"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
Kanaya tiba di apartemennya menjelang sore hari. Meletakkan tas serta barang bawaannya lebih dulu, Kanaya lantas berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air bening yang bisa diminum dari keran secara langsung. Namun, baru saja gelas itu menempel di bibirnya, bunyi ponsel dengan nada khusus yang selalu membuatnya riang membuat Kanaya urung dan memilih untuk berlari menggapai gawainya. “Halo, Pa,” sapanya riang. “Maaf Nona Kanaya. Ini saya, asisten pribadi Tuan.” “Oh, Iya. Ada apa, Om? Kok tumben Om telepon pakai hp khususnya Papa? Papa ke mana?” “Tuan…” Hening sejenak membuat Kanaya mengerutkan keningnya. Baru beberapa jam yang lalu ia berkomunikasi dengan kedua orangtua yang memberi semangat sebelum melakukan presentasi. Namun kini perasaannya mendadak gelisah karena panggilan yang tak biasa tersebut. “Ada apa sama Papa, Om?” “Tuan dan Nyonya sekarang berada di rumah sakit, Nona. Mereka mengalami kecelakaan pesawat.” “Apa!?” Kaki Kanaya mendadak terasa seperti jel
Kanaya duduk di antara ranjang ayah dan ibunya yang masih terbaring koma. Sambil mengelap tangan papanya yang terbaring di sisi kanan, gadis itu terus bercerita dengan tatapan pada sang mama yang terbaring dengan kondisi serupa di sebelah kiri.“Kanaya nggak tahu harus gimana, Ma? Om itu bilang kalau nanti siang Kanaya harus ketemu sama Leon. Kanaya penasaran kenapa Papa menjodohkan Kanaya dengan Leon, bahkan sejak masih kecil.”Kanaya terus bercerita meski tidak ada yang menanggapi. Hanya suara lengkingan monitor pendeteksi kehidupan yang mengisi percakapan satu arah Kanaya dengan kedua orangtunya tersebut.“Mama juga, Mama kok nggak bilang sama Kanaya kalau Papa sudah mempersiapkan jodoh untuk Kanaya?” rajuknya manja seperti sedang bercerita pada sang mama seperti biasanya.Helaan napas beratnya pun terdengar kemudian. Ia menggeser kursinya ke arah ranjang sang mama dan bergantian mengelap tangan serta wajah wanita yang masih terlihat cantik di usia lanjutnya itu.“Tapi Kanaya perca
Kanaya berusaha tegar di hadapan orangtuanya meski mereka sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri.Hari menjelang malam ketika Kanaya kembali ke rumah sakit. Ia berkeliling kota lebih dulu guna melenyapkan jejak kesedihan yang tertinggal di wajahnya setelah puas menangis di gedung kosong siang tadi.Kanaya juga sengaja pulang ke rumah untuk membawa beberapa barang yang akan ia tata di dalam ruang perawatan orangtuanya. Seperti pigura foto dan beberapa benda yang mengingatkan kenangan indah bersama orangtua dan adik-adiknya.“Malam sekali, Nona.” Sang asisten menyapa begitu melihat pintu terbuka dan Kanaya masuk menghampirinya di sofa.“Iya, Om. Maaf, ya. Tadi aku pulang dulu ke rumah buat ambil pakaian dan barang-barang lain,” ujar Kanaya sambil mengangkat tas jinjing di tangannya. “Om pasti capek ya nunggu lama di sini.”“Tidak. Saya bisa sambil bekerja tadi. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan sebelum perusahaan diambil sepenuhnya nanti.”Kanaya teringat sesuatu. “Ter
