"Bawa barang-barang istriku ke kamar," perintah Mikail pada pelayan yang segera bergegas menghampiri ketika koper-koper Megan diturunkan dari dalam mobil. Dan perintah tersebut sempat mengalihkan perhatian Megan yang sedang sibuk berbincang dengan Kiano. Megan mengernyit ketika Mikail tak menjawab tanya dalam sorot matanya mengenai perintah pria itu pada para pelayan. Mengamati pelayan yang mulai membawa satu persatu kopernya masuk ke dalam rumah. Dan pria itu malah berjalan masuk ke rumah sambil merogoh ponsel dari dalam saku jas, dan langsung disibukkan oleh panggilan dengan seseorang di seberang. "Ayo, Ma." Kiano menarik tangan Megan dan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Alicia yang berdiri dengan wajah merah padam. Belum cukup satu jam Megan menginjakkan kaki di rumah ini, dan dengan begitu mudahnya semua orang melupakan keberadaannya. Kedua tangan Alicia mengepal di sisi tubuhnya, dengan bibir yang menipis keras dan mata yang memicing tajam. Megan Ailee, h
Megan baru saja selesai membersihkan dirinya ketika Kiano membuka pintu kamar dan melangkah masuk. Senyum semringah segera menghiasi wajahku mungil putranya begitu menemukan dirinya. Menghambur ke arahnya dengan lengan terbuka lebar. "Mama?" "Hai, jagoan." Megan membungkuk dan mengusap ujung kepala sangat putra sebelum membalas pelukan lengan mungil tersebut di pinggangnya. "Di mama papa?" tanya Kiano setelah mengedarkan pandangan dan tak menemukan sosok Mikail di mana pun. "Papamu sedang ada sedikit pekerjaan di ruangannya. Ada apa?" tanya Megan merangkum wajah mungil tersebut dengan telapak tangannya. "Ada om Marcel di bawah." Wajah Megan seketika memucat dan seluruh tubuhnya membeku. "Apa?" Kiano mengangguk, tangan Megan yang mendadak bergetar di wajahnya dan raut wajah sang mama yang tampak terpaku membuatnya terheran. "Ada apa, Ma?" Megan mengerjap cepat dua kali dan menguasai raut wajahnya dengan cepat ketika kembali menatap kedua mata bulat sang putra. Terutama dengan K
Megan tak berhenti berjalan mondar-mandir di tengah ruang kerja Mikail. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Kegelisahan tak berhenti menguasai dadanya. Kenapa pria itu masih saja datang mengganggu kehidupannya. Seolah semua derita yang menemani sepanjang perjalanannya menjauh dari kehidupan Mikail masih belum cukup dijadikan hukuman baginya. "Karena dia lebih segala-galanya dariku dan memutuskan untuk memilihnya, bukan?" "Kalian perlu belajar, bahwa apa yang kalian inginkan terkadang tak bisa didapatkan. Meski dengan cara yang sangat sulit sekalipun. Dan akulah yang akan mengajari dan memastikan kalian berdua memahami pelajaran yang satu ini." Megan membanting pantatnya dengan keras di sofa, remasan di kedua tangannya semakin menguat dan keduanya kakinya bergetar dengan hebat. Bayangan ketika tubuhnya dibanting dengan keras di dinding, kedua tangannya dicengkeram dengan keras hingga nyaris meremukkan tulang pergelangan tangannya. Dipaku di atas kepalanya dengan kekuatan
"Alicia!!!" Sekali lagi Mikail memanggil dan menggedor pintu kamar wanita itu dengan kekuatan yang lebih menggunakan kepalan tangannya. Hingga kepanikan dan kekhawatiran memucatkan wajah pria itu. Napas Mikail terengah, napasnya serasa direnggut dengan paksa, hingga semua kelegaan menjadi satu dan menerjang dadanya saat pintu di dorong membuka dari dalam. "Mikail?" Suara memanggil Alicia yang penuh keheranan muncul. "Apa yang terjadi?" Mikail melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Mencari sesuatu di lantai dan melihat pecahan kaca yang berhamburan di sekitar lantai tempat tidur Alicia. "Kau terluka?" Alicia mengikuti arah pandangan pria itu kemudian menatap kepucatan pria itu dalam-dalam. Tentu saja ia tersenyum dengan perhatian yang diberikan Mikail terhadapnya. "Tidak, Mikail. I- itu … aku tidak sengaja menyenggolnya dan terjatuh." Raut wajah Mikail seketika membeku. Mencerna satu kali lagi jawaban Alicia dan menatap pecahan gelas di lantai. Kemudian kedua tangan Alicia yang dit
