Bunyi keras itu tidak hanya terdengar olehku, tetapi juga pelayan yang bertugas di butik. Mereka segera mendekat untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Aku masih berdiri tidak percaya melihat kejadian itu berlangsung sangat cepat. “Bu, kami mohon. Tolong, jangan buat keributan di sini. Kalau sampai orang-orang tahu, reputasi butik milik atasan kami menjadi taruhannya,” kata pelayan wanita yang tadi melayani di kasir. “Reputasi, katamu?” hardik wanita itu semakin berang. “Reputasi bosmu dan butiknya ini tidak lebih penting dari reputasiku. Pergi dari hadapanku atau aku akan memasukkan keburukan pelayanan butik ini di media sosial!” Ancaman usang itu lagi. “Tetapi, Bu,” kata perempuan itu memelas. “Apa lagi maumu?” Aku berdiri di depan Galang, melindungi dia dari perempuan pengkhianat itu. “Kalian yang maunya apa? Aku tidak mengganggu hidup kalian, mengapa malah menyebarkan video fitnah itu? Semua orang berpikir akulah yang datang dengan sukarela ke kamar tidurnya. Padahal bukan i
“Sudah, jangan bahas gosip di acara bahagia ini,” kata Mama yang datang bersama pelayan dengan membawa baki. Minuman hangat dan makanan ringan disajikan di depan kami.“Iya, kita rencanakan liburan saja,” timpal Ekon yang ikut bergabung bersama keluarga kecilnya. Kedua anak mereka sudah mengantuk, jadi mereka duduk sambil bersandar pada papa dan mama mereka. Aku tersenyum mengingat mereka tidak bisa diam sepanjang acara tadi.“Bulan Juni, yuk. Jadi, pas dengan liburan sekolah anak-anak,” usul Amara. “Kita juga tidak terlalu lelah setelah berbulan-bulan mempersiapkan pernikahanku.”“Boleh. Asal bukan bulan Mei, karena aku dan Fay akan naik gunung,” kata Galang.Mereka serentak menoleh ke arah kami dan tersenyum penuh arti. Aku jadi ingat, Mama dahulu sangat menentang hobiku itu. Akibatnya, aku sering mendaki gunung tanpa izinnya. Karena aku selalu pulang dalam keadaan selamat, dia akhirnya mengizinkan aku melakukannya secara rutin.Apalagi Galang yang datang sendiri meminta izin untuk
Lantai gang dari pintu gereja hingga ke altar telah dialasi dengan karpet berwarna merah. Pada setiap ujung bangku dihiasi dengan buket bunga kecil dari barisan belakang hingga depan. Altar juga tidak kalah indahnya dengan bunga berdiri yang didominasi oleh warna putih.Liturgis meminta kami untuk berdiri, lalu alunan piano mendendangkan mars pernikahan mengiringi Amara dan Papa yang berjalan bersama menuju altar. Adikku yang sepuluh tahun lebih muda dariku itu sudah bukan anak-anak atau gadis remaja yang manja lagi. Dia akan segera menjadi seorang istri, dan jika Tuhan berkenan, seorang ibu.Aku menitikkan air mata ketika dia dan Keano akhirnya diresmikan menjadi suami istri. Pernikahan mereka tertunda selama satu bulan demi mengalah denganku dan Galang. Perasaan bersalah yang sedikit membebani aku pun terangkat.“Tante Yola!” panggil Ezio dan Athena yang sudah duduk di kursi untuk mereka bersama kedua orang tua mereka. Aku melambaikan tangan, belum bisa mendekati mereka.Bukan hanya
~Galang~Entah apa rahasia yang dimaksudkan oleh Ekon sehingga Fay begitu marah kepadanya. Walau aku penasaran sekaligus kesal dia punya rahasia yang tidak aku ketahui, aku menghargai privasinya. Jika saatnya tiba juga dia akan menceritakan segalanya kepadaku.Upacara hingga resepsi pernikahan Amara berjalan dengan lancar. Apa yang ditakutkan Fay tidak terjadi. Bahkan video yang viral itu membuat banyak orang penasaran mengenai kami. Mereka tidak mendatangi kami langsung, tetapi hanya melihat kami dari jauh.Syukurnya, mereka orang-orang berduit yang memberi amplop tebal sebagai hadiah untuk kedua pengantin. Amara beruntung. Aku dan Fay lebih banyak dapat barang daripada uang dalam amplop. Namun semua klienku yang tidak hadir mentransfer uang ke rekeningku sebagai kado dari mereka untuk kami, dan jumlahnya fantastis sampai aku berulang kali menghitung nol yang tertera.“Sampai nanti bulan Juni,” ucap Ekon kepada kami semua.Kami membalas lambaian tangannya dan keluarganya. Mereka mem
