"Aku memenangkan dua jenis mata lomba dari 3 mata lomba yang dipertandingkan, bukankah sudah dipastikan akulah pemenangnya?" Alice tersenyum penuh kemenangan pada Helen. "Tidak, kamu harus menyelesaikan ketiga persyaratan yang aku buat. Kamu harus memenangkan ketiga jenis mata lomba!" Helen menjawab sambil menyeringai licik. "Ya, Nona Alice. Secara teknis, kamu seharusnya didiskualifikasi pada mata lomba yang kedua. Kamu menggunakan anak panahmu untuk menggagalkan anak panah milik Helen berkali-kali." Kepala desa membela Helen. "Apa? Aku hanya tidak tega, jika harus membunuh banyak rusa kutub sekaligus hanya demi memenangkan sebuah pertandingan." Alice tahu bahwa mereka sengaja untuk membuat alasan agar menahan Gavin lebih lama ditempat ini. Alice menunduk sejenak dan berpikir, "Baiklah, kita akan melakukan pertandingan selanjutnya!" "Ya, kalau begitu beristirahatlah. Besok kita akan melakukan perburuan kita kembali." Helen melewati Alice dengan senyum lebar menghias wajahny
"Bos?!" Wella dan Henry berlari menghampiri Alice yang sepertinya terluka. Gavin menurunkan Alice dari gendongannya dan mendudukkannya perlahan di kursi. "Coba aku lihat?" Wella mendekat dan memeriksa pergelangan kaki Alice yang bengkak dan agak membiru. "Sepertinya hanya terkilir. Aku akan mengembalikan sendi yang tergeser. Tahan sedikit Bos." Wella menekan dan memijat kaki Alice. Kletek Sendi di kaki Alice berbunyi, wajah Alice sejenak meringis dan dahinya berkeringat. "Bagaimana Bos?" Wella menekan dengan pelan persendian Alice. "Ya, sepertinya sudah membaik," jawab Alice. "Berikan kotak obat darurat!" Wella meminta kotak darurat yang sering dibawa Henry dalam tas ranselnya. Wella membelitkan kain elastis di pergelangan kaki Alice dan telapaknya. "Sudah selesai, Bos! Tapi sepertinya kamu tidak bisa berjalan jauh untuk sementara waktu." Wella mengingatkan Alice, karena cederanya tidak ringan. "Tidak bisa, kita harus segera kembali. Perang masih berlangsung. S
"Hmmmhh, sudah pagi? Pukul berapa sekarang?" Alice bergumam sambil menutup matanya dengan tangan, karena sinar matahari yang masuk melewati jendela menyilaukan matanya. Tiba-tiba sebuah bayangan besar berdiri di hadapan Alice dan menghalangi sinar matahari yang menyilaukan mata Alice. Ketika Alice membuka matanya, seolah melihat malaikat yang mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Ketampanan Gavin menyilaukan seperti cahaya matahari. Alice tanpa sadar terpana sejenak melihat Gavin. Sudah berhari-hari dia mencarinya, sayang sekali ketika bertemu, Gavin menganggapnya orang asing karena kehilangan ingatan. "Selamat pagi," sapa Gavin. Alice sedikit salah tingkah, "Eh emm, ya. Selamat pagi!" Alice tidak ingat kalau kakinya sedang sakit, dia terburu-buru turun dari tempat tidur. Dan dia meringis setelah tiba-tiba merasakan nyeri ketika kakinya menopang tubuhnya, "Au! Ugh!" Alice menghela napas. Gavin menahan tangan Alice, "Kamu mau kemana?" "Aku mau bersiap-siap!" Alice mengangkat daguny
"Kakiku sudah membaik pagi ini, kamu tidak perlu menggendongku lagi." Alice turun dari tempat tidur dan berdiri dengan normal. "Lihat kan? Aku sudah sembuh!" Alice kemudian pergi ke kamar mandi sendiri mengabaikan Gavin yang sudah berdiri di dekatnya. 'Aku tidak boleh merepotkan dia lagi,' pikir Alice. Malam tadi sesampainya di penginapan desa perhentian berikutnya, Alice memperhatikan pada lengan dan kaki Gavin terdapat banyak lecet. Pasti karena gerakannya yang terbatas dan terus menerus menggendong Alice sepanjang jalan, jadi tangan dan kakinya terkena duri dan ranting di hutan. Alice tidak sengaja terbangun ditengah malam dan melihat Gavin memijat-mijat leher dan bahunya sendiri. Pasti dia pegal karena menahan Alice di punggungnya selama berjam-jam. Mereka paling tidak akan menempuh 2 hari perjalanan lagi. Jika terus-menerus menggendongnya, Gavin bisa mengalami cedera. Setelah mereka menghabiskan sarapannya, mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanannya kembali. "Apa
