Mikail membanting tubuhnya di sofa dan mengerang dalam hati. Kesepuluh jemarinya tenggelam di helaian rambut kepala dan ia menggenggamnya dengan kuat. Hubungannya dan Megan baru saja membaik. Kenapa ia harus melakukan kesalahan setolol ini karena emosi dan kecemburuannya? “Tuan?” Suara panik pelayan yang baru muncul membuat Mikail mengangkat kepalanya. “Ada apa?” “Nona, Nona Alicia jatuh di kamar mandi.” “Apa?” Mikail melompat berdiri dan langsung berlari ke kamar Alicia. Ia benar-benar dikejutkan dengan tubuh Alicia yang berbaring di lantai kamar mandi di tengah darah yang menggenang di lantai. Mikail seketika menggendong Alicia dan menyuruh pelayan untuk memberitahu sopir. Membawa Alicia ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Alicia segera mendapatkan penanganan yang tepat di ruang operasi selama satu jam lebih. Janin dalam kandungan wanita itu baik-baik saja. Mikail bernapas pun dengan lega. Baru saja Kiano selamat dari bahaya, dan sekarang janin dalam kandungan Alicia pun ik
Mikail benar-benar tak bisa memejamkan matanya. Sudah satu jam yang lalu tubuhnya hanya berguling ke sana kemari di ranjang yang luas. Terlalu luas untuk dirinya sendiri. Dan ia membenci kesendirian ini. Mengerang dalam hati karena sendirian di tempat ini dan tidak ada Megan Sialan. Betapa keberadaan Megan telah memengaruhinya sedalam ini. Seharusnya ia yang marah pada Megan karena kelalaian wanita itu menjaga Kiano. Tapi lihatlah sekarang, kemarahan Megan lebih besar dan sekali lagi ia menyumpah dalam hati akan kata-katanya yang dingin dan kasar pada wanita itu. Sungguh, ia sama sekali tak bermaksud membela Alicia dibandingkan Megan. Dan berapa kalipun penyesalan tersebut, ia telah melukai kepercayaan Megan terhadapnya. Kata Marcel kembali membelah dadanya. Mengena tepat di dadanya. Mungkinkah perhatiannya pada Alicia memang berlebihan? Ia tak pernah memperkirakan perhatiannya terhadap Alicia akan memberikan dampak sedalam ini pada Megan. Kehamilan Megan di masa lalu tak hanya meni
“Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku?” Mikail mendorong pintu kamar mandi terbuka. Sedikit lebih keras hingga membuat Megan yang hendak membuka pakaiannya tersentak kaget. Kembali mengancingkan piyama tidurnya. “Aku masih di kamar mandi, Mikail,” delik Megan dengan kesal. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Kita perlu bicara.” Mikail maju satu langkah mendekat. Megan mundur samblil berbalik dan menjawab dengan dingin, “Aku sedang tak ingin bicara. Terutama denganmu.” Megan sengaja menekan kalimat terakhirnya. “Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tidak marah kepadaku lagi?” “Tidak ada. Keluarlah,” usir Megan. Menatap pria itu dari pundaknya. Mikail menghela napasnya panjang, menatap punggung Megan dan suara mulai melunak ketika berucap lagi. “Maaf. Maafkan aku, Megan.” Raut Megan membeku, mendengarkan kalimat Mikail yang diselimuti kesungguhan. Mikail maju satu langkah lagi. “Maaf aku tidak memercayaimu, Megan.” “Apakah itu berarti kau percaya kalau Alicia
Alicia turun dari mobil dengan raut kecewa yang begitu jelas karena Mikail tidak menjemputnya ke rumah sakit. Yang ia yakin ada hubungannya dengan Megan. Kakinya dihentakkan ke lantai dengan sedikit kesal. Ketika tiba-tiba seorang wanita datang menghampirinya. “Siapa kau?” Alicia terheran melihat wanita berseragam perawat yang menyambut kedatangannya. Membantunya turun dari mobil. “Namanya Juli. Perawat yang akan membantu dan memenuhi kebutuhan Anda,” jawab pelayan yang mengambil tas bepergian Alicia. Juli mengangguk, dengan senyum ramahnya. “Apa? Perawat? Aku tidak meminta perawat.” “Tuan Mikail yang mempekerjakannya untuk Anda.” Kerutan di kening Alicia semakin dalam. “Di mana Mikail sekarang?” “Tuan, nyonya, dan tuan Kiano sedang pergi.” “Ke mana?” Pelayan itu menggeleng. “Beliau tidak mengatakan apa pun.” “Tentu saja sedang berlibur.” Suara menjengkelkan Marcel mengambil alih jawaban untuk Alicia. Senyum lebar yang memuakkan terpasang di wajahnya. Melangkah mendekat ke
