Mata Gilang melebar. Hari pernikahan Fajar dan Sakina sudah dekat. Tapi, justru di depannya dia melihat Fajar sedang jalan mesra dengan Daniar. “Sudah, yuk. Pulang!” ajak Sekar. Sekarang gantian lamunan Gilang yang buyar oleh tepukan halus Sekar di pundak Gilang. “Kamu kenapa, Mas?” tanya Sekar saat melihat Gilang masih bengong melamun. “Cemburu?” tanya Sekar lagi. Mata Sekar menatap lekat wajah Gilang yang kini berubah murung.“Nggak. Siapa yang cemburu. Ayo, ah!” Gilang memasang pengait helmnya sebelum mengenakan sarung tangannya. Meskipun berpura-pura biasa saja. Hati kecil Gilang masih meronta. Bukan cemburu. Lebih tepatnya tak rela jika Sakina diduakan oleh Fajar. Mereka berdua lalu memutuskan membeli makan dibungkus sebelum akhirnya pulang.“Beli apaan sih tadi?” tanya Sekar sambil melepas kaus kakinya. Gadis itu lalu melepas kerudungnya sebelum akhirnya mengambil ganti untuk mandi. Gerah terasa jika baru masuk rumah, meskipun sudah menyalakan AC. “Mandi sono buruan. Suda
Sekar segera menyeka bulir bening dari sudut matanya tatkala mendengar Gilang mematikan kran shower. Tak lama, pria itu sudah keluar dari kamar mandi dengan setelan baju pergi. Kaos berkerah dan celana jins. Sekar mengernyitkan dahinya. Memang sejak Sekar tinggal bersamanya, lelaki itu sudah meninggalkan kebiasaan buruknya, keluar kamar mandi dengan hanya terbalut handuk. Tapi, mengenakan baju pergi di malam hari sepulang kerja, justru tidak lazim. “Aku pergi sebentar. Kamu makan dulu. Nggak usah nunggu aku pulang. Aku bawa kunci sendiri,” ujar lelaki itu sambil menyemprotkan parfum beraroma maskulin itu. Sekar menahan nafas sejenak. Perutnya terasa teraduk saat aroma menyengat itu memenuhi ruangan berukuran 4x3 meter persegi itu. Sekar menatap kepergian Gilang dengan penuh tanya di kepala. Ingin rasanya mengikuti, tapi dia tak tahu Gilang pergi ke mana. Tak mungkin memesan ojek tanpa tujuan yang jelas. Apalagi, pasti Gilang akan meninggalkannya sebelumnya ojek pesanannya datang.
“Kamu sudah pikir masak-masak?” Renita menemani Sekar hingga ruang tunggu stasiun. Sahabatnya itu datang tak lama setelah Sekar mengabarkan dia hendak pulang. Padahal baru sore tadi mereka bertemu dan Sekar mengabarkan tentang pernikahan mendadaknya. “Dia tidak mencintaiku, Ren.” Wajah Sekar kembali bersemu merah. Matanya mulai mengembun. Meski tak ingin menceritakan masalah rumah tangga, namun, Sekar terpaksa menceritakan garis besar masalahnya pada sahabatnya itu. “Siapa bilang. Kamu jangan bermain dengan prasangka. Sebaiknya kamu tanyakan dulu kebenarannya,” sahut Renita. “Dia bukan tipe lelaki yang bisa mengatakan rasanya. Aku sudah mengenalnya sejak kecil,” jawab Sekar. Tak mungkin baginya mencecar Gilang dan menanyakan apakah lelaki itu mencintainya. Ah! Konyol. Bahkan Gilang pun sudah mengatakan kalau dia memilihnya. Tapi, Sekar tetap tak percaya. Buktinya, lelaki itu tetap pergi begitu saja, tanpa mengatakan kemana dia akan pergi. Apa susahnya mulutnya berucap mengatakan
Daniar meninggalkan Gilang begitu saja. Ia masuk ke dalam kosan tanpa permisi ke lelaki yang mengajaknya ngobrol. Sementara Gilang hanya mampu menatap punggung Daniar hingga hilang dibalik pintu. Pemuda itu masih terdiam mematung. Ia memikirkan kata-kata Danir. Benarkah dia masih memikirkan orang lain selain istrinya? Benarkah dia tak ada bedanya dengan Fajar? Gilang mengepalkan tangannya karena kesal. Kesal dengan kata-kata Daniar yang menyamakan dirinya dengan Fajar. Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Gilang membalikkan tubuhnya, lalu berjalan gontai menuju motornya. Sayangnya sebelum ia sampai ke motornya....BUGG! Sebuah pukulan telak mengenai pipinya. Kerah bajunya ditarik paksa oleh lelaki yang kini berdiri di hadapannya. “Fajar!” guman Gilang.“Ngapain kamu malam-malam menemui Daniar? Ha? Matamu buta? Sudah aku peringatkan sejak dulu. Jangan pernah dekati dia. Kamu lupa? Ha?” BUG! Bogem mentah kembali mengenai pipi kiri Gilang. “Ini untuk yang kamu perbuat kepada Sakina
