PoV Dira
Penugasan keluar kota dari Pak Dendi membuatku sedikit ragu. Bukan tak mau. Persoalannya masalahku dengan Sabrina belum selesai. Apalagi kalau tugasnya mengawasi pekerja, mengecek bahan-bahan bangunan dan juga keluar masuk keuangan, itu membutuhkan pikiran yang ekstra.
Pukul sembilan malam baru tiba di kost. Sebelumnya mampir sebentar di sebuah cafe bersama Rico dan Leo. Dua sahabatku semasa kuliah.
Aku menemui mereka meminta pendapat perihal hubunganku dengan Sabrina. Kalau menurut Rico, aku harus tetap meminta restu pada orang tua Sabrina dengan membuktikan jika aku bisa meraih kesuksesan tapi itu butuh waktu yang sangat lama.
Sementara Leo, memberi saran agar aku dan Sabrina kawin lari saja. Dari pada melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Karena menurutnya, sampai kapanpun orang tua Sabrina tidak akan merestui.
Entahlah, hingga detik ini belum ada keputusan yang kuam
PoV Ayu Sambil berjalan di pinggir trotoar, aku memesan taksi online. Berdiri di halte yang tak jauh dari butik. Menyeka air mata yang mulai membasahi pipi. Ucapan dan pertanyaan Silvi membuatku takut. Takut apa yang dikatakannya benar adanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus mempercayai penjelasan Abang. Benar kata Silvi, aku harus mampu berdamai dengan masa lalu Abang. Taksi yang kupesan sudah berhenti tepat di depan. Segera masuk, memberi tahu alamat yang akan dituju. Melirik arloji sudah pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Apakah Abang masih di rumah atau sudah berangkat di kantor? Mengeluarkan ponsel kembali, mengetik nomor Bi Sumi. Menanyakan keberadaan Abang. Tapi nihil, beberapa panggilanku tidak diangkat. Apakah Abang sudah berangkat ke kantor? Aku malu kalau menghubungi Abang langsung. Menyandarkan punggung pada jok mobil sambil memejamkan mata. Bingung harus k
PoV DahliaSemenjak tinggal bersama Silvi, hidupku menjadi lebih tenang. Meski awal hidup seatap dengan anak itu, hatiku masih saja menyimpan rasa benci, tapi aku akui, di sini lebih aman, nyaman, dan tentram.Selang beberapa hari, Silvi memutuskan untuk pindah ke kontrakan lain. Mungkin sudah tak sanggup lagi menghadapi sikapku yang selalu tak baik padanya. Ya aku tahu, aku bukanlah ibu yang baik. Sangat buruk. Anak yang tidak tahu menahu, menjadi pelampiasan kebencian dan kekesalan yang kualami pada seorang laki-laki bernama Supriyatna. Yang tiada lain adalah Bapak kandung Silvi.Tidak hanya itu, peristiwa yang paling membuatku terkejut, berita pernikahan Putri, anak kesayanganku yang menikah dengan laki-laki bermental authis. Lebih parah, Putri sudah hamil sebelum menikah.Itu semua menjadi masa lalu. Dimulai saat bertemu ibu mertua Silvi, pikiran dan hatiku mulai terbuka. Aku yang d
PoV AyuAku membawa tas kerja Abang ke dalam kamar. Bi Sumi sudah tidak lagi di dapur, mungkin sedang menemani Bang Parto. Di dalam kamar, membuka kembali tas kerja yang biasa Abang bawa. Bibirku tersenyum saat menemukan buku agenda yang sudah lusuh. Buku agenda keseharian suamiku sejak dulu.Naik ke atas tempat tidur, punggung kusandarkan pada kepala ranjang. Membaca lembaran-lembaran curhatan Abang. Hampir semua yang dialami ditulis dalam buku ini. Hingga soal pertengkaran aku dengannya.Bukan maksud merahasiakan masalah itu padanya. Hanya saja, menurutku tidaklah penting. Aku tak menyangka, Ayu sangat marah dan parahnya tidak percaya pada penjelasanku.Yu, harus bagaimana lagi Abang ngeyakinin Ayu? Semua yang Ayu tuduhkan tidak benar. Sumpah! Demi Tuhan! Abang tidak melakukan seperti yang Ayu pikirkan. Jika sumpah atas nama-Nya tidak dipercayai, lantas dengan sumpah apalagi? Bukankah s
PoV Herlina Hampir enam bulan, aku mendekam di penjara. Jangan tanya rasanya seperti apa? Sumpek, sesak, tersiksa! Aku pikir, bisa memesan tempat atau ruangan khusus, seperti para koruptor lakukan. Mungkin bisa, kalau aku punya banyak uang. Sialnya, uang yang aku kumpulkan hasil penjualan perusahaan dan hasil investasi sudah atas nama Firman Aditama. Si anak dungu! Aku sengaja mengatasnamakan Firman supaya jika suatu waktu terjadi masalah, dialah yang tertangkap. Ternyata dugaanku salah besar. Justru perbuatanku itu sangat menguntungkannya. Ya aku tahu, dia seperti itu karena hasutan dari seorang gadis bernama Putri Dewani. Gadis yang sudah dinikahinya beberapa bulan lalu. Karena kehadiran gadis itu, Firman jadi pelit memberikanku uang dalam jumlah besar. Kalau saja, bisa kabur dari penjara ini, dapat dipastikan nyawa Putri lenyap ditanganku. “Eh, Ratih! Dipanggil Sipir Trisno!
