“Bibik yakin kalau ibu sama Nico tidak turun ke sini?”“Tidak Pak, biasanya ibu kasih Nico ke saya kalau bangun tidur.” Bik Tata menjelaskan.Mendengar itu, Rio jadi khawatir dan langsung kembali lagi ke kamarnya.Dia mendatangi sofa dan terbelalak ketika menyaksikan Shara yang meringkuk tanpa Nico di dekatnya.“Ma, Nico di mana?” tanya Rio sambil membangunkan Shara, yang terperanjat melihat kedatangannya.“Apa sih, Mas?”“Nico mana? Dia tidak sama kamu? Kata Bik Tata, kamu belum keluar dari kamar kan?” tanya Rio beruntun.Shara mengucek matanya sembari menyimpulkan nyawa yang belum sepenuhnya utuh.“Ra, Nico mana?” tanya Rio sekali lagi dengan menyebut nama asli istrinya.“Dia bukannya sama kamu, Mas?”“Aku kira malah sama kamu!” tukas Rio sambil celingukan mencari keberadaan si kecil. “Kalau malam kan Nico suka bangun dan minta minum atau pipis ....”Shara terpaku, seakan masih mencerna seluruh ucapan Rio yang masuk ke pikirannya.“Tadi pagi pas aku kebangun, Nico sudah nggak ada di
“Tapi Shara tidak pernah main tangan kan?” “Aku tidak tahu, Bu. Aku lebih sering dengar dia membentak Nico saja ....” “Shara kan ibu baru, mungkin saja dia kena baby blues?” Rio terdiam, baik dia maupun Shara sama-sama menjadi orang tua baru sejak Nico lahir ke dunia ini. Bisa jadi Shara masih harus beradaptasi dengan status barunya sebagai seorang ibu. “Apa sih, Nic!” Sementara itu di kamar, Shara sedang uring-uringan karena suara rengekan Nico dinilai mengganggu tidur lelapnya. “Mama tuh capek ya, urus kamu seharian! Tengah malam masih harus bangun gara-gara bikinin susu buat kamu! Kali ini saja mama mau tidur sebentar ....” Nico yang masih bayi, tentu saja tidak mengerti apa yang diucapkan sang tante yang kini menjadi ibunya. Dia terus merengek tanpa henti, berusaha menyuarakan apa yang menjadi keinginannya menggunakan bahasa yang tidak Shara mengerti. “Nico! Diam dulu sebentar bisa nggak sih?” Shara akhirnya habis sabar dan membanting botol susu yang sudah kosong. “Mama ca
[Buat apa lagi kamu transfer uang ke rekening aku, Kak?]Mengabaikan pertanyaan Slavia, Rio memilih untuk langsung menelepon istri keduanya itu.Berharap kalau Slavia berkenan menjawab teleponnya.“Mau alasan apa lagi kamu, Kak?” Suara dingin Slavia langsung menyambut begitu hubungan tersambung.“Vi, kita harus bertemu. Aku mau bicara banyak sama kamu,” punya Rio.“Aku nggak mau, Kak. Cukup kamu ucapkan talak itu saja, bebaskan aku ....”“Kamu di mana sekarang, Vi?”“Nggak penting kamu tahu keberadaan aku.”Rio yang emosinya juga sedang naik-turun, mendadak jadi tersinggung karena mendengar ucapan Slavia.“Aku ini masih suami kamu, Vi! Setidaknya jaga nada bicara kamu ....”“Suami nggak bertanggung jawab.”“Tidak bertanggung jawab, kamu bilang? Justru karena aku merasa harus bertanggung jawab sama kamu, makanya aku tidak langsung talak kamu.”“Terus kenapa memangnya?”“Karena dengan kamu masih jadi istri aku, maka aku punya kewajiban untuk menafkahi kamu ....”“Aku bilang nggak perlu,
“Tunggu sebentar Kak, aku nggak merayu Kak Rio sama sekali ....” “Alah, nggak usah menyangkal! Aku dengar sendiri kalau kamu telepon Rio diam-diam kan?” “Bukan aku yang telepon Kak Rio, tapi dia sendiri yang ....” “Sudah, tutup mulut kamu, Vi!” “Kak, tolong jangan nuduh aku macam-macam ... Aku sama sekali nggak menghubungi Kak Rio duluan!” Slavia masih berusaha menjelaskan, tapi percuma. Sekeras apa pun dia menjelaskan duduk perkaranya sampai berbuih, Shara tetap tidak mau tahu dan tetap beranggapan bahwa adiknya yang salah. “Sekali lagi aku peringatkan kamu, jangan jadi duri dalam rumah tangga aku! Kita sudah terikat perjanjian sejak awal, kenapa kamu pura-pura lupa?” Slavia menghela napas dan menunggu Shara meluapkan emosinya sampai dia puas. “... adik kok nggak tahu diri,” dengus Shara sebagai penutup. “Cukup ya, Kak? Jangan karena Kakak berjasa besar membiayai sekolah aku sampai lulus kuliah, terus Kakak merasa berhak mencaci maki aku sampai kayak begini ....” “Memang itu
