Share

Menikah untuk Uang
Menikah untuk Uang
Author: Orekyu

Prolog

"Mana barangku?"

Tangan besar itu terulur ke depan. Sedang seseorang dengan tubuh mungil sudah menanti dalam diam.

Kepalanya terbungkus topi. Terlalu rapat hingga cahaya remang tak sanggup menggambarkan seperti apa wajahnya. Gang ini terlalu sempit dan bau. Sinar surya bahkan enggan masuk ke dalamnya.

"Berikan dulu uangku." Si pemilik tubuh ringki bersuara: itu pelan, serak, datar, dan sama sekali tidak memiliki binar semangat.

Meski bergumam kasar, tetapi pria besar itu tetap merongoh saku celana dengan gelisah. Tangannya meremas beberapa lembar uang lantas melemparnya ke arah lawan bicaranya. "Berikan!"

Si sosok mungil mendengkus lalu membuka tas kecil yang sejak awal tersampir di bahunya. Begitu dia mendapati apa yang dicarinya, hal sama pun dia lakukan; melemparkan barang milik pelanggan besar yang angkuh.

Kendati tubuhnya kecil dan tidak berisi, tetapi dia tidak pernah merasa takut berhadapan dengan pria semacam ini.

Mereka tidak akan berani menyentuhnya selama mata itu masih mengawasi.

Rahang si pria besar tampak mengeras. Tangannya terangkat hendak melayangkan satu pukulan telak kepada sosok mungil yang terlalu berani itu, tetapi dari jarak jauh, suara tembakan tiba-tiba terdengar memekakkan. Tentu saja, itu sebuah peringatan.

Kontan wajah si pria besar mengerut penuh ketakutan. Tanpa pikir panjang dia bergegas meninggalkan tempat itu dengan keringat dingin.

Dia jelas tidak ingin mati sia-sia di tangan pemilik kawasan sesat tersebut.

***

"Berapa yang kamu dapat?"

Ruangan di tempat ini cukup terang jika dibandingkan dengan gang sebelumnya, tempat di mana dia biasa menjual apa yang seharusnya dijual kepada pelanggan kotor.

Si sosok mungil tidak membalas. Dia bahkan tidak menoleh ketika pria yang paling ditakuti di wilayah ini sedang duduk di sebelahnya—pria bertopeng yang tidak pernah ada yang tahu seperti apa wajahnya—termasuk si ringkih. "Aku bertanya dan sudah seharusnya kamu menjawab."

"Tidak banyak."

Dia melepaskan tas kecilnya, lalu membiarkan si penguasa membuka dan menilai isinya. Bibir pria itu tersinggung menawan. "Bagus."

Kemudian tatapannya berhenti tepat kepada sosok di sampingnya. Tanpa beban jemarinya bergerak mengusap wajah kecil itu begitu mendapati noda debu di sana. "Aku sudah bilang jangan pulang dalam keadaan kotor."

Si mungil mendengkus. "Aku sudah kotor luar dalam." Dia lalu beranjak menuju ruangan lain di dalam sana tanpa rasa takut.

Begitu pintu terbuka, dekorasi kamar dengan nuansa putih beradu cokelat lekas menyambut kedua bola matanya.

Ada kasur kecil di sudut, tanpa pikir panjang dia merebahkan diri dengan kasar sementara tangan menumpu menutupi mata.

"Tidak ada kemewahan," gumamnya.

***

"Kenapa tempatku harus dipindahkan?"

"Di sini tidak aman lagi, polisi sudah tahu." Si pria bertopeng mendengkus sementara kepulan asap rokok mengudara di sekelilingnya. "Aku tidak mau mengambil risiko kamu tertangkap."

Si mungil menghela napas. "Terserah," dan mereka meninggalkan tempat itu tanpa banyak kata.

Matahari terlalu terik begitu dia menginjakkan kaki di kota ini. Rasanya menyengat mengingat selama ini dia hampir kekurangan cahaya, sebab lokasi awalnya begitu gelap.

Sosok mungil dengan topi khas yang selalu membungkus kepalanya itu kemudian mendongak, menatap langit biru dengan manik memicing.

Dia berpikir, kapan terakhir kali dirinya menatap angkasa?

Begitu netra gelapnya mengitari sekeliling, orang-orang berjalan silih berganti.

Tempat ini terlalu ramai dan karenanya dia merasa sedikit pusing. Untuk sesaat dia menunduk, berniat membatasi pandangnya dengan keramaian. Tempat ini asing dan dia tidak menyukainya.

Kapan dia bisa kaya?

Ini mulai terasa melelahkan.

"Permisi, apa kamu lapar?"

Suara itu lembut. Ada kehangatan begitu gemanya sampai di telinga si sosok mungil.

Lantaran penasaran dengan pemilik suara yang baru saja menegur dan menganggapnya pengemis, dia kontan mendongak.

Tetapi alih-alih mendapati wajah perempuan di hadapannya, maniknya justru memicing tepat setelah cahaya kuat menyerang netranya dengan kemilau terang.

Berikutnya, dia tersentak terkejut saat pekikan keras yang terdengar sedikit ragu kembali menyapanya.

"Astaga, apa kamu Kinan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status