“Jahat! kok bisa mereka bilang gitu. "Mata Sekar melotot. Mulutnya ikut menganga. Kedua telapak tangannya saling bertangkup menutup mulutnya.Sementara Gilang hanya mengerutkan dahi seraya menggeleng. “Apa? Dari mana mereka tahu Sekar hamil?!” tanya Bu Hanum. Perjodohan yang merupakan impiannya, tak rela harus ternoda dengan gosip murahan. Seketika Gilang ingat. Kejadian tadi pagi saat antri bubur. Jangan-jangan, itu jadi sumber gossip? "Dasar ibu-ibu kurang kerjaan," batinnya. Tangan Gilang seketika mengepal. Mulutnya terkatup rapat. Kesal dan marah dengan tingkah ibu-ibu. “Tapi, kan kenyataannya memang Sekar hamil kan, Ma?” tanya Gilang. Dia mulai tak yakin. Apalagi memang belum ada bukti pemeriksaan. Baik dia, mama dan papanya selama ini hanya menduga. Dari muntah dan tingkah aneh Sekar. “Lha, iya." Bu Ndari menimpali dengan mantap. "Tapi kalau sampai dibilang Sekar hamil duluan, ya, aku nggak terima,” sambungnya. “Lagian, Ibu sih, pake mantu mendadak. Jadinya malah jadi goss
“Apa, Dok?” Mata Gilang membulat. Pria itu ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter kandungan itu. Sang dokter sudah kembali duduk di kursinya. Dia sibuk mencatat sesuatu di kertas record. Sementara, Sekar usai membenahi bajunya. Ia pun segera duduk di sebelah Gilang. Sang dokter tersenyum simpul menatap pasangan muda di depannya. “Dok, kami ini baru nikah dua minggu. Mana mungkin saya hamil empat minggu,” ujar Sekar terbata karena Gilang menatapnya tajam, seolah tak terima dengan usia kandungan yang disebutkan dokter. “Hitungannya yang akurat, Dok!” sela Gilang. Tangannya sudah mengepal, sementara giginya gemelutuk menahan marah. Sesekali mata elangnya menatap ke Sekar. Sebagai anak teknik, logika dan perhitungan di otak Gilang selalu akurat. Bagaimana bisa usia kehamilan Sekar jauh lebih lama dari usia pernikahan mereka? “Sabar.” Dokter itu kembali tersenyum. Ia memahami kepanikan dua anak manusia di depannya. Masalah seperti itu sudah sering ditemui. “Jadi saya ter
Gilang memarkir motornya di depan rumah, saat ibu Sekar datang lagi. Kini, ia sudah mengenakan baju bagus karena hendak berangkat kondangan. Belum Sekar bertanya, ibunya sudah duluan berucap, “Kalian lama sekali. Disuruh ke Bu Bidan, malah kemana?” “Mas Gilang malah ngajak ke rumah sakit, Bu, nyari dokter kandungan. Aku bilang ke Bu Bidan saja yang murah. Eh, Sekar malah dibilang orang susah. Padahal kan Bu Bidan itu sudah pengalaman. Kualitas juga nggak jauh beda. Orang hamil itu kan bukan orang sakit. Cuma ngecek doang!” adu Sekar. "Sudah-sudah. Ayo masuk dulu. Gimana hasilnya?” tanya Bu Hanum menengahi. Rupanya Mama Gilang juga menanti anak dan menantunya yang sedari tadi tidak kunjung datang. “Ya hamil!” sahut Gilang pendek. Gilang sebenarnya sudah tahu kalau hasilnya bakal ‘hamil’ bukan yang lain. Cuma dia memang ingin memastikan kalau gossip tetangga mengenai mereka menikah mendadak karena hami duluan itu tidak benar. Namun, mendapat jawaban Bu Dokter, dia semakin
Gilang tersenyum, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekar melihat gelagat, sejatinya Gilang ingin datang juga ke acara itu. Tak perlu menunggu menit berganti, Sekar menghentakkan kakinya, berbalik dan masuk rumah. Ia membanting pintu kamar dengan kasar agar suaranya terdengar oleh ketiga teman Gilang. “Sori, aku ngga dateng…” ucap Gilang lirih sambil menoleh ke dalam rumahnya. “Takut nggak dapat jatah, ya?” goda Huda. Gilang seketika melotot. Bisa-bisanya masih bujang ngomongin jatah! Namun, ketiga temannya malah terbahak melihat sikap Gilang. Ketiganya akhirnya meninggalkan rumah Gilang dengan kecewa. Acara akan menjadi kurang seru tanpa kehadiran Gilang, karena dia adalah sasaran utama yang bakal di bully oleh geng patah hati. Gilang membuka pintu kamarnya. Sekar sudah ganti baju dengan baju rumahan. Tepatnya baju milik Gilang. Kaos dan celana yang tentu saja kebesaran jika dipakai oleh Sekar. Bocah ini suka sekali memakai bajunya tanpa ijin. Gilang tertawa dala