“Kenapa Bibik harus minta maaf?” “Karena saya gagal melindungi Nico dari ibu.” Rio menggelengkan kepala, firasatnya mengatakan kalau apa yang dialami Nico hari ini ada hubungannya dengan Shara. “Gagal melindungi Nico? Kalau begitu ceritakan kejadian yang sebenarnya, kasihan Nico.” Mendengar itu, Bik Tata menjadi semakin terbebani dan lantas menceritakan apa saja yang dilakukan Shara terhadap Nico. “... tolong jangan bilang Ibu, Pak ... saya tidak mau dipecat ...” pinta Bik Tata ketakutan, matanya berkaca-kaca. “Saya beranikan diri masuk kamar ibu juga karena Nico nangis-nangis, ternyata ... ternyata dia dicubit-cubit ....” Hati Rio teriris-iris perih rasanya ketika mendengar cerita Bik Tata. “Saya juga pernah punya bayi, Pak ... Tidak tega rasanya kalau denger anak-anak nangis ... apalagi nangis dicubit-cubit ... Nico masih bayi, dia belum ngerti apa-apa ....” “Iya, Bik. Saya tidak akan bilang ibu, terima kasih Bibik sudah menyelamatkan Nico.” Bik Tata menyeka matanya. “Nico
Rio terperanjat, sementara Shara merasa bahwa dirinya sedang berada di atas angin.“Maaf, aku mulai tidak percaya sama kamu.” “Mas, aku serius! Aku akan ....”“Janji ini juga yang dulu kamu ucapkan ke aku saat memaksakan ide menikah lagi,” tukas Rio tidak sabar. “Kenyataannya apa? Kamu tetap saja bertindak semaunya sendiri, bahkan sampai hati menyakiti bayi yang tidak bersalah seperti Nico.”Shara memegang keningnya.“Ya wajarlah, Mas. Memang Nico itu cengeng banget, sedikit-sedikit nangis ....”“Nico itu masih bayi, Ra!”“Iya, aku tahu. Aku capek, besok kita bicara lagi.”Shara melenggang pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, meninggalkan Rio yang tidak puas dengan hasil pembicaraan mereka.Malam itu Shara sengaja tidak mempedulikan tangis Nico yang terbiasa bangun tengah malam untuk minum susu.“Ra, itu Nico nangis ....”“Urus saja sana, tinggal bikinkan susu apa susahnya sih?”Enggan ribut di tengah malam buta, Rio mengalah dan turun dari tempat tidur untuk mem
“Rio, kamu sedang apa?” “Ini ... aku sedang bicara sama Via, Bu. Soal perceraian kami ....” “Tidak, jangan dulu!” “Memangnya kenapa, Bu? Kasihan Via juga kalau terus terikat sama aku.” Slavia memilih diam dan terus mendengarkan keributan itu. “Tutup dulu teleponnya, nanti ibu jelaskan!” Tut! Tanpa peringatan apa-apa lebih dulu, Rio tiba-tiba saja memutus pembicaraan yang sedang berlangsung dengan Slavia. “Kak Rio aneh, itu tadi suara ibunya kan?” gumam Slavia bingung, entah apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas lagi-lagi proses perceraiannya dengan Rio terpaksa ditunda lagi. “Ada apa, Bu? Tadi aku sudah hampir talak Via padahal ....” Di rumah ibunya, Rio sedang mempertanyakan interupsi yang baru saja dia dapatkan. “Jangan, ibu setuju kalau kamu menunda perceraian kalian.” “Apa? Tapi aku sudah telanjur janji sama Shara, Bu. Kami ingin memperbaiki rumah tangga kami, dan Shara mengajukan syarat itu.” Ibu Rio menarik napas dalam-dalam, dia merasa bimbang dengan apa yang bar
“Cie, cie ....” Raras nyengir menyambut Slavia setelah kepulangan Ardan. “Jadi gimana nih, pasti dia ngajak jalan-jalan ya?”Slavia tersenyum rikuh.“Jangan dibahas, itu urusan pribadi Ardan.” “Kok main rahasia-rahasiaan sama aku sih, Vi? Ardan itu pasti lagi pedekate sama kamu, aku bisa lihat dari sorot matanya setiap kali dia menatap kamu.”Slavia menarik napas, dia tetap pada pendiriannya.“Aku belum bisa menjalin hubungan sama siapa pun, Ras.”“Lho, memangnya kenapa?”“Kamu percaya seandainya aku bilang kalau aku sudah menikah?”Raras terbelalak lebar mendengar pengakuan Slavia.“Ah, kamu ini. Kalau bercanda suka kelewatan, nggak masuk akal begitu ... Nggak lucu ah, Vi!”“Aku nggak bercanda, Ras! Aku itu ....”“Sudah deh, aku ngerti kalau kamu melakukan itu cuma buat menghindari Ardan karena ... mungkin saja kamu belum siap atau kamu nggak suka sama dia?”Slavia menggeleng, tapi tetap saja Raras tidak mempercayai pengakuannya itu.Enggan berdebat, Slavia lebih memili