Megan langsung memeluk Kiano begitu melihat sang putra yang menghambur ke arahnya saat pintu kamar ia dorong terbuka. Kedua kalinya berlutut, menyejajarkan posisi tubuhnya agar lengan mungil dan pendek Kiano bisa memeluk lehernya. "Apakah mama membuat Kiano menunggu lama?" tanya Megan sambil mendapatkan jarak di antara wajah mereka hingga saling berhadap-hadapan. Kiano menggeleng dengan senyum manis yang tak pernah membosankan untuk Megan lihat. Menularkan kebahagiaan di dalam hatinya. Apa pun itu yang akan ia dapatkan dalam pernikahan di masa depan bersama Mikail, semua itu akan sepada dengan apa yang didapatkannya bersama Kiano. Tak ada harapan sekecil apa pun di dalam hubungannya dengan Mikail. Dan Megan sendiri tak ingin berharap, apalagi kembali jatuh dalam kenaifannya untuk kedua kalinya. Mikail yang menyusul langkah Megan berhenti di ambang pintu. Interaksi ibu dan anak itu lagi-lagi membuat hatinya ditendang oleh sebuah perasaan yang begitu familiar. Yang tak pernah terbay
Megan terlihat sudah rapi saat keluar dari kamar mandi dengan mengenakan dress bunga-bunga berwarna peach. Rambut wanita itu juga sudah disisir rapi dan wajahnya dipoles make up tipis-tipis. Ada kepuasan sekaligus kekecewaan bercampur di raut wajah Mikail yang mengamati setiap langkah wanita itu. Puas karena melihat penampilan Megan yang tak pernah mengecewakan pemandangannya. Ya, ada alasan kenapa wanita itu memiliki karir yang begitu cemerlang. Dan kecewa karena pakaian itu menutupi tubuh Megan dan melakukan tugasnya dengan sangat baik untuk melindungi wanita itu dari tatapan menelisik Mikail terhadap tubuhnya. Seringai tersamar di kedua ujung bibir Mikail melihat wajah Megan, yang dengan sikap liciknya yang sama sekali tak sungkan untuk ditampilkan Terang-terangan. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Mikail?" tanya Megan dengan kecewa yang menyelimuti raut wajah Mikail terhadap penampilannya. Mendadak merasa gugup dengan penampilannya sendiri. Mungkinkah ada helaian rambutnya y
Megan terdiam membaca nama Nicholas di layar ponselnya. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau dan menjawab panggilan tersebut. Suaranya berhasil keluar tanpa getaran sedikit pun. "Ya, Nicholas?" Megan tak langsung mendengar jawaban dari seberang. Dalam keheningan tersebut, Megan masih bisa merasakan kemarahan Nicholas saat menemui pria itu di rumah sakit. Sehingga berpikir Nicholas benar benar tak sudi melihat wajahnya lagi dan menyangka pria itu akan menghubunginya lebih dulu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Nicholas menjawab sapaannya. "Apa kau punya waktu malam ini?" Megan tak seharusnya menjawab ya, tetapi ia tetap mengatakan ya. "Ya." "Bisakah kau datang ke rumah sakit. Kau tahu kita butuh bicarakan, kan?" Megan menggigit bibir bagian dalamnya dan mengangguk. Meski tak tahu apa yang akan ia bicarakan dengan Nicholas selain kata maaf, sekali lagi Megan tetap mengiyakan pertanyaan Nicholas. "Datanglah ke ruang perawatanku." Megan tak langsung m
Suara gedoran bergema dengan keras memenuhi seluruh ruang kerja Mikail. Satu tangannya yang terkepal berada di meja dan tangannya yang lain menggenggam kuat ponsel yang menempel di telinga. Wajahnya merah padam, serasa dibakar mentah-mentah. Dan amarah bergemuruh memenuhi dadanya. Beraninya Megan meninggalkan rumah tanpa seijinnya. Bahkan mengancam anak buahnya hingga tak berdaya dan lebih menuruti perintah wanita itu ketimbang dirinya. "Tunggu di sana sampai dia kembali. Pastikan kau mengawasinya dengan ketat dan laporkan secara berkala padaku," desis Mikail tajam. Memungkasi panggilan dari seberang dengan membanting ponsel ke meja. Ia mendorong tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata terpejam. Entah butuh berapa puluh helaan hingga gemuruh di dadanya perlahan mereda. Baru saja ia meninggalkan Megan dengan Kiano yang sedang menghabiskan kue di meja makan untuk mengantar makanan Alicia, saat ia kembali keduanya sudah tidak ada di sana. Mikail pun naik ke lantai dua dan melihat