Gilang segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan tergesa menuju meja Daniar. Sekretaris bosnya itu menyunggingkan senyum mengejek pada Gilang, lelaki yang beberapa menit lalu menerima pesan singkat darinya. “Apa maksud kamu?” Gilang membungkukkan badannya, menumpukkan kedua telapak tangannya pada meja kerja Daniar. Belum sempat Daniar menjawab, matanya sudah menatap tajam ke belakang Gilang, memberi kode pada Gilang kalau ada seseorang di belakangnya.“Gilang, ke ruangan sebentar...” Pak Prio, atasan Gilang menepuk pundaknya dan memberi kode masuk ke ruangan. Gilang segera bangkit dari posisinya, setelah melirik tajam ke Daniar dengan sorot tidak suka, lalu bergegas masuk ke ruangan atasannya. “Nanti kita bicarakan lagi,” desis Gilang sebelum meninggalkan meja Daniar. Tak sampai lima belas menit, Gilang sudah keluar dengan membawa tugas yang diberikan atasannya. “Taraaa!” dengan senyum mengembang, Daniar menampilkan cincin bermata berlian di jari manisnya. Langkah Gilang sonta
Hari sudah gelap tatkala Gilang turun dari taksi yang membawanya dari bandara ke rumah. Lampu ruang tamu menyala. Tandanya ada tamu. Hati Gilang sedikit gusar memikirkan nasibnya. Sekar yang tiba-tiba kabur pulang. Bahkan ia rela membolos kerja. Bahkan, dia sendiri tak tahu apa sebabnya.Istrinya itu telah menonaktifkan telepon sejak kemaren. Siaga perang harus dilaksanakan, meski pikirannya masih meraba. Apa yang salah hingga Sekar nekat pulang tanpa pemberitahuan sama sekali. “Assalamualaikum,” ucapnya setelah mencoba mengendalikan gemuruh di dadanya. Ini di halaman rumahnya sendiri. Tapi, rasanya seperti hendak masuk medan laga. Pintu terbuka. Ada mama, papa, dan kedua mertuanya duduk berhadapan. Semuanya menatapnya. Mata Gilang menciut sambil memindai. Kemana Sekar? Gilang terduduk lemas di sofa setelah menyalami keempat orangtuanya. “Kamu ini gimana tho, Le. Istrinya sakit malah di suruh pulang sendiri…” Papa Gilang langsung membuka pembicaraan. Gilang terkesiap. Menegakka
“Dik, kamu bisa kan nggak usah ngambek kayak anak-anak?” tanya Gilang sambil menutup tubuh Sekar dengan selimut. Sekar tak menjawab. Dia memilih membalikkan badannya menghadap ke tembok. Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Bagaimana bisa dia bicara baik-baik jika Sekar masih marah seperti itu. Bahkan dia belum paham duduk masalahnya. Apalagi sampai mertua dan orang tuanya menyangka dia punya ‘simpanan’. Jelas-jelas sudah tak ada hubungan apapun dia dengan wanita lain. Sakina saja sudah diblokir nomornya. Lalu, kenapa Sekar bisa sampe ngambek dan pulang? Gilang mengacak rambutnya frustasi. Hanya salah paham kecil. Kenapa harus jadi besar? Hanya karena dia pergi sebentar keluar tanpa bilang kemana karena buru-buru. Ah! Dasar kekanak-kanakan. Apalagi baru beberapa hari lalu Sekar bilang tidak mau pulang karena biaya besar. Dan kepulangan mendadak seperti ini jelas menguras tabungan. Huff!“Dik, kamu nggak mau makan dulu? Perutmu kosong habis muntah.” Gilang memutar otak. Sek
Semilir angin rumah makan yang menyediakan nasi ayam kremes menerpa hingga tempat duduk Gilang dan Sekar di ujung pendopo yang memiliki ventilasi yang lebar. Rumah makan yang menggantungkan pada sirkulasi udara alami dibandingkan dinginnya AC. Sekar sebenarnya masih kesal dengan Gilang dan orang tua Gilang yang menyangka dirinya hamil. Bukan karena nggak ingin hamil. Tapi, Sekar sama sekali tak berfikir secepat itu. Bahkan, mendapatkan hati Gilang saja rasanya sulit. Sebelum menikah dengan Gilang, dia membayangkan akan memiliki suami yang perhatian. Seperti di novel-novel dan buku-buku islami yang pernah dibacanya, dimana di awal pernikahan akan dipenuhi diskusi tentang masa depan. Mau tinggal di mana. Desain rumah seperti apa. Mau anak berapa. Pendidikan anak-anak bagaimana. Ah, rasanya menyenangkan. Bukan malah awal pernikahan yang dipenuhi pertengkaran seperti yang dialaminya. Bahkan, menikah tak lain karena bayaran hutang! Sungguh takdir yang tak pernah diimpikan. “Makan yang b