“Lang, apa yang kamu lakukan?” Dia mengangkat benda yang sudah aku buang ke tempat sampah.“Apa lagi? Membuang sampah pada tempatnya,” jawabku sekenanya.“Untung saja Tama menanyakan dahulu, jadi undangan berharga ini tidak terbuang sia-sia.” Dia duduk di depanku dan meletakkan sampah itu di atas meja.“Fay, itu sampah,” kataku, mengingatkan. “Mengapa kamu taruh di atas meja?”“Apa kamu tidak lihat plastik pembungkusnya sudah aku buka? Bagian dalamnya bersih,” katanya, tidak mau kalah.Undangan yang diberikan Trici semalam langsung aku buang ke tempat sampah di ruang depan. Aku tahu isinya sampah kering, jadi kertasnya tidak akan kotor. Namun bagiku, benda itu tetap sampah yang tidak seharusnya diletakkan di atas meja makan.“Mengapa kamu ambil lagi sampah itu? Kamu mau datang ke sana?” tanyaku heran.“Mereka sudah susah payah mengundang, tentu saja kita harus menghadirinya.”Aku mengangakan mulut, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. “Aku tidak ikut.”“Memangnya kamu tidak pen
~Fayola~Dasar Galang bodoh. Ada undangan makan gratis, mengapa malah membuang kesempatan itu? Aku tidak peduli dengan perbuatan mereka di masa lalu, juga apa yang akan mereka rencanakan dengan mengirim undangan perayaan hari ulang tahun pernikahan mereka.Kasihan mereka sudah menyusun rencana dengan baik, masa aku menolak undangan itu? Aku juga mau tahu kejutan apa lagi yang sudah mereka siapkan untukku. Setelah video viral itu pasti menarik untuk melihat sendiri, mereka masih disegani orang banyak atau tidak.“Apa yang Kakak lakukan?” tanya Amara ketika kami sudah berada berdua saja di kamarnya.“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Aku melirik ke arah kamarnya. “Wow, Amara! Tempat tidur kalian bagus sekali! Persis seperti yang ada di istana Inggris!”“Kak, fokus!” Dia menarik tanganku, lalu mengajak aku duduk di sofa yang ada di dekat jendela.“Wow! Kursi ini empuk sekali!” Aku naik turun merasakan bahannya yang lembut, nyaman diduduki.“Kakak jatuh cinta kepada Kak Galang,” kata
Aku terbiasa bangun pagi meskipun hari Minggu, karena harus bersiap untuk beribadah. Karena perut sudah melilit, aku ke ruang makan lebih dahulu. Ulfa dan Tama menyapa aku dengan ramah. Air liurku terbit melihat makanan yang mereka sajikan di atas meja.“Selamat pagi. Apa kalian sudah sarapan?” tanyaku. Mereka serentak mengangguk.“Setelah Nyonya selesai makan, Tuan menunggu Anda di sebelah,” kata Tama sambil tersenyum penuh arti.“Lo? Dia tidak sarapan?” tanyaku bingung.“Sudah, Nyonya. Baru saja selesai,” jawab Ulfa.Aku mengangguk mengerti. Tumben. Biasanya dia menunggu sampai aku turun ke ruangan ini untuk makan bersama. Baiklah. Biar saja dia menunggu. Aku mau makan banyak, karena sangat lapar. Roti panggangnya enak, apalagi ham dan sosisnya. Hm ….“Galang? Apa ini?” tanyaku melihat dia berdiri begitu aku memasuki ruang kerjanya.Dia memegang satu buket bunga mawar putih dan merah muda, serta sekotak cokelat. “‘Happy Valentine’s Day!’” serunya senang. “Akhirnya, aku punya seorang
“Aw, aduh,” ringisku kesakitan. “Sudah tahu dia berbahaya, kamu malah menantangnya. Kamu ini memang tidak pernah ada jeranya! Apa kamu mau botak permanen?” ucap Galang dengan kesal. Aku tertawa kecil yang segera diganti dengan erangan kesakitan ketika perawat mengobati kulit kepalaku. Mengerikan. Sonya sampai membuat beberapa titik mengeluarkan darah. Untung saja kami menggunakan mobil Galang, kalau naik sepeda motor, aduh, helmnya akan menyakiti aku. Kapan keadaan buruk yang sahabatku katakan itu akan terjadi? Mengapa lama sekali perusahaan mereka jatuh? Aku sudah tidak sabar melihat sendiri mereka menjadi miskin dan tidak punya apa-apa lagi. Jadi, mereka tidak akan bisa bersikap arogan kepadaku. “Sudah selesai, Bu.” Perawat tadi pun pamit. “Ayo, kita pulang,” ajakku. Wajah Galang masih cemberut, maka aku mengecup bibirnya. “Yuk.” Dia mendesah pelan, lalu menuruti aku. Perempuan itu memang gila. Aku tidak berbuat salah, dia malah menyakiti aku. Seharusnya aku tadi membalasnya, t