Slavia mendekat ke mobil ambulan yang di dalamnya sudah terdapat satu korban yang terbaring tak berdaya. “Apa benar ini suami Ibu?” tanya salah satu petugas medis saat Slavia datang mendekat. Dengan hati berdebar, Slavia melongokkan wajahnya untuk melihat lebih dekat korban kecelakaan itu. Hatinya semakin tertekan saat mendapati bahwa sesosok tubuh yang sedang terbaring di depannya ini memang benar Rio. “Iya ...” ucap Slavia dengan suara bergetar hebat. “Dia suami saya.” Sebenarnya tanpa melihat dari dekat pun, Slavia sudah tahu bahwa itu adalah Rio dari pakaian yang dia kenakan. “Mas Gun, tolong kamu hubungi ayah dan ibu mertua.” Slavia menyuruh saat dia turun dari mobil ambulan dan bicara dengan Gunadi yang berdiri menunggunya. “Baik, kamu tenang saja.” Slavia berdiri menunggu dengan tegang sementara Gunadi menghubungi orang tua Rio. Saat mobil ambulan akan meluncur ke rumah sakit terdekat, Slavia memutuskan untuk ikut mendampingi suaminya. “Mas Gun, tolong nanti susul aku ke
“Ibu tahu, tapi kamu juga butuh istirahat.” Ibu mertua memeluk Slavia erat. “Rio sudah ditunggu sama Shara dan orang tuanya, besok saja kamu gantian sama mereka.” “Ibu kamu benar, Vi.” Ayah mertua menimpali dari tempat duduk depan. “Malam ini kamu harus istirahat di rumah, besok kita sama-sama ke rumah sakit untuk menengok Rio.” Slavia mengusap wajahnya sendiri dengan telapak tangannya. “Apa aku diusir pulang, Yah?” tanya Slavia curiga. “Tidak ada yang mengusir kamu,” jawab ayah Rio. “Kamu pingsan tadi, akhirnya semua sepakat untuk membawa kamu pulang ke rumah kami.” Slavia terdiam, meski demikian dia tidak yakin dengan jawaban ayah mertuanya. Semalaman itu Slavia sulit untuk memejamkan matanya, bayangan terakhir Rio saat membisikkan kata sayang itu berkali-kali melintas di pikirannya. ‘Aku sayang kamu.’ Kalimat itu terus terngiang di telinganya sampai Slavia terlelap tanpa sadar karena kelelahan. Esok paginya Slavia buru-buru mengirim pesan kepada Raras begitu dia bangun tidu
Dia menarik napas sesaat sebelum melangkah masuk untuk menengok Rio.Mengenakan baju khusus dan penutup kepala, Slavia melangkah masuk dengan hati-hati. Dilihatnya Rio terbaring diam seorang diri tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyadari kedatangan istrinya.Slavia mengambil tangan Rio dan menaruhnya di atas telapak tangannya sendiri, dipandanginya wajah pria rupawan yang telah resmi menikahinya dua tahun yang lalu.“Aku akan setia menunggu kamu sampai kamu bangun,” ucap Slavia sambil menempelkan tangan Rio ke pipinya. “Aku janji, setelah kamu sadar nanti ... saya akan menjalankan peran sebagai istri kedua yang baik, aku nggak akan peduli sama berita-berita negatif di luaran sana ... termasuk mereka yang menyudutkan saya ... saya janji.”Rio tidak merespons apa pun yang Slavia katakan kepadanya, meskipun demikian Slavia sudah bisa bernapas lega karena kakak madu mengizinkannya bertemu dengan sang suami.“Aku sayang kamu, Mas ...” ucap Slavia lagi sambil menyeka air mata yang me
“Mas Rio, tunggu!” seru Slavia seraya berlari mengejar. “Saya ini istrinya, tolong jangan halangi saya!” Pintu tertutup, sementara tiga orang bertampang preman langsung berdiri siaga menghadang langkah Shara. Kesal dan frustrasi, dia memutuskan lewat jalan lain untuk menghalangi kepergian Rio di halaman. Sementara itu Gunadi masih sibuk mencari-cari keberadaan Shara dan tidak sadar bahwa Slavia sudah meninggalkan tempat. “Selama Mas Rio nggak menceraikan aku, jangan harap aku bisa disingkirkan.” Slavia bergumam sambil menyeret kakinya dengan sekuat tenaga, tidak dipikirkannya rasa lelah yang kini mendera fisiknya. Slavia berhenti sebentar dengan terengah-engah. Kalau saja bukan demi Rio, dia tidak akan sanggup lagi berjalan menyusulnya. Setibanya di halaman, Slavia menyaksikan Rio sudah dimasukkan ke dalam ambulan yang sedari tadi menunggu. “Mas Rio!” panggil Slavia ketika pintu ambulan menutup sepenuhnya. “Jangan pergi!” Slavia seolah merasakan pukulan keras di perutnya saat di
