Bulan keempat bulan pernikahan Damian dan Indi. Melewati hari-hari dengan segala macam cobaan mereka lalui. Tidak bisa dikatakan berjalan dengan baik karena selama empat bulan itu ada saja masalah yang datang menghampiri mereka.Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Malam itu, Damian belum juga pulang dari kantor dan entah apa yang sedang dia lakukan di sana.Indi yang sabar menanti itu masih duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton film dan juga snack kesukaannya. Tak lama setelahnya, dering ponselnya berbunyi, ia kemudian menoleh dan menerima panggilan tersebut.“Kenapa, Nda?” tanya Indi pelan.“Besok, Kak Novia sama Kak Moses mau fitting baju. Bisa, kan? Elo nggak ke mana-mana, kan?”“Nggak. Besok gue free. Ya udah, suruh datang aja ke butik. Jam berapa?”“Paling juga jam sepuluh siang.”“Oke.” Indi menutup panggilan tersebut lalu menatap jam di layar ponselnya. “Udah mau jam satu. Si Damian masih ngapain sih?” gumamnya lalu berdecak pelan.Baru saja ia mematikan televis
Keesokan harinya ….“Indi? Indiraaa?” Manda menggoyang-goyangkan bahu Indi karena sedari tadi tampak melamun dan tidak tahu apa yang tengah dia lamunkan.Sedikit terperanjat, perempuan itu menoleh kepada Manda. “Heuuh?” tanyanya dengan pelan.“Elo kenapa? Dari tadi kayaknya melamun terus. Ada apa, Indi?” tanya Manda dengan pelan. “Kak Moses sama Kak Novia udah mau sampai. Bajunya ada di kamar, kan?”Indi menganggukkan kepalanya. “Iya. Ada di kamar.”“Elo kenapa gue tanya.” Manda kembali bertanya mengenai Indi.Indi menghela napas kasar lalu menggeleng pelan. “Nggak ada. Cuma lemes aja.”“Lemes kenapa sih? Belum sarapan? Indi, cerita sama gue. Jangan kayak Rhea ngapa sih, lo!”Indi tersenyum tipis kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Dua hari yang lalu gue coba tes kehamilan pakai tespack. Ternyata garis satu. Dan Damian nemuin tespack itu di tempat sampah. Nggak tahu ngapain juga dia ngorek-ngorek sampah. Dia marah sama gue.”“Yaa elo juga aneh, Indi. Elo kan tahu kalau Damian ba
Indi mengusap wajahnya dengan pelan lalu menangkup keningnya dengan tangan kanannya. Memikirkan di mana sebenarnya Damian berada.“Kamu tahu kan, konsekuensinya kalau berani buat aku terluka? Kenapa sekarang malah bikin aku jadi nggak percaya lagi sama kamu, Damian.” Indi berbicara sendiri.Cklek!Rangga menghampiri Indi di butiknya. Setelah beberapa kali ia menghubunginya, akhirnya lelaki itu berinisiatif untuk menemui Indi di sana.“Indi. Aku tahu kamu mencemaskan Damian. Di mana dia sekarang, kenapa nggak pulang-pulang. Kamu harus tahu, Damian tidak pernah berniat untuk menyakiti kamu. Mungkin memang ada kerjaan yang tidak bisa ditunda dan harus mematikan HP-nya supaya nggak ada yang ganggu.”Rangga menasihati Indi agar perempuan itu berhenti berpikir yang aneh-aneh mengenai Damian. Sebab Rangga tahu, betapa cintanya Damian kepada Indi. Maka, hal mustahil bila lelaki itu mengkhianati Indi.Air mata telah berlinang di pipi Indi. Perempuan itu kemudian terisak pelan sembari mengusap
Indi lantas mengepalkan tangannya dengan mata menatap tajam lelaki itu. Lalu bangun dari duduknya dan menghampiri Dipta yang dengan entengnya bicara seperti itu kepadanya.“Brengsek!”Plak!Dengan tamparan yang sangat kencang, Indi menampar pipi Dipta karena dengan seenaknya bicara seperti itu kepadanya.“Elo pikir gue cewek apaan, goblok?! Dari awal pun gue udah curiga sama elo ya, bangsat! Tua bangka nggak tahu diri lo, yaa!” pekik Indi benar-benar marah kepada Dipta.Bisa-bisanya lelaki itu memberi sebuah ucapan penghinaan kepadanya. “Jangan pikir karena masa lalu gue yang buruk di mata orang-orang, dengan seenaknya elo bilang kayak gitu ke gue, tua bangka! Gue masih punya harga diri dan nggak akan pernah mengkhianati pasangan gue!” pekik Indi kembali.“Kurang ajar kamu, Indi! Berani sekali kamu bicara seperti itu padaku!” pekik Indi dengan mata memerah menatap tajam wajah Indi.Plak!Indi kembali menampar wajah Dipta.“INDI!!” Damian berteriak dan memasang wajah marahnya setelah m