PoV SabrinaEsok harinya, Dira mengajakku ke salah satu rumah kontrakan yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya.“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” ujar lelaki berlesung pipit saat membantuku merapikan rumah kontrakan tersebut.“Iya, Sayang ... makasih,” sahutku menggamit lengannya.Dira mengajak duduk di bangku teras.“Aku mau bicara sesuatu.” Katanya dengan tatapan serius.“Bicara apa?” Melepaskan gamitan dari lengannya, kemudian kami duduk berhadapan.“Lusa, aku ditugasin keluar kota. Ngawasin proyek di sana.” Berarti kami harus berpisah.“Berapa lama?”“Mungkin satu bulan,” sahut Dira lirih. Aku menghela napas. Rasanya berat berpisah dengan lelaki yang sudah membantuku berubah menjadi orang yang lebih baik. 
PoV AbangRasanya bahagia sekali dapat menyentuh Ayu kembali dan melihat dia bermanja lagi.Usai ‘melakukan’, kedua lengan Ayu masih memelukku. Ia tampak kelelahan. Membelai rambut dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, maaf ya? Abang gak sempat mandi dulu. Gak tahan!”Dia menarik tubuh, memandang dengan kedua mata membulat.“Idih iya, Abang belum mandi. Pantesan bau!!” Ayu mencibir, memencet hidung.“Hm ... bau juga tapi enak kaaann?” Aku mulai menggodanya. Bibir istriku mengerucut. “Ya udah gak apa-apa. Tapi Abang tadi sempat baca doa kan?”“Sempetlah. Gak mau berhubungan dibantu ama setan. Abang juga tadi masih punya wudhu.”“Masa?”“Iya. Tadi jam delapanan Salat Isya di jalan. Sampe masukin mobil di gara
PoV CindyAndai saja, satu tahun lalu, Papa tidak terjerat kasus korupsi, hartanya tidak disita Negara, sekarang Ibu tidak hanya berjualan kue, aku tak mungkin mau menjadi simpanan Om-Om. Apalagi Om itu adalah Papa kandung dari sahabatku, Sabrina.Terkadang rasa sesal menyelimuti hati, tapi apa daya, semua telah terjadi. Aku yang sudah terbiasa bergaya hidup hedonis, mau tak mau menerima tawaran Om Rahmat untuk melayaninya selama ia menginginkan. Tentu saja, tidak gratis. Papa Sabrina harus membayar mahal tiap kali mengajakku bersenggama. Ya, apalagi awal pertama melakukannya. Ia rela membayar seratus juta untuk harga keperawananku.Hubungan gelapku dan Om tentu saja rapi. Aku yang terbiasa bermain ke rumah Sabrina, atau menginap, menjadi alasan Om Rahmat jatuh cinta padaku. Ia tak sanggup lagi menahan hasratnya saat memergokiku sedang tertidur di kamar Sabrina.Kala itu malam Min
PoV Abang“Dendi, Sayang ... duduk dulu, Nak ....” Bunda masih saja menahanku. Rasanya muak berada di tengah-tengah mereka. Kenapa Bunda semakin egosi? Bukan membela anak malah mengorbankan kebahagiaan anaknya sendiri?Sebenarnya sebesar apa sih jasa si dokter itu? Kenapa juga, ngotot pengen jodohin anaknya sama aku, yang jelas-jelas sudah punya istri.“Enggak, Bun. Dendi mau pulang.”“Kita bicarain masalah ini baik-baik, Sayang ... kita pikirin, lebih banyak kebaikannya atau keburukannya untuk Ayu dan kamu.”Di mana pikiran Bunda? Mana ada seorang istri yang rela dipoligami? Seadil-adilnya suami membagi waktu pada istri-istrinya, pasti akan ada yang tersakiti. Istri satu aja, aku masih suka menyakiti Ayu, apalagi lebih dari satu? Astaghfirullah Bunda ... bagaimana kalau Bunda yang diduakan oleh Papa Bram?