"Kamu hamil, Vi?" seru Raras ketika dia tiba ke rumah orang tua Rio dan Slavia menunjukkan hasil tesnya. "Selamat ya? Kamu bisa menggunakan alasan ini untuk membatalkan perceraian kamu sama Pak Rio."Slavia tersenyum kecut mendengar usul sahabatnya."Ras, Mas Rio setuju untuk cerai sama aku." Dia menjelaskan. "Aku dengar sendiri di telepon, dia bilang ... kita bercerai.""Ya ampun!" Raras terkejut. "Tapi dia belum tahu soal ini kan?"Slavia menggelengkan kepalanya."Nah, cepat kamu kasih tahu Pak Rio sekarang!" desak Raras. "Dia pasti akan membatalkan perceraian kalian.""Nggak perlu," tolak Slavia muram. "Kalau dia memang cinta sama aku, dia nggak akan memerlukan alasan apa pun untuk kembali sama aku.""Tapi Vi, kamu nggak bermaksud ... menyembunyikan kehamilan kamu ini kan?" tanya Raras ragu. Slavia mengangkat bahunya."Kamu benar, mungkin aku akan menyembunyikan kehamilan aku." Dia membenarkan. "Jadi tolong jangan bilang siapa-siapa kalau aku hamil ya, Ras?"Raras tersenyum tidak
Untunglah benturan yang terjadi tidak terlalu keras.“Maaf!” kata Slavia dan orang itu bersamaan.Slavia mendongak dan terkejut saat melihat wajahnya.“Ardan?”“Via?” ucap Ardan tidak kalah terkejut.Slavia menghindari tatapannya dan segera berlalu pergi untuk menyembunyikan perut buncitnya. Andra merasa ada yang janggal dengan fisik Slavia, sehingga dia memutuskan untuk mengejarnya.“Vi, tunggu!” Ardan meraih lengan Slavia dan membuat langkahnya terhenti. “Kamu ...?”Slavia bisa merasakan saat mata Ardan menyisirnya dari bagian perut ke bawah dengan saksama.“Kenapa kamu sendirian?” tanya Ardan saat dia dan Slavia duduk di depan ruko sambil melihat pembangunan pusat perbelanjaan yang ada di seberang jalan. “Suami kamu mana?”“Begitulah,” jawab Slavia jujur.“Apa ada masalah, kamu nggak mungkin tinggal di sini sendirian kan.” Ardan mempertanyakan. “Kok Raras nggak cerita apa-apa sama aku ....”Slavia menarik napas.“Karena aku nggak mau mantan suami dan keluarganya tahu
Dengan penuh rasa terima kasih, Slavia menyambut kehadiran ibu itu dan taksi yang mereka tumpangi segera meluncur ke klinik. Ada suster sedang bertugas saat Slavia tiba di klinik, kebetulan beberapa bulan terakhir ini dia yang memeriksa kondisi kehamilannya. “Apa yang Ibu rasakan? Sudah mulas-mulas?” tanya suster begitu slavia dibaringkan di brankart. “Sakit,” jawab Slavia dengan wajah pucat. “Saya sudah keluar cairan merah, Sus.” Suster hapal betul jika dalam pemeriksaan kehamilannya yang terakhir, kondisi Slavia sangat siap untuk melahirkan normal. “Ibu sendirian?” tanya suster. “Suami ibu mana?” Slavia baru akan menjawab ketika dia merasakan seperti dentuman keras di perutnya. Rasa sakit merayap dari panggul ke bagian bawah. “Sakit, Sus ...” rintih Slavia dengan wajah bersimbah peluh. “Tenang ya Bu, tahan sebentar!” kata suster cepat-cepat. “Ibu akan segera dibawa ke kamar tindakan buat ...” Slavia tidak lagi mendengar apa saja yang suster ucapkan. Pikirannya teralihkan sep
“Ras, gimana?” tanya Ardan dengan wajah cemas. “Via akan segera dioperasi untuk melahirkan bayinya,” jawab Raras. “Kamu pulang saja dulu sama ibu ini, Ras. Operasinya mungkin akan berlangsung lama, dan kamu juga perlu istirahat.” Raras mengangguk setuju. “Aku pulang sama tetanggaku dulu, sekalian mandi.” Dia mengambil tasnya. “Aku titip Via ya, Dan. Kabari aku kalau ada apa-apa.” Ardan mengangguk. Raras bergegas pergi sambil mengajak tetangganya pulang ke rumah. Sepeninggal Raras, Ardan berjalan mondar-mandir di depan ruangan Slavia. Tidak ada yang dia pedulikan saat ini selain keselamatan Slavia dan bayinya. Di tempat lain, Rio sedang berada di tengah-tengah keluarga Shara yang berkumpul di ruang makan. Tidak ketinggalan si kecil Nico yang kini tumbuh semakin besar dan tampak sehat. “Mas, makanannya kok Cuma dilihat saja?” tegur Shara ketika menyaksikan Rio yang duduk terpaku di kursinya dan tidak segera menyantap makanan yang tersedia. “Iya,” sahut Rio pendek, dia sedikit t