"Apa mereka akan baik-baik saja?" Gavin masih merasa khawatir. Sejujurnya Henry dan Wella tidak yakin dengan situasi yang mungkin terjadi di kediaman Welbert, namun mereka tidak tahu harus berkata apa kepada Gavin. Orang yang diincar oleh kelompok dunia bawah adalah Gavin. Nyawanya lah yang dalam bahaya lebih besar. "Anda tidak perlu mengkhawatirkan Jenderal, dia pasti mampu mengatasinya. Sekarang yang penting Anda bisa segera masuk ke dalam istana dan mengambil alih kekuasaan." Henry berusaha meyakinkan Gavin. "Benar Tuan, setelah kamu menjadi seorang Raja di Albain, keadaan akan membaik seperti sediakala." Wella menimpali. Mereka kini berhasil memasuki pusat kota setelah melalui lorong pembuangan dan saluran air di bawah tanah. Wella membuka penutup lorong dan mengintip untuk memantau situasi. "Aman!" ujar Wella. Mereka bertiga memanjat keluar dari lorong pipa pembuangan, mereka tepat berada di sisi belakang jalan masuk istana. Mereka mengendap-endap dan memanjat
"Weni, sebaiknya kamu dan para pelayan sembunyi di dalam bungker. James akan menjaga kalian." Perintah Alice pada para pelayan. Dia sadar, pelatihan yang mereka lakukan hanya bisa untuk bertahan sesaat. Mereka tetap tidak bisa bersaing dengan kelompok dunia bawah. "Tapi, Nyonya.. kami bisa membantu." Weni bersikeras untuk tetap tinggal. "Ya, aku juga!" James menolak untuk bersembunyi. "James, Gavin memerlukan dukungan kalian kelak." Alice bersikeras menyuruh James bersembunyi. "Tuan juga memerlukan kamu!" James bersikeras. "Aku harus menghadapi orang-orang itu. Kita harus mengecoh mereka, agar Gavin punya banyak waktu dan peluang masuk ke istana. Ayolah, James, kita sudah sejauh ini. Jangan sia-siakan pengorbanan banyak orang. SEKARANG PERGILAH!" Alice memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. "Tapi, kamu.." James tidak bergeming. "Aku bisa menjaga diriku! PERGILAH!" Alice berteriak. "Baiklah!" James akhirnya menurut dan membawa para pelayan bersembunyi di bungker rahasia.
"Ngghhh.." Alice perlahan sadar. Matanya membuka perlahan, namun sedikit menyipit karena menyesuaikan dengan pencahayaan di dalam ruangan. "Bos? Kamu sudah sadar?" Jake kemudian menekan bel untuk memanggil dokter, di sisi tempat tidur Alice. "Di_mana_ aku_?" Alice sedikit bingung ketika dirinya tersadar di sebuah ruangan yang dominan berwarna serba putih, dengan aroma khas antiseptik. Tap tap tap Seorang dokter datang ke ruangan itu. "Kamu berada di rumah sakit. Aku akan menjelaskan nanti. Biar dokter memeriksamu terlebih dahulu." Jake kemudian menjauh dan memberikan ruang bagi dokter itu untuk memeriksa Alice. Dokter itu memeriksa mata, mulut, dan juga detak jantung Alice. Dia menekan telapak kaki Alice, anehnya tidak ada reaksi apapun. Wajah dokter terlihat serius, dia memeriksa kaki Alice sekali lagi. "Apa kamu tidak merasakan ketika aku mencubit di bagian ini?" Dokter mencubit jari-jari kaki Alice. Alice juga heran, dia tidak merasakan apapun pada kakinya. Bahk
"Kumohon jawab aku!” Suara itu bergetar, sekalipun terdengar keras. Ekspresi panik tampak jelas di wajah Alice saat melihat darah yang bercucuran di kepala saudara kembarnya. Tampak keadaan Elisa yang memprihatinkan. Seluruh wajahnya berlumuran darah karena hidung dan pelipisnya yang terluka. Beberapa saat lalu, Alice melihat sendiri mobil yang dikendarai adik kembarnya menabrak pembatas jalan tol dengan keras. “El–” Ucapan Alice terhenti saat ia melihat kelopak mata Elisa yang kini ada di dekapannya perlahan terbuka. “A-Alice ….” Suara Elisa nyaris tidak terdengar. Dengan lemah, wanita itu mengangkat tangannya yang berlumur darah untuk mengusap wajah Alice. “Maafkan aku … karena sudah merebut t-tempatmu ….” Usai mengatakan kalimat yang membuat Alice bingung tersebut, Elisa jatuh tidak sadarkan diri, meninggalkan Alice begitu saja. Beberapa saat yang lalu …. “Kamu sekarang sudah menikah?” Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Alice meninggalkan rumahnya untuk mengejar mimpi,
Alice Welbert.Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amar
Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil. Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya. "Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai. Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan. "Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya. Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini,
"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. Duk! Duk! Duk! Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. "Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar."Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura."Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung."Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan d
"Alice, pergilah kemakam keluarga. Kamu harus berlutut pada leluhur selama seharian,"perintah Laura tepat setelah terdengar mobil Gavin meninggalkan halaman rumah. "Kenapa aku harus berlutut? Memangnya apakesalahanku?""Tidak usahmembantah, ikuti saja perintah Mama kalau kamu tidak ingin mendapat hukumanlebih berat!" perintah Selena.Tanpa belas kasihan,Alice diseret ke sebuah area pemakaman leluhur yang ada di belakang resort itu.Makam leluhur terletak di kawasan perumahan keluarga Welbert dan paling dekatdengan rumah utama.Keluarga Welbert membuatresort perumahan khusus untuk ditinggali seluruh anggota keluarga Welbertdengan tanah seluas 10.000 hektar. Laura dan Selena pun tinggal di rumah milikmereka sendiri yang masih berada di salah satu resort milik keluarga Welbert.Hanya saja mereka sangatsenang mengganggu Alice. Sehingga hampir setiap hari mereka akan mengunjungirumah Gavin untuk mengerjainya."CEPAT KAMUBERLUTUT!" perintah Laura sambil memaksa Alice berlutut