Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
“Kamu mau nggak nikah sama saya?”“Ya!?”“Sorry ralat, maksudnya kawin kontrak sama saya. Kita pakai jangka waktu yang sudah saya tentukan.”“Hah?”“Saya butuh jawaban kamu bukan malah hah-heh saja. Jawab!”“Gila!”“Kamu!?”Ini siapa yang tidak mau bereaksi seperti itu jika secara tiba-tiba diajak kawin, kontrak pula. Kinar Dewi mana pernah membayangkan hidupnya akan menemui ujian seperti ini.CEO penerbitan di mana buku-buku karyanya dicetak, mungkin ada kesalahan di otaknya sewaktu menyettingnya. Ini pertemuan pertama keduanya dan ada adegan lamaran yang tidak romantis sama sekali. Lamaran romantis yang selalu Kinar tulis di dalam novel-novelnya faktanya tidak terjadi di kehidupan nyatanya. Yang benar saja!“Saya serius.”Perkataannya membuat Kinar tertegun. Maksudnya apa, sih? Kinar benar-benar tidak mengerti dengan cara pikir manusia ganteng yang ada di hadapannya saat ini.“Saya tidak punya pilihan lain selain kamu.”“Maksud Bapak apa, ya? Saya pilihan terakhir Bapak? Why?”Kedua
Kinar tidak tahu—kurang memahami—antara nikah siri dan kawin kontrak. Hanya sekadar secara garis besarnya saja. Nikah siri adalah di mana pernikahan tersebut sah secara agama namun tidak tercatat secara negara. Sedangkan kawin kontrak adalah pernikahan terikat waktu yang mana ada tenggang waktunya. Dan dari yang pernah Kinar temui, beberapa pasangan pernah melakukan perkawinan kontrak entah atas dasar alasan apa.Yang sedang Kinar alami saat ini adalah buntu. Sepulangnya bertemu dengan CEO di mana buku barunya harus sudah selesai penandatangan guna segera terbit, nyatanya ngadat lantaran perilaku si pemilik.Tidak banyak yang bisa Kinar lakukan selain diam di pojok kamar kostnya dan merenung. Helaan napasnya memberat. Kepalanya penuh dan rasa sakit menghampiri seketika. Kedua mata Kinar juga memberat namun enggan diajak terpejam.“Saya akan menjamin kehidupan kamu. Kalau kamu setuju, kita tanda tangani perjanjian yang sudah saya tentukan.”Ucapan Anan Pradipta terus terngiang di
Pagi-pagi buta sebelum matahari menyapa bumi Pasundan, Kinar dipaksa membuka kelopak matanya. Melirik jam di nakas samping ranjangnya, pukul enam lebih sedikit. Artinya Kinar baru terlelap sekitar tiga jam. Malam adalah waktu paling aktif bagi Kinar untuk membelai setiap naskah di dalam laptopnya. Dan ketukan di pintu kamar kostnya amatlah mengganggu.“Siapa?” Kinar berteriak lalu menenggak minuman dinginnya langsung dari botol.Berjalan gentoyoran menuju arah pintu dan membukanya. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat kian mengerutkan dahi dan mata Kinar . Seingatnya Kinar tidak punya janji temu dengan siapa pun. Kinar juga tidak ada niatan untuk keluar dari kostnya. Jadi ini siapa, ya?“Cari siapa, ya?” tanya Kinar dengan kepala celingak-celinguk melihat kondisi sekitar.Masih sepi. Beberapa penghuni kost masih ada yang terlelap. Tidak semua pekerja di sini akan masuk di jam yang sama. Tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.“Bu Kinar?”Kedua alis Kinar mengerut s
Seharian fokus Anan terpecah. Berbagai masalah yang silih berganti berebut di dalam pikirannya mencari celah untuk bisa mengambil alih atensinya. Tidak ada yang bisa Anan lakukan selain diam dan memendamnya. Mendebat dirinya sendiri atau lebih parahnya mendebat Ivana bukan jalan terbaik. Ivana tetaplah Ivana dengan cara dan jalannya sendiri. Siapa Anan hingga bisa merubahnya saat cinta yang Anan berikan saja dianggap sepele?Senyum Anan kecut. Menertawai dirinya sendiri yang menyesal telah melangkah sejauh ini bersama Ivana. Andai tidak dipertemukan dengan Ivana tidak akan ada kerumitan dalam hidupnya. Andai tidak menikah dengan Ivana tidak akan ada kawin kontrak bersama wanita yang tidak Anan kenal.Nalar Ivana lain daripada yang lain sehingga Anan harus rela menanggungnya.“Pak?”Panggilan dari arah belakang tubuhnya menyeret Anan dari lamunnya. Kelopak mata Anan berkedip setelah sekian menit menatapi lampu kerlap-kerlip di Kota Bandung.“Apartemen yang Bapak minta sudah siap.” Teg
Apa aku harus peduli?Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.Benar-benar nggak berotak!Kinar mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar hanya bisa diam.Sial!Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena f