Damian terdiam terpaku mendengar ucapan Arion. Yang mana hari itu adalah hari tepat satu tahun kepergian Rachel. Matanya kemudian melirik ke arah Indi yang masih duduk di sana. “Kenapa, Kak? Kakak beneran lupa? Untung aku ke sini, yaa. Kalau nggak, mungkin Kakak nggak akan nyekar ke makam Kak Rachel karena lupa.” Arion kemudian menerbitkan senyumnya seolah menjadi penyelamat Damian lantaran sudah memberi tahunya.Padahal, yang sebenarnya Damian rasakan saat ini adalah takut Indi salah paham kepadanya. Ia takut Indi marah padanya karena mengira bila Damian belum bisa melupakan mendiang istrinya itu.Sementara Indi hanya menghela napas kasar kemudian beranjak dari duduknya dan mengambil tas yang ada di sampingnya. Lalu mengulas senyumnya kepada Arion yang masih berdiri di depan Damian. “Hai. Kenalin aku Indira, panggil aja Indi. Orang-orang biasa manggil aku Indi.” Ia mengenalkan dirinya kepada Arion. “Arion. Adiknya Kak Rachel. Salam kenal,” jawabnya kemudian membalas uluran tangan
Malam hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Indi, Rhea dan juga Manda pergi ke rumah Rhea yang jaraknya cukup jauh dari rumah baru Indi dan juga butik. “Elo nggak mau bilang dulu ke si Damian kalau elo mau pergi ke rumah gue?” tanya Rhea sembari menyetir mobil milik Indi. Sebab perempuan itu memang pergi menggunakan taksi tadi.Indi menggeleng dengan pelan. “Nggak perlu. Gue udah bilang, nggak tentu bakalan pulang jam berapa. Dia nggak akan nungguin gue karena lagi sibuk juga.”Rhea dan Manda kemudian saling menoleh lalu mengendikan bahunya. “Kalau dilihat dari wajahnya sih, Indi lagi galau berat,” bisik Rhea kepada Manda. “Gue nggak yakin kalau si Damian nggak ngapa-ngapain Indi.” Manda kemudian mengendikan bahunya. “Kalau udah kayak gini, gue jadi ragu sama ucapan Diego.”“Nggak usah didengerin. Nggak semua yang dibahas pacar elo itu bener. Siapa tahu Diego bohong karena nggak mau elo suka sama si Damian.” Manda kemudian tersenyum miring. “Nggak ada sejarahnya
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Damian baru saja pulang dari kantor, dengan wajah lesu dan terlihat bila dirinya masih teringat akan sikap Indi yang berubah drastis dalam satu malam saja.“Apa yang terjadi kemarin malam?” gumamnya sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar, mencari keberadaan sang istri. Namun, tidak ia temui sebab tidak ada tanda-tanda Indi ada di sana.“Indi?” panggil Damian dengan lembut. Lalu pergi ke kamar mandi, tidak ia temui juga. Mulai panik. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi perempuan itu. Berharap Indi menerima panggilan darinya. Namun, ia deringnya berakhir Indi tak juga menerima panggilan tersebut. Damian semakin panik. Ia menggeleng-gelenkan kepalanya sembari keluar dari kamarnya. Melangkah dengan lebar keluar rumah lalu melajukan mobilnya menuju butik. “Indi … kamu di mana? Kenapa jam segini belum pulang?” lirihnya sembari melajukan mobil itu dengan kecepatan yang cukup tinggi agar segera tiba di
“Gue nggak mau pisah, Diego!” pekik Damian memarahi sahabatnya itu. “Gue udah cinta sama Indi bahkan saat gue udah nikah dengan Rachel pun gue udah cinta sama dia. Nggak akan pernah gue menyetujui keinginan dia kalaupun dia bersikeras minta pisah sama gue!”Tidak ada yang ingin pisah dengan orang yang kita cinta. Meski harus sabar menghadapi sikapnya yang tidak bisa baik, suatu saat nanti juga pasti akan bersikap baik dan menjadi istri idaman. Diego kemudian mengusapi punggung Damian. “Gue nggak minta elo buat pisah. Elo sendiri yang udah bikin Indi kayak gini. Hanya seumpama. Tapi, Indi juga bakalan rugi kalau minta pisah sama elo.” Ia kemudian menerbitkan senyumnya kepada Damian.Sementara lelaki itu hanya memutar bola matanya dengan pelan lalu mengibaskan tangannya sebab tidak ingin mendengarkan Diego. “Gue tahu gue salah, Diego. Selama ini gue selalu menahannya dan mencoba untuk menerima semuanya. Nyesel banget gue mabuk kemarin.” Damian menjambak rambutnya. Betapa menyesalnya i
Indi mengedip-ngedipkan matanya setelah mendengar permintaan maaf Damian. Lalu melepaskan pelukan itu dan mundur sedikit dari suaminya. Kening Indi kemudian mengkerut saat melihat Damian menitikan air matanya. “Kamu … nangis?” tanyanya sembari menelengkan kepalanya. Baru kali ia melihat lelaki menangis di depannya. “Damian … kamu nangis? Kenapa?” tanya Indi lagi.Damian kemudian mengusap air matanya lalu menatap Indi yang masih terlihat kaget karena melihat Damian menitikan air mata di depannya. “Indi … aku minta maaf karena udah buat kamu marah. Aku nggak bermaksud untuk membandingkan kamu dengan Rachel. Jangan marah karena hal itu. Aku mohon, maafkan aku.” Damian berucap dengan sangat pelan, menahan suaranya yang ingin sekali terisak-isak. Indi menaikkan sebelah alisnya seraya menatap Damian dengan tatapan lekatnya. ‘Hemm … ternyata dia tahu kenapa gue nggak balik. Gue pikir, Damian bakalan marah besar ke gue karena nggak pulang semalaman. Ternyata dia yang merasa bersalah karen
Damian menggelengkan kepalanya dengan cepat setelah dituduh Indi masih mencintai Rachel. “Aku nggak pernah mencintai Rachel dari awal kami kenal, terus menikah sampai dia meninggal. Hanya menghargainya sebagai istriku, tidak lebih dari itu. Karena aku tidak pernah memiliki hati bercabang. Hanya kamu yang aku cinta. Status Rachel saat itu hanya jadi istriku!” tegas Damian menjelaskan kepada Indi tentang perasaannya kepada Rachel. Indi masih menatap datar wajah Damian meski lelaki itu sudah menjelaskan semuanya tentang perasaan dia kepada Rachel. Ia kemudian meninggalkan Damian sebab waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi. Damian pun tidak masuk kantor karena debat dengan Indi atau mungkin Indi jauh lebih penting dari kerjaannya. Damian kemudian memijat keningnya tatkala ditinggal begitu saja oleh Indi. Masih belum mau memaafkan kesalahannya, ia masih belum bisa tenang. “Mata Damian kayak mata panda. Apa iya, dia nggak tidur semalaman?” gumam Indi sembari menggosok giginya. Meski s
Dalam perjalanan menuju rumah Arion, Damian menghubungi Indi dan entah apa yang akan dia tanyakan atau katakan kepada istrinya itu. Dengan malas, Indi menerima panggilan tersebut dengan menggeser tombol hijau di layar ponselnya. "Heung?" ucapnya dengan malas. "Kira-kira pulang jam berapa? Aku mau ajak kamu makan malam, malam ini. Mau, ya?" bujuk Damian kepada Indi agar mau ikut dengannya makan malam. Indi menghela napasnya. Ada rasa iba kepada suaminya yang terus menerus melakukan bujuk rayu agar Indi mau menerima permintaan maafnya. "Jam berapa?" tanyanya kemudian. "Jam delapan malam, Sayang." Dengan semangat, Damian menjawab pertanyaan Indi. Karena menurutnya bila Indi bertanya jam berapa makan malamnya, itu artinya dia menerima ajakannya. "Mau, yaa? Aku akan siapkan ruangan VIP untuk kita agar tidak ada yang bisa mengganggu kita. Aku ingin makan malam kita berjalan dengan lancar dan romantis." Indi tersenyum lirih mendengarnya. "Terserah. Aku masih meeting, mungkin jam enam
Indi terkulai lemas mendengar pernyataan Arion. Ia kemudian merebahkan punggungnya dengan lemas pada sandaran sofa yang ia duduki. “A—apa kata kamu, Arion?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar karena masih shock mendengar penuturan Arion yang baru ia ketahui kenyataannya.Arion menganggukkan kepalanya sembari menatap Indi dengan lekat. “Ya. Itulah kebenaran yang harus Kakak ketahui. Kak Rachel ingin membawa Kak Damian pergi bersamanya selamanya. Sengaja membuat kecelakaan itu dan akhirnya menyebabkan mereka kecelakaan.“Tapi, sayangnya Kak Rachel harus pergi sendiri karena Kak Damian masih bisa bertahan meski harus koma selama satu bulan lamanya. Kak Rachel harus merelakan Kak Damian melanjutkan hidupnya karena salah dia sendiri yang sudah menyabotase mobil itu.” Indi menutup mulutnya mendengar penuturan Arion. Lalu mengatur detak jantungnya yang sedang tidak baik-baik saja sebab baru tahu bila ada orang yang ingin mati konyol dan itu adalah istri pertama suaminya sendiri. “