Megan melangkah dengan terburu, menyeberangi ruang tamu, menuju teras dan terus berjalan ke arah gerbang. Langkahnya terburu, seolah sesuatu bisa saja terjadi dalam satu detik ke depan. Pintu gerbang masih tertutup, tidak ada tanda-tanda akan ada tamu atau siapa pun yang akan masuk. Napasnya terasa sedikit lega begitu sampai di gerbang, pintu masih tertutup. "Nyonya, apakah Anda membutuhkan sesuatu?" Penjaga keamanan muncul dengan sigap dari dalam pos penjagaan. Megan menggeleng, sambil berusaha menormalkan napasnya yang terengah karena buru-buru melangkah. "Aku menunggu seseorang. Jangan katakan pada siapa pun." Penjaga keamanan tersebut tampak terheran, dan sebelum ia mempertanyakan keheranannya lebih lanjut, Megan sudah berjalan melewatinya. Menuju samping gerbang. Tepat ketika Megan menutup pintu kecil yang ada di sudut gerbang tinggi, matanya disilaukan oleh cahaya lampu yang begitu terang. Megan menyipitkan mata, hingga cahaya terang tersebut dipadamkan, barulah Megan bisa
Nicholas hanya terdiam, mengamati wajah Megan yang memucat. “Untuk semua ini, aku membenciumu, Megan. Tetapi bagaimana bisa aku juga mencintaimu di saat yang bersamaan. Aku bahkan tak tahu bagaimana cara mendapatkan jawaban untuk semua tanya itu.” Napas Megan sempat tertahan, menatap sisi wajah Nicholas yang memandang lurus ke depan, dengan raut yang dipenuhi emosi. “Aku sungguh-sungguh minta maaf membuatmu berada dalam situasi seperti ini, Nicholas. Aku … aku …” Nicholas memutar kepalanya ke samping. Mengunci kedua mata Megan. “Apakah jika aku melihatmu bahagia, itu akan menjaminku bahagia di masa depan?” Megan tak bisa menjawab, hanya bisa merasakan panas di kedua kelopak matanya. Kepalanya bergeleng dengan gerakan yang diselimuti kepiluan. ”Aku tak tahu, Nicholas.” Nicholas menyeringai. “Tapi rasa bersalahku padamu, tak akan hilang jika aku tidak bisa melihatmu bahagia.” Dengusan keras lolos dari mulut dan kedua lubang hidung Nicholas. “Aku tak percaya bahwa cinta adalah meli
Jelita mengulurkan beberapa lembar uang pada sopir taksi sebelum turun dari mobil. Langsung menghampiri mobil Nicholas yang terparkir di depan taksinya. Sekilas Jelita mobil hitam yang terparkir tak jauh dari mobil Nicholas dan memutuskan keberadaan mobil itu tidak mencurigakan. “Kau datang?” Nicholas menurunkan lengannya dari wajah begitu pintu mobil diketuk dan ia menurunkan kaca jendelanya. Sedikit lega dengan orang yang dihubungi Megan untuk menjemputnya. Ada banyak nama tetapi memang Jelita pilihan terbaik yang Megan dan ia pikirkan. Jelita hanya mengangguk. Membuka pintu dan membantu Nicholas turun dari mobil. Pria itu sesekali mengerang ketika rasa sakit menusuk di area bekas operasi. Jelita menggerutu dalam hati, dengan kaki seperti ini, sempat-sempatnya pria ini menyetir mobil hingga sejauh ini. “Tidak bisakah kau lebih hati-hati?” sergah Nicholas ketika sekali lagi rasa sakit berdenyut di kakinya. “Maaf …” “Kau benar-benat menjengkelkan. Kenapa kau selalu mengulang kes
Cahaya hangat matahari membangunkan Jelita dari tidurnya yang lelap. Kepalanya terasa berat dan pusing yang teramat menusuk pusat kepalanya. Sembari memijit pelipisnya guna meredakan pusing tersebut. Jelita bangun terduduk sambil mengerang pelan, saat selimut jatuh ke pangakuannya, wajahnya tertunduk dan membelalak lebar menemukan tubuhnya yang telanjang di balik selimut. Kedua telapak tangannya membekap mulutnya, meredam pekikannya akan apa yang ditemukannya. Lalu kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia berada di ruang tidur yang luas. Seperti hotel dan jelas berada di suite salah satu hotel mewah berbintang di kota ini. Bagaimana ia bisa sampai di sini adalah pertanyaan besar yang seketika menggantung di atas kepalanya. Dan tak hanya tempatnya berbaring yang mengejutkannya, tetapi sosok lain yang berbaring di sampingnyalah yang menambah keterkejutannya. Sekali lagi Jelita menahan pekikannya tak sampai terlepas dari ujung lidahnya. Melihat tubuh Nicholas