat yang akan dituju. Melirik arloji sudah pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Apakah Abang masih di rumah atau sudah berangkat di kantor? Mengeluarkan ponsel kembali, mengetik nomor Bi Sumi. Menanyakan keberadaan Abang. Tapi nihil, beberapa panggilanku tidak diangkat. Apakah Abang sudah berangkat ke kantor? Aku malu kalau menghubungi Abang langsung. Menyandarkan punggung pada jok mobil sambil memejamkan mata. Bingung harus k
PoV DahliaSemenjak tinggal bersama Silvi, hidupku menjadi lebih tenang. Meski awal hidup seatap dengan anak itu, hatiku masih saja menyimpan rasa benci, tapi aku akui, di sini lebih aman, nyaman, dan tentram.Selang beberapa hari, Silvi memutuskan untuk pindah ke kontrakan lain. Mungkin sudah tak sanggup lagi menghadapi sikapku yang selalu tak baik padanya. Ya aku tahu, aku bukanlah ibu yang baik. Sangat buruk. Anak yang tidak tahu menahu, menjadi pelampiasan kebencian dan kekesalan yang kualami pada seorang laki-laki bernama Supriyatna. Yang tiada lain adalah Bapak kandung Silvi.Tidak hanya itu, peristiwa yang paling membuatku terkejut, berita pernikahan Putri, anak kesayanganku yang menikah dengan laki-laki bermental authis. Lebih parah, Putri sudah hamil sebelum menikah.Itu semua menjadi masa lalu. Dimulai saat bertemu ibu mertua Silvi, pikiran dan hatiku mulai terbuka. Aku yang d