"Permisi Tuan, anda harus berhenti untuk pemeriksaan rutin." Beberapa polisi militer yang berjaga di depan kediaman Welbert memeriksa mobil-mobil mewah yang dipimpin James. "Ya, silahkan!" "Tuan, bisakah kamu keluar dari dalam mobil?Bukalah masker, topi dan juga kacamatamu." Polisi melihat seorang pria yang perawakannya persis seperti Gavin, dengan hoodie berwarna abu-abu. "Ah ya, maafkan aku. Aku sedang flu parah. Sebentar." Pria itu keluar dari dalam kursi penumpang belakang. Polisi militer melihat wajah pria itu setelah membuka masker, topi dan juga kacamatanya. Benar saja, wajahnya merah, hidung dan mata pria itu berair. "Hatttsyyyiii!" pria itu nyaris bersin di wajah polisi militer, sebelum mereka melihat wajahnya dengan jelas. "Maafkan aku, itulah sebabnya aku menggunakan masker, karena takut menular kepada yang lainnya." Polisi militer melihat satu persatu orang yang duduk di kursi penumpang mobil James. Mereka total berjumlah 4 orang. Ada seorang wanita hamil dudu
"Gavin, kita harus bersiap untuk mengambil alih kekuasaan di kerajaan. Mungkin kamu masih bingung dengan apa yang terjadi karena kamu hilang ingatan. Namun sungguh, kita tidak memiliki waktu lagi. Situasi semakin genting, di Yustan, korban jiwa sudah bergelimpangan. Kita tidak mungkin menunggu hingga kamu pulih sepenuhnya." Pagi ini, Alice menerima informasi dari Liam, bahwa Yustan sudah nyaris kalah. Jika Yustan jatuh ke tangan Albain, maka setelah ini Casia yang akan berperang. Peter Aldimor mengerahkan seluruh kekuatan tentara elit miliknya yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun. Hanya dalam waktu sebulan Albain sudah nyaris menguasai dua negara. Filepi mundur dan menyerah dengan cepat, mengingat bahwa Sang Ratu Albain adalah adik Raja Filepi. Sedangkan Yustan saat ini masih bertempur mati-matian melawan Albain. "Aku siap, kamu tinggal menginstruksikan apa yang harus aku lakukan," Gavin setuju. "Artinya kita sekarang harus menyusun strategi agar bisa menyusup ke istana
"Kumohon jawab aku!” Suara itu bergetar, sekalipun terdengar keras. Ekspresi panik tampak jelas di wajah Alice saat melihat darah yang bercucuran di kepala saudara kembarnya. Tampak keadaan Elisa yang memprihatinkan. Seluruh wajahnya berlumuran darah karena hidung dan pelipisnya yang terluka. Beberapa saat lalu, Alice melihat sendiri mobil yang dikendarai adik kembarnya menabrak pembatas jalan tol dengan keras. “El–” Ucapan Alice terhenti saat ia melihat kelopak mata Elisa yang kini ada di dekapannya perlahan terbuka. “A-Alice ….” Suara Elisa nyaris tidak terdengar. Dengan lemah, wanita itu mengangkat tangannya yang berlumur darah untuk mengusap wajah Alice. “Maafkan aku … karena sudah merebut t-tempatmu ….” Usai mengatakan kalimat yang membuat Alice bingung tersebut, Elisa jatuh tidak sadarkan diri, meninggalkan Alice begitu saja. Beberapa saat yang lalu …. “Kamu sekarang sudah menikah?” Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Alice meninggalkan rumahnya untuk mengejar mimpi,
Alice Welbert.Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amar