"Liana, aku enggak pernah nyangka, kamu bisa dapet anak kota, mana tajir pula," ucap Yatik, terapis kecantikan keliling, seraya membalurkan lulur ke tubuh Liana. "Kamu kok bisa bejo banget gitu, sih?"
Liana hanya tersenyum sebentar, kemudian berkata, "Kenapa, Mbak? Menurutku sih biasa aja, gak terlalu istimewa."
"Kamu ini, gak ilok ngeremehke rejekine gusti Alloh. Hal seperti itu haruse kamu syukuri. Apa lagi, tadi Dimas ngomong kalau calonmu itu yo ngganteng. Sempurna banget hidup kamu, Li." Atik bersemangat sekali membahas keberuntungan Liana. Sementara sang empunya nikmat, malah merasa mendapat siksaan.
"Ya… entahlah, Mbak. Wong aku yo aslinya gak kenal sama dia."
"Lha, kok iso? Mana bisa endak kena
"Mas Andreas, ditimbali (dipanggil) ayah sama bunda, ditunggu di bawah gak pake lama yo!" Terdengar suara ketukan pintu di kamar Andreas dibarengi dengan teriakan nyaring Yessy, adik bungsu Andreas."Iya," jawab Andreas dari dalam kamar tanpa membuka pintu. Andreas bergegas bangkit dari duduknya sembari merapikan sajadah yang barusan dipakai untuk melaksanakan sholat isya.Andreas baru saja pulang dari kantor, dan memang akhir-akhir ini dia biasa pulang setelah petang. Pasalnya perusahaan yang dirintisnya sedang mengalami perkembangan yang cukup baik. Mereka saat ini sedang banyak menerima berbagai tawaran pembukaan cabang usaha baru maupun penawaran investasi dari berbagai investor, dan itu menjadi penyebab pekerjaan makin banyak yang harus diselesaikan.Andreas bergegas ke
"Liatin apa kamu Ndre?" tanya Kinanti pada Andreas sembari membawa nampan berisi beberapa gelas sirup dingin dan sepiring bolu coklat."Cuma liatin foto kamu, soalnya aku sepertinya ada kenal satu." Andreas tetap bergeming sembari memandang foto lawas yang menempel pada dinding ruang tamu rumah Kinanti."Itu fotoku pas masih kecil, pas di kampung, rumah asli bapak. Gak mungkin lah kamu ada kenal, mereka semua saudara-saudaraku.""Kayaknya cuma perasaan aku aja deh." Andreas berbalik kemudian melangkah menuju sofa di mana Kinanti dan Agung, tunangan Kinanti, sedang duduk."Minum dulu, Ndre!" pinta Agung."Kuy lah, kita bahas kerjaan aja! Move on
"Dre, makan siang bareng kami, yuk!" ajak Kinanti pada Andreas seraya meletakkan setumpuk map berisi berkas laporan administrasi perusahaan di atas meja kerja Andreas.Andreas yang sedari tadi menunduk karena sedang memeriksa beberapa laporan lain yang datang sebelum ini, mendongakkan kepala memandang Kinanti kemudian menjawab, "Oke, aku kelarin ini dulu. Tunggu lima menit, entar aku keluar.""Oke, kita tunggu di parkiran saja, ya? Pakai mobil mas Agung saja! Biar simpel," Andreas mengangguk mengiyakan. Kinanti beranjak meninggalkan ruangan Andreas menuju ruangan AgungTak berapa lama berselang, Andreas keluar dari ruangannya kemudian melongok ke dalam ruangan Agung, di mana Kinanti juga sedang berada di sana."Ayo,
Liana berdiri di depan cermin rias, memandangi bayangannya sendiri yang memantul dari sana. Sebuah gamis kasual berwarna kuning pastel yang dipadukan dengan hijab warna senada. Sebuah tuspin mutiara sederhana disematkan pada hijab cantiknya yang makin mempermanis penampilan. Ditatapnya bayangan di depan cermin itu sambil tersenyum sendiri.'Cantik juga aku,' batinnya. Lalu sejurus kemudian diketuk sendiri keningnya dengan kepalan telapak tangannya tiga kali sambil sedikit menggeleng berusaha menyadarkan dirinya dari kesombongan kecil yang barusan dilakukannya. Dia merasa malu sendiri mengamati sikapnya akhir-akhir ini."Ah, apa-apaan aku ini? Memalukan sekali," gumamnya seraya tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan lainnya.Sore ini, seperti biasa, perte
Narendra Surya Atmaja, lelaki paruh baya berbaju batik itu, melangkah setelah sebelumnya menunggu sang istri agar mereka berjalan beriringan bersama. Sang putra, yang tak lain adalah Andreas Surya Atmaja, berjalan mengikuti keduanya di belakang. Sebuah gurat senyum ramah tersungging pada wajah sepasang suami istri tersebut, sembari tatap mata mereka menyapa Sanusi yang masih diam terpaku penuh tanya. Bahkan, botol yang terjatuh dari tangan putrinya pun tak membuat ayah Liana itu terkejut."Assalamualaikum." Narendra berucap salam kepada Sanusi sambil kedua tangannya mengisyaratkan sebuah jabat tangan perkenalan."Waalaikum Salam." Sanusi menjawab sambil mengernyitkan dahi dan menerima uluran tangan Narendra seraya membungkukkan punggungnya khas ramah tamah orang Jawa, kemudian bertanya, "Cari siapa ya, Pak?"
Sudah dua jam berlalu, tapi keluarga Nadendra belum juga pamit untuk pulang, bahkan sepertinya mereka begitu kerasan berada di rumah Sanusi, sang calon besan. Terdengar suara tawa bersahutan dari kedua pasang suami istri paruh baya itu. Sementara Liana makin gusar saja di ruang tengah sembari menguping pembicaraan mereka yang bahkan kini tak membahas tentang dirinya sama sekali."Bisa-bisanya bapak akrab sama pak Narendra. Gak nyadar apa anak gadis kesayangannya ini lagi bosen dan sebel banget?" gumam Liana sembari tanpa sadar dirinya merobek-robek kertas koran yang tergeletak begitu saja di ruang tengah.Sementara di luar, ada tiga orang remaja tanggung belasan tahun yang menatap kagum terhadap sebuah mobil yang tengah terparkir di pinggir jalan di depan rumah Sanusi itu. Salah satunya adalah Dimas, adik Liana.
Sanusi dan Suyatmi melangkah masuk rumah seketika mobil Narendra menghilang di pertigaan yang terletak di sebelah timur rumah mereka. Sementara Liana sudah lebih dulu masuk sejak Narendra membalikkan tubuhnya melangkah ke arah mobil mereka.Kini Liana sedang duduk dengan kaki menjuntai di bibir ranjang. Berulang kali dia menghela nafas dalam-dalam menahan amarah. Teringat kembali kejadian dua pekan lalu, saat dia membalas pesan Andreas dengan cukup kasar, menurutnya. Tapi, Andreas malah datang melamarnya hari ini.Sejurus kemudian Liana mencari ponsel yang sejak pagi dibiarkan tergeletak saja di atas ranjang, sebab dia sibuk menguping pembicaraan kedua orang tuanya dengan keluarga Narendra. Diusapnya layar ponsel, kemudian terlihat ada notifikasi chat dari sebuah aplikasi hijau. Dia membuka aplikasi itu, yang ternyata sebuah chat dari Jun, pujaan hatinya.Belum sempat Liana membuka chat itu, tiba-tiba terdengar pintu kamar yang diketuk dari lua
Mentari pagi mengintip malu dari persembunyiannya, menimbulkan semburat jingga indah arunika dari ufuk timur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, membangunkan penduduk kampung Delima agar segera beraktifitas di Senin pagi yang cerah ini. Namun, cerahnya hari, tak seperti hati Liana yang sedang diliputi kabut kekecewaan akibat kejadian kemarin dan kenyataan bahwa hari ini dia tak akan bisa bertemu dengan Jun.Liana berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi di depan teras rumahnya, menunggu Sanusi mengeluarkan motor dari dalam rumah. Sebuah motor bebek empat tak kesayangannya, yang telah membantu berbagai pekerjaan maupun keperluan lainnya. Sementara Dimas, dia telah berangkat terlebih dahulu, kira-kira dua puluh menit yang lalu mengendarai sepeda BMXnya. Seperti biasa, siswa SMP kelas dua itu berangkat sekolah bersama teman-temannya."Ayo, Nduk, kita berangk