Share

Menolong

Mendengar penuturan Greya, Jo menurunkan tangannya. Dia menggenggam kedua tangan Greya dan memohon maaf pada wanita itu.

"Grey, aku mohon maaf. Selama ini aku khilaf, aku tidak sadar telah menyakiti hatimu, Grey! Kumohon maafkan aku!" mohon Jo memelas.

Greya tersenyum samar, berulang kali dia sudah dibohongi oleh pria itu. Entah kenapa dia memilih bertahan dan memaafkan meski kerap kali dia dikasari dan diduakan. Entah karena dia yang terlalu mencintai, atau memang karena bodoh. 

"Aku ini laki-laki normal, Grey. Aku butuh wanita untuk menyalurkan keinginan biologisku. Kamu tidak pernah mau memberikan apa yang aku inginkan. Jadi, aku terpaksa mencari wanita lain di luaran sana untuk memuaskan aku. Kumohon maafkan aku, Grey! Jika saja kamu bisa menuruti keinginanku, mungkin aku tidak akan seperti itu," ujar Jonathan.

Greya memejamkan matanya sesaat, dia tersenyum sinis pada pria yang telah menemani hari-harinya selama lima tahun ini. Bukan hanya kebahagiaan yang diberikan Jo, tetapi juga kedukaan dan lara batin yang teramat sering.

"Berarti, jika aku tidak menuruti nafsumu itu, kau tetap akan berkelana mencari pemuasanmu sendiri? Tidakkah kau berpikir bagaimana hancurnya perasaanku selama ini, Jo? Aku menelan semuanya karena berharap kau akan berubah dan kembali padaku dengan cinta lain yang lebih murni. Tapi, sepertinya penantiaku hanya sia-sia saja." Greya menepis tangan Jonathan. Rasanya, sekarang dia sangat jijik jika disentuh oleh pria itu. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah dipegangnya hingga tangan itu menjadi kotor dan hina.

"Kita belum menikah, Jo! Aku tidak mungkin memberikan kehormatanku padamu! Hanya inilah yang tersisa bagiku," ucap Greya. "Sekarang, keluarlah dari rumahku!" usir Greya, muak sekali dia melihat wajah pria yang memasang raut tak berdosa itu.

"Grey, dengarkan aku dulu, Grey!" mohon Jo.

"Keluar!" Greya mendorong tubuh Jo sampai keluar dan buru-buru menutup pintunya.

"Grey!"

"Greya!" Jo mengetuk-ngetuk pintu rumah Greya sampai menyebabkan keributan. Namun, Greya tetap memilih tidak peduli dan masuk ke kamarnya.

Greya melirik jam yang berada di atas televisinya. "Sudah hampir tiba waktunya, aku harus segera bersiap-siap," gumam Greya.

Sisa makanan yang belum sempat dia makan, dimasukan ke dalam almari pendingin. Piring-piring kotor langsujg dicuci agar nanti sepulang bekerja, rumahnya sudah bersih dan rapi. Jadi, tidak lagi merasa capek.

*****

Taxi yang Greya tumpangi mendadak berhenti karena kemacetan parah yang terjadi. Greya heran, kenapa bisa terjadi macet? Biasanya, kawasan rumah sakit tempatnya bekerja tidak pernah terjadi macet. 

"Kenapa bisa macet, ya, Pak?" tanya Greya.

"Tidak tahu, Nona. Biasanya, tidak pernah macet daerah sini," jawab sang supir taxi.

Greya manggut-manggut, dia celingak-celinguk melihat dirinya sudah berada di daera mana. Ternyata, sudah dekat dengan tempat tujuannya.

"Pak, saya sudah dekat. Saya turun di sini saja tidak apa-apa, kan?" tanya Greya.

"Oh, tidak apa-apa, Nona. Sebelum di belakang penuh, saya akan putar balik," jawab sang supir.

"Terima kasih," ucap Greya, dia memang terbiasa mengucapkan kata terima kasih kepada orang lain. Orang lain juga senang mendengarnya, merasa dihargai olehnya.

Setelah membayar, Greya langsung turun agar di belakang tidak semakin penuh dan membuat supir taksi tidak bisa putar arah.

"Kenapa bisa semacet ini, sih?" gumam Greya, meski dilanda rasa penasaran, dia tetap terus berjalan.