Kanaya tidak percaya kalau ia harus mengambil keputusan sebesar ini dalam waktu singkat. Membuat hidupnya berubah drastis. Kondisi kesehatan mama dan papanya yang semakin memburuk membuat Kanaya semakin sedih dan terpuruk.Kanaya tidak pernah takut kehilangan harta, namun kehilangan orangtua dalam waktu bersamaan tak pernah terlintas di kepalanya.Kanaya belum siap. Apalagi kedua adiknya yang belum dewasa benar. Memikirkan hal itu membuat dada Kanaya terasa sesak.“Kanaya, kamu baik-baik saja?”“Suster…” lirih gadis itu sambil mengusap wajahnya yang basah karena air mata.Kanaya sempat pamit untuk keluar, namun karena terlalu lama perawat akhirnya mencari gadis itu sekalian berpamitan pulang.“Suster udah mau pulang, ya? Maaf Kanaya jadi bikin suster terlambat pulang.”“Tidak apa, Kanaya. Kamu mau dipeluk?”Ditanya seperti itu Kanaya langsung mengangguk dan menangis sesenggukan di bawah tatapan kedua mata tajam yang sejak tadi juga mencarinya.***Tak lama Kanaya kembali ke kamar pera
Belasan pria bertubuh tegap dan berwajah garang tampak keluar dari Kantor Urusan Agama. Tatapan mereka terlihat siaga dan awas ke segala arah sambil mengawal sepasang pria dan wanita yang berjalan sambil bergandengan.Di belakang pasangan itu, mengikuti sepasang pengantin muda yang tampak baru menyelesaikan urusan pernikahan mereka di sana. Sang istri lantas berbalik dan menghampiri pengantin wanita cantik di belakangnya.Diraihnya sebelah tangan pengantin wanita yang mengenakan kebaya berwarna putih sederhana itu dan ditangkupnya dengan telapak tangan yang lain.Wajah sang pengantin yang cantik dan mengaggumkan membuatnya tampak sangat menawan di balik balutan kebaya putih pilihan mertuanya tersebut.“Bunda dan ayah pulang dulu, ya, Kanaya. Kalian berbulan madu saja yang tenang,” ucapnya lalu memiringkan kepala dan menatap pengantin pria yang berdiri tak jauh dari mereka. “Jaga menantu Bunda baik-baik, ya, Leon. Awas kalau kamu jahatin. Bunda–““Ehem!” potong sang suami mengingatkan.
Kanaya merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sadar. Perlahan ia mencoba membuka mata dan memejamkannya kembali ketika sebuah sinar yang cukup terang membuatnya silau."Bu Kanaya? Bu? Ibu bisa dengar suara saya?""Saya di mana?" tanya Kanaya sebab tak mengenal suara perempuan yang terdengar di telinganya."Ibu di kamar di Villa Seruni. Saya Miranti yang akan menemani dan merawat Ibu sampai sembuh."'Villa Seruni? Di mana itu?' batin Kanaya alih-alih berkata, "Sembuh?"Kanaya memaksa membuka matanya. Dan ketika semua tampak jelas, Kanaya bisa meneliti satu persatu apa saja yang ada di sekitarnya. Kamar yang tampak besar dan luas dengan perabotan lengkap bertema tropis menjadi pemandangan pertamanya sebelum Kanaya menyadari sebuah infus tergantung di tiang yang ada di sebelah kiri tempat tidur. Tatapan Kanaya pun menurun pada tangannya yang sudah terpasangi selang infus.Helaan napas lemahnya terdengar kemudian. Membuat Miranti bergegas menghampiri lebih dekat dan membantu Kanaya u
Kanaya melenguh oleh sebab rasa yang sangat menyakitkan. Dan ketika kedua bola matanya terbuka sempurna, ia mulai panik usai menatap langit-langit ruangan yang menaunginya. Dengan susah payah Kanaya bangun lantas melihat pakaiannya yang sangat berantakan. Kanaya pun merapihkan pakaian yang juga setengah terbuka dengan kondisi kalut sambil menitikkan air mata. Dan tepat ketika ia berhasil berdiri dengan susah payah, lenguhan suara lain membuat kaki Kanaya seperti disemen. Tubuh Kanaya sejatinya bergetar hebat. Namun Kanaya tidak berani menatap ke arah suara yang posisinya kini tepat berada di belakangnya. “Kenapa, Kayana? Kenapa?” Kanaya menjenggit, berbalik dan tepat saat itu juga Leon yang baru pulang dalam keadaan mabuk membuat Kanaya kaget. “Leon? Kamu ma–“ “Kenapa? Kenapa Kanaya?” “Maksud kamu?” Kanaya sedang melamun di tepian kolam renang ketika Leon datang tanpa disadari. Dan kini, posisi Kanaya malah tersudut karena Leon yang terus membuatnya terus mundur ke tepian ko