“Sayang ....” panggil Firman dengan suara mendayu-dayu.“Apaan sih, sayang-sayang?” Sungutku kesal. Gak terima banget dipanggil sayang sama anak Mami kayak si Firman.“Jadi cewek itu harus lemah lembut. Jangan galak-galak, nanti gak ada cowok yang mau baru tau rasa kamu, Yu.” Ancamnya tanpa alasan.Dih ngemeng apaan sih? Pake ngajarin segala. Bodo amat. Lagian gue udah ada yang suka. Bathinku terus mendumel sendiri.“Bodo amat!” Sentakku tak terima.Wajah Firman kelihatan tak suka. Dia membuang muka sambil mendengus.Si anak Mami membelokkan mobilnya ke halaman hotel. Aku tengak-tengok, “Mana yang nikahnya?” Aku bertanya dalam hati.Segera mengeluarkan handphone.Pesan WA buat Abang belum juga dibaca. Kuketik pesan pada Bang Dion.[Bang, Firman ngajakin Ayu ke Hotel
PoV AbangPembicaraan dengan Bunda semalam, membuatku kecewa. Tidak habis pikir, kenapa Bunda sangat egois? Tidak mengerti perasaanku dan Ayu. Tapi aku tidak akan menyerah, akan terus memperjuangkan cintaku pada Ayu hingga kami menikah. Tidak peduli dengan restu Bunda. Alasan Bunda bagiku tidak masuk akal.Pagi sekali, aku hendak ke makam Ayah. Ingin bercerita tentang hubunganku dan Ayu serta sikap Bunda terhadap hubunga kami.Setelah memastikan keadaan rumah sepi, aku keluar kamar.“Mau kemana, Den?” tanya Bunda, tepat di saat hendak membuka pintu.“Makam Ayah,” sahutku tanpa menoleh. Tetap membuka pintu, berjalan keluar, naik mobil dan pergi.Tempat pemakaman Ayah lumayan jauh. Dekat bukit yang tempo hari kudatangi bersama Ayu. Sebab, dahulunya rumah kami di daerah sana, tepat bersebrangan dengan kedai Bakso. Bunda memilih pindah, karena tidak mau
PoV Abang“Ini Mas baksonya!” Mang Rohim menyodorkan dua bungkus bakso. Aku mengeluarkan dompet, memberikan seratus ribuan.“Jangan, Mas. Ini gratis!” tolak Mang Rohim.“Halah, gak usah digratisin, Mang. Ambil saja.” Aku menyimpan selembar uang di atas telapak tangan Mang Rohim.“Makasih ya, Mas.”“Sama-sama.”Pak Ojo mengantarku hingga ke depan mobil.“Semoga Neng Ayu segera ketemu keluarga yang sebenarnya, Mas.” Tangan Pak Ojo menepuk-nepuk pundakku.“Aamiin. Sekalian lewat, saya mau mampir ke mini market. Mau tanya-tanya ke orang itu.” Semoga saja, orang yang menculik Ayu dapat memberikan informasi terkait keluarga kandung Ayu.“Iya, iya. Semoga saja keluarga Neng Ayu segera ditemukan.”&ldquo
PoV AbangSumpah!! Nyesel banget hape disilent! Tau dari awal Ayu nge-chat, gak bakal kejadian kayak gini.Kurangkul pundak Ayu yang gemetar, keluar dari hotel laknat. Berharap, suatu saat hotel ini bangkrut atau kebakaran!!Sepanjang jalan, tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang melihat aneh kami. Ayu masih saja menangis. Bisa kurasakan ketakutan dari raut wajahnya.“Eh, Mbak Ayu mau dibawa kemana?” tanya seorang satpam berkulit hitam legam. Ayu merapatkan tubuhnya padaku.“Bang ... di-dia salah satu anak buah Firman.” Lirih Ayu berbicara. Aku menatap tajam satpam tersebut.“Lo minggir? Atau bonyok tuh muka?” Laki-laki di depan, mulai mundur, melihat ke belakang. Aku dan Ayu serempak menoleh. Rupanya Dion membawa Firman yang hanya mengenakan celana boxer Hello Kitty dengan kedua tangan diikat.“