Namun, langkahnya terhenti, suaranya tercekat. Dia benar-benar terkejut dengan pemandangan di depannya. Ada beberapa orang berpakaian hitam, wajah-wajah mereka juga tidak asing bagi Greya. Sedang membidikkan pistol mereka ke arah seorang kakek tua yang berdiri bersandar di mobilnya dengan menundukkan kepalanya. 

"Apa-apaan ini? Kenapa mereka kurang ajar sekali? Kenapa tidak ada yang menolong kakek itu?" gumam Greya mulai resah, dia mengamati orang-orang berperawakan hitam itu, mereka sedang tersenyum puas. Mungkin, karena sebentar lagi berhasil merenggut nyawa sang Kakek.

"A-aku tidak bisa membiarkan nyawa seseorang terenggut di depanku!" ucap Greya.

Tepat saat seorang pria yang sedang mengarahkan pistolnya pada sang kakek hendak menarik pelatuk pistolnya, Greya berlari sekencang mungkin ke arah Kakek itu dan memeluknya erat. Menghalangi timah panas mengenai tubuh sang Kakek, tapi membiarkan tubuhnya yang menjadi sasaran.

Dor!

Dor!

Tentu saja, semua orang merasa terkejut termasuk sang Kakek. Dia memegangi tubuh Greya yang mulai limbung karena sudah tidak sadarkan diri.

"Eh, siapa gadis itu? Wajahnya seperti tidak asing!" ucap seorang pria di samping Max.

"Kau salah menembak, sialan!" umpat Max memukul kepala pria di sampingnya.

"Maafkan aku, Tuan! Aku akan menembak si tua bangka itu sekarang juga," ucap pria itu lagi yang bersiap-siap membidikkan pistolnya ke arah Kakek yang sedang jatuh bersama gadis yang menolongnya.

"Tuan Max, Hansel dan anak buahnya sedang menuju ke sini. Jika memperkirakan jumlahnya, kita pasti akan kalah telak!" seru seseorang sambil memegang sebuah ponsel yang terhubung ke GPS ponsel Hansel.

"Sialan! Dua kali aku kehilangan kesempatan bagus membunuh pria bajingan itu! Tunggu apa lagi? Pergi dari sini sekarang juga. Jangan sampai kita bertumbukan dengan mereka!" perintahnya pada anak buahnya.

Setelah Max dan dua orang bawahannya pergi, barulah orang-orang yang tadinya bersembunyi keluar dari sarang persembunyian mereka. Berbondong-bondong menghampiri Greya yang sudah tergeletak di jalan tidak sadarkan diri dengan bersimbah darah.

"Tolong… tolong gadis ini!" teriak Kakek itu mengiba pada orang-orang yang hanya melihat tanpa berani menyentuh.

"Awas, awas!" teriak beberapa orang berpakaian perawat sambil membawa brankar ke dalam kerumunan. Spontan, semua orang langsung menepi, membiarkan beberapa petugas medis itu melakukan tugasnya.

"Astaga, Greya! Kenapa kamu bisa seperti ini?" pekik Lisa histeris, sahabat dekat Greya.

"Lisa, berikan pertolongan pertama dulu. Jika kau hanya berteriak seperti itu, maka nyawa Greya akan melayang!" bentak Rey, teman seprofesi Lisa dan Greya.

'Ternyata wanita muda itu juga seorang Dokter,' batin Kakek itu. Dia merasa lega karena Greya sudah mendapatkan pertolongan.

"Kek, ayo ikut bersama kami untuk menjalani pemeriksaan juga!" ajak Rey, memegang lengan Kakek yang masih termangu melihat brankar yang membawa Greya ke dalam.

"Tidak apa-apa, aku di sini saja menunggu cucuku. Kamu lekaslah ke dalam dan selamatkan dia. Tidak perlu pikirkan biayanya, aku yang akan menanggung semua biayanya. Kalian lakukanlah yang terbaik untuk menyelamatkannya!" pinta Kakek tua itu. Dia cukup salut dengan gadis muda yang menolongnya tadi. Meski tidak saling mengenal namun cukup berani menolong bahkan mempertaruhkan nyawanya.

"Baik, Kek! Saya permisi dulu," pamit Rey berlalu pergi.

'Ternyata Greya menolong harta Karun.' batin Rey.

Tidak lama, Hansel tiba bersama beberapa orang pasukannya. Dengan kaki yang masih terluka dia menghampiri dan langsung memeluk Kakek kesayangannya itu.

"Kek, kamu baik-baik saja?" tanya Hansel dengan wajah cemas dan khawatir tidak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status