Gilang tak menjawab. Lagi pula, tak perlu juga dijawab. Toh, orang sekampung juga tahu siapa Gilang dan Sekar. Tapi, kenapa mulut usil itu tetap ada. “Mas aku pulang dulu,” ujar Randi saat kepala ibunya sudah terlihat dari balik pagar. Wajah ibunya Randi terlihat tak enak saat melihat Randi sedang ngobrol dengan Gilang. Apalagi, Gilang yang biasanya mengangguk takzim dengannya, tiba-tiba terlihat menatapnya dengan sorot tak suka. “Kamu bilang, ya, sama Mas Gilang?” tanya wanita yang usianya lebih muda dari mamanya Gilang itu. Matanya menatap anaknya dengan tatapan mengancam bercampur kecewa. Mestinya, kalau diberitahu, jangan langsung dibocorkan pada orangnya langsung.“Aku hanya tabayyun, Bu. Nggak baik menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya,” jawab Randi. “Iya, tapi, kan ibu jadi nggak enak sama Mas Gilang,” ujar Bu Narti, ibu Randi. “Makanya, ibu nggak usah ikut-ikutan ibu-ibu yang lain. Kalau pun Mbak Sekar sudah hamil, kan ada suaminya. Mana mungkin Mbak Sekar mela
“Lha ada apa tho, Bu?” tanya Sekar penasaran. Wanita yang masih mengenakan busana kondangan itu menggeser posisi duduknya, menghadap ke kedua anak dan menantunya. Sementara Pak Sidik langsung ke kamar, ganti baju. “Ternyata, Fajar malah sudah menikah. " Bu Ndari sedikit mengambil jeda. "Jadi, yang nikah sekarang malah istri kedua...” Mata Bu Ndari menatap Sekar dan Gilang bergantian. Dalam hati Bu Ndari terselip rasa syukur di balik kemalangan Sakina. Rasa syukur dulu tak jadi menikahkan anak gadisnya dengan pria yang dia pikir akan mengubah nasibnya. Kaya raya. Ia juga bersyukur akhirnya memilih Gilang yang tetangganya sebagai menantu. Meski biasa saja, tapi mengerti agama dan setia. Setia? Bukannya Sekar habis ngambek gara-gara kesetiaan? Bodo amat! Yang penting sekarang mereka sudah tidak membahas ketidaksetiaan. Isunya sudah tertutup oleh isu kehamilan, batin Bu Ndari lagi.“Apa?!” Serempak Sekar dan Gilang berpandangan. Sekar benar-benar tak percaya. Wanita secantik Sakina
Pemuda itu menjadi gelagapan. Padahal dia sudah berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mana aku tahu!” jawab Gilang sambil mengedikkan bahunya. Pria itu beranjak ke ruang makan. Malas menanggapi pertanyaan Sekar. Karena wanita itu sejatinya aneh. Pengen tahu, tapi kalau sudah tahu sakit hati. Trus, ngamuk. Tapi kalau nggak dikasih tahu, marah. “Bu, nggak masak ya?” tanya Sekar tatkala sampai di dapur, namun tak ada makanan di meja. Padahal Gilang sudah duduk manis di kursi meja makan.“Ya, ibu nggak tahu kalau kalian kemari. Ibu sama bapak kan mau kondangan, jadi, ya nggak masak,” jawab ibu Sekar.Dua manusia yang sudah kelaparan itu mendadak lemas. “Kamu masak sajalah, lah, Dik!” usul Gilang seenaknya. Mata elangnya menatap Sekar penuh harap.Sekar membalas tatapan itu dengan dengan refles menutup mulutnya yang menganga karena tak menyangka dengan pinta Gilang. Selama menikah, dia belum sekalipun memasak, kecuali masak air.Dia juga tidak bisa memasak. Namanya bunuh diri kalau tanpa
Bu Ndari menoleh. Ingat kata-katanya tadi pagi, kalau orang-orang di warung membicarakan anak gadisnya. Tapi, Bu Ndari tak masalah, apa yang dikatakan orang-orang tidak ada yang benar. Toh, dia juga tahu kebenarannya kalau anaknya tak hamil sebelum menikah dengan Gilang. Dan, Gilang maupun orang tuanya juga tahu itu. Jadi, ya tidak perlu dirisaukan lagi. “Kan kamu memang hamil sama Gilang, tho? Udah nggak usah diurusin lambe-nya orang-orang. Namanya lidah tidak bertulang. Nanti juga lupa sendiri kalau ada berita yang lebih heboh. Kamu berdoa saja isu mu segera ketutup sama isu lain. Masak kamu kalah sama isu politik,” ujar ibu Sekar mirip narasumber diskusi politik, pengalihan isu. “Lang, sana anterin Sekar. Dari pada dia nggak berani pulang...” “Ck! Mendingan ke pasar aja. Malu, cuma ke warung pake nganter!” ujar Gilang sambil menarik tangan Sekar, menyeretnya balik ke rumahnya mengambil motor. Ngga enak kalau mau pinjem motor bapaknya Sekar. Baru hendak keluar gang di kampungny