Damian menurunkan tangan Indi yang tengah memegang wajahnya itu. Lalu, menggelengkan kepalanya pelan seraya mengulas senyum tipis. Ia kemudian mendekatkan wajahnya di daun telinga Indi seraya mengembuskan napas pelan.“Terlalu lama tidak mengisap milik kamu, makanya pucat begini,” bisik Damian menggoda sang istri kemudian meremas buah dada milik istrinya itu.Indi melenguh pelan kemudian menarik tangan Damian. Menatapnya dengan tatapan lekatnya. “Kamu sendiri yang nggak pernah minta. Aku mana mau kasih kalau kamu sendiri nggak mau nagih!” ucapnya kemudian.Damian menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Sayang. Aku yang salah. Aku tidak pernah memintanya karena banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Besok pun ada meeting dengan kolega baru, kolega Rangga yang katanya mau pesan dua ratus ribu furniture.”Indi menatap Damian sayu. “Kapan punya waktunya untuk aku, Damian?” tanyanya lesu.Damian kemudian mengusapi sisian wajah Indi dan mengecup keningnya. “Pasti ada waktu, Sayang. Nanti kita
Damian kembali menahan tangan Indi karena takut akan ucapannya tadi.“Oke! Kita main sekarang. Asal jangan pergi.” Damian mengalah. Ia kemudian mengabulkan permintaan Indi yang sedang ingin dimanja.“Nggak perlu!” ucapnya lalu menghempas tangan Damian dengan kasar dan keluar dari kamarnya. Melangkahkan kakinya dengan lebar menuju pintu utama.“Indi … tunggu!” Damian menghentikan langkahnya sembari memegang kepalanya yang terasa sakit seperti jarum yang tengah menusuk-nusuknya. “Aaahhh!” keluhnya sembari meremas rambutnya itu.Tidak bisa mengejar Indi yang sudah keluar dari rumah itu, Damian hanya bisa terduduk lemas di ambang pintu kamarnya.“Tuan Damian!” Bi Sumi menghampiri Damian yang tengah merasakan nyeri di kepalanya. “Tuan, Tuan kenapa? Mari, saya bantu.” Perempuan paruh baya itu membantu Damian bangun dari duduknya lalu membawanya ke dalam kamar.“Lho. Non Indi-nya ke mana?” Bi Sumi mengedarkan matanya mencari keberadaan Indi.Damian hanya diam. Hanya bisa menelan salivanya de
Indi menuruti perintah Manda. Selesai mandi, ia kemudian pulang ke rumah untuk meminta maaf kepada Damian yang sudah pasti lelaki itu amat sangat sakit hati karena ucapannya itu.Indi berjalan melangkahkan kakinya penuh dengan rasa takut sebab berpikir kalau Damian tidak akan mau memaafkannya.“Bi. Damian-nya ada di rumah?” tanya Indi kepada Bi Sumi yang tengah menyapu halaman depan.“Tadi pagi sudah berangkat, Non. Belum ada pulang lagi. Mungkin langsung ke kantor. Mobilnya juga tidak ada di garasi.”Indi menghela napasnya lalu mengulas senyum tipis. Kembali masuk ke dalam mobil dan menyusulnya ke kantor. Di hari ini juga, ia harus mendapatkan permintaan maaf dari suaminya itu.“Gue terlalu egois dan nggak pernah memikirkan masalah yang dia alami. Ketakutan gue, ketakutan dia, semuanya jadi boomerang dalam rumah tangga kami. Seharusnya gue bisa meredam emosi dan juga nafsu sialan itu. Gue terlalu terbiasa dengan sentuhan Damian dan pada akhirnya gue selalu menginginkan hal itu.”Indi
Indi menelan saliva dengan pelan lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya. Itu Damian,” ucapnya dengan pelan.Lalu masuk ke dalam mobilnya setelah pamit kepada Mario yang masih berdiri mematung menatap Damian yang tengah bercengkerama entah dengan siapa.Lalu, Damian mengerutkan keningnya kala mengenali mobil yang dikendarai oleh Indi. “Indi?” ucapnya dengan pelan.“Ada apa, Pak Damian?” tanya lelaki itu kepada Damian.Damian menoleh kepada clien-nya itu lalu menggeleng pelan sembari mengulas senyum tipis. “Tadi, seperti mobil istri saya. Kalau begitu, kita bisa bicarakan ini setelah semuanya selesai ya, Pak. Bisa dihitung lagi kebutuhannya berapa dan juga mulai pengerjaannya kapan.”Damian lantas pamit kepada clien-nya itu dan bergegas mengejar mobil yang dia yakini bahwa itu adalah mililk Indi.“Lagi ngapain Indi di sini? Jauh sekali dia perginya,” gumamnya seraya mencari keberadaan mobil milik istrinya itu.“Kebiasaan, selalu bawa mobil ngebut-ngebut. Ckk!” Damian berdecak p