PoV AyuHati anak mana yang tidak sakit, jika dijudge buruk oleh ibu kandungnya sendiri. Lebih mempercayai omongan orang lain dari pada anaknya sendiri. Seperti itu kira-kira perasaan Abang saat ini. Sedih, marah dan kecewa.Aku sendiri tak menduga, kalau Bunda yang selama ini sangat lemah lembut, begitu tega bersikap kasar pada anak kandungnya sendiri apalagi sampai menampar Abang.“Bang ....” panggilku lirih. Melihat wajah Abang yang semraut.“Hm?”“Abang baik-baik aja?” tanyaku khawatir. Sepanjang jalan Abang hanya diam. Tak bersuara sepatah kata pun.“Baik.” Ia menarik napas panjang.“Maafin Ayu, Bang ... gara-gara Ayu—““Jangan dibahas. Abang gak apa-apa.” Cetusnya memotong ucapanku.Kembali kami terdiam sampai ke h
PoV AbangAku tak percaya kalau Ayu bisa langsung akrab sama Ibunya Dion. Padahal mereka baru pertama kali bertemu. Si plontos pake ngajakin keluar segala, padahal aku juga pengen tahu, apa yang ingin Ayu bicarakan sama Ibu.“Eh! Ngintip-ngintip aja lo!” Dion memukul lenganku saat kami duduk di bangku teras depan.“Penasaran gue. Itu si Ayu, napa bisa cepet deket ama Ibu sih?” Kepala botak Dion ikutan melongok ke dalam.“Iya. Gue juga sempet aneh tadi. Tapi ya ... namanya wanita kan gitu. Lo gimana tadi ama Bunda? Lo gak nyalahin Bunda kan?” tanya Dion sambil membuka cemilan. Aku tersenyum miring, mengingat kembali perlakuan Bunda. Memang, harusnya aku yang marah-marah lebih dulu, ini malah sebaliknya. Baru nyampe rumah, langsung disalahin, mendapat tamparan pula. Tamparan pertama kalinya seumur hidupku.“Bukan gue yang nyalahin Bunda, ta
PoV AyuYa ampun ... diintip Bang Dion, Ibu dan Bi Sumi. Duh mau taruh di mana mukakuAbang rese sih! Segala nyuruh bilang ‘sayang’.“Kamu ini, Nak! Pake teriakin Dendy. Tuh lihat Ayu, dia kan jadi malu.” Gertak Ibu memukul punggung Bang Dion. Seolah mengerti apa yang kurasakan.“Habisnya jijik liat gaya si Dendy, Bu.” cetus Bang Dion menampilkan ekspresi jijik.“Elah, bilang aja lo iri!” Abang menyahut. Sadiiis ....“Sudah, ayok-ayok kita pergi! Biar Dendy sama Ayu selesaikan dulu makan baksonya.” Ibu melerai. Mengajak Bang Dion dan Bi Sumi menajuhi dapur.“Ibu mau bakso?” tawarku sebelum Ibu beranjak, menghalau rasa tak enak hati juga.“Enggak, Sayang. Makasih. Silakan diterusin makannya. Dion, ayok ke sana!”“Iya, Bu.&r
PoV Abang“Buset! Calon bini galak bener dah!” Gerutuku saat Ayu menutup pintu kamar. Disuruh bilang ‘Sayang’ malah diusir. Nasib, nasib ....Aku berjalan menuju ruang televisi sambil garuk-garuk kepala. Duduk di samping Dion.“Nape lo?”“Diusir Ayu.”“Lo nya sih, geniiitt ....”“Elah, genit juga ke si Ayu doang kali.” Menselonjorkan kaki, meraih remote.“Eh, eh, jangan diganti. Lagi rame filmnya.” Remote tv direbut si Dion. Langsung diumpetin diketeknya. Asem bener!!“Rame apanya? Film Cuma bini selingkuh, laki selingkuh, ujungnya dapet azab, lo sukain?”“Bodo!! Dari pada lo, doyan nonton film India.”“Mending gue lah.” Kuangkat sebelah kaki sambil nyomot ce