Menjelang makan siang, Senja dan Rendra sudah bertemu klien di sebuah restoran. "Terima kasih Pak Rendra, Bu Mila atas kerja samanya. Saya yakin perusahaan Wijaya ke depan akan semakin melesat progresnya," ucap klien bisnis Senja."Sama-sama Pak. Dukungan dari klien seperti Bapak merupakan hal terpenting untuk kemajuan perusahaan kami. Kalau begitu Bapak silakan dilanjutkan menikmati hidangan penutupnya. Minggu depan kita bahas rencana jangka pendek dulu.""Saya senang sekali berdiskusi dengan orang-orang pintar seperti Pak Tendra dna Bu Mila. Tapi maaf sebelumnya saya harus melanjutkan perjalanan untuk meeting berikutnya.""Tidak masalah. Sampai jumpa." Rendra menjabat tangan kliennya diikuti Senja. Keduanya menyilakan klien itu melanjutkan kegiatannya."Gimana, Om?" tanya Senja ingin kepastian akan keputusannya memilih klien tadi."Bismillah semoga segalanya lancar dan dimudahkan, Ja.""Amin, Om. Terima kasih.""Yang dua klien tadi sudah tidak masalah kan kita tolak?""Menurut Senja
"Astaghfirullah! Pak Adam, kenapa sih? Bikin jantungan tahu, nggak?""Ingat Senja, kamu istri saya." Ucapan tegas Adam membuat tubuh Senja merem4ng. Ditambah lagi sapuan napas beraroma mint menyapu wajah membuat Senja menahan napas."Saya tidak suka ada lelaki lain yang menyentuh milik saya," bisik Adam di telinga Senja."Ough. Sakit, Ja. Kamu mau kdrt?" pekik Adam saat Senja barusan menonjok lengannya. Jelas Adam tidak siap menerima tangkisan. "Syukurin. Salah sendiri siapa yang bikin saya jantungan," protes Senja.Adam yang awalnya mau serius tiba-tiba dibuyarkan oleh kekesalan Senja. Perempuan itu justru terlihat menggemaskan kalau lagi kesal."Iya-iya. Ingat Senja, di luar sana kita pasangan dan bukan tunanganmu itu yang jadi suamimu. Apa jadinya kalau kamu bermesr4an dengan laki-laki yang bukan suami kamu.""Siapa yang mesr4-mesr4an?" kilah Senja sambil menoleh ke arah Adam yang tengah menyetir."Tadi di restoran. Pakai alasan mau bersihkan bi...""Pak Adam lihat?""Iyalah?"Sen
"Baunya harum begini. Masak apa, ya?"Begitu sosok yang datang masuk rumah sampai dapur, netranya tak berhenti memandang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kedua tangan pun berkacak pinggang mengamati Senja yang memasak sambil berdendang dan sesekali menggoyangkan kepalanya. Begitu Senja berbalik badan hendak mengambil wadah matanya terbelalak."Aarghh!""Kamu ngapain, Ja?" tanya seorang perempuan paruh baya tak lain adalah mamanya. Alea baru saja datang bersama Irsyad."Mama ngagetin aja." Senja menarik napas panjang sembari mengusap dadanya."Astaghfirullah, Ja. Kamu masak apaan sih?""Masak ikan, Ma," jawab Senja sambil meringis."Pa, lihat anak kita. Senja udah pinter masak. Sayangnya ikan gorengnya gosong," ucap Alea seraya terkikik geli. Padahal dirinya sendiri belum tentu bisa masak."Mama nih muji apa menjatuhkan Senja sih," gerutunya. Sontak saja Irsyad tergelak. Ia menaruh dua paper bag ditangannya ke atas meja."Ambil piring besar dua, Ja!""Buat apa, Pa?""Udah ambil aj
Mentari menelisik melalui tirai jendela. Senja merasakan tidurnya amat sangat nyaman. Saat mata mulai mengerjap, ia merasakan sebuah beban berat men*ndih perutnya. Sebuah lengan kekar terlihat memel*knya."Aargh!" Reflek Senja menutup mulutnya. Ia menoleh ke belakang lalu membalik tubuhnya menjadi berhadapan. Ternyata Adam tidur ser4njang dengannya.Alih-alih mengusirnya, Senja justru tersenyum usil. Teringat akan perdebatan semalam sebelum tidur.Malam tadi, Senja sudah bersiap dengan baju piyamanya. Berjalan menuju r4njang sambil membawa bed cover."Eits, Pak Adam tidur di bawah. Saya yang di atas.""Nggak bisa. Ini kasur saya. Lagian besok saya rapat pagi-pagi. Kalau nggak bisa tidur, saya bisa kesiangan.""Saya yang bangunin. Pokoknya Pak Adam di bawah.""Ckkk. Ya udah sana tidur duluan. Saya mau nyiapin bahan rapat buat besok."Alhasil Senja tersenyum penuh kemenangan. Ia segera mengambil singgasana untuk memanjakn tubuhnya setelah menggelar bed cover untuk Adam."Awas ya kalau Pa
Seminggu berlalu, hubungan Senja dan Adam semakin menunjukkan kedekatan. Mereka berdua mulai tidur di kamar yang sama. Meski belum terjadi hal yang umum dilakukan suami istri, Adam tetap sabar menanti. Sebab kesibukan Senja membuat perempuan itu butuh istirahat saat sampai rumah."Minumlah secangkir coklat ini biar tidurmu nyenyak," ucap Adam dengan senyum tersungging. Alih-alih bahagia, Senja justru merasa sedikit bersalah. Adam selalu melayani kebutuhan makan dan minum dirinya. Ia segera bangun dari posisi tidur lalu duduk bersila di atas kasur. Adam pun duduk di sebelahnya."Maafkan saya, Pak A.""Sttt, kita sudah sepakat untuk lebih dekat, kan? Ingat panggilan yang sudah kita setujui.""Ah iya. Maaf Mas Adam," ralat Senja masih saja dengan wajah tersipu."Kamu juga tidak perlu meminta maaf. Selagi siapa yang luang harus saling mengingatkan. Kesehatan itu penting. Apalagi kalau ingin rumah ini ada tangisan anak kecil," ucap Adam sambil tersenyum menggoda. Sebuah kerlingan mata membu
"Mila! Kamila! Tunggu, Mil!" Andika berusaha menghentikan langkah cepat Senja. Ia menahan lengan perempuan yang nafasnya sudah kembang kempis itu. Di lorong apartemen hampir menggapai lift, Senja berhenti."Mau apa kamu?! Mengelak? Aku nggak b*ta, An."Senja saling berhadapan dan menatap tajam ke arah Andika yang sedikit bersalah. Namun, laki-laki itu segera mencari alibi."Kamu tinggal seatap dengan lelaki lain. Bagaimana denganku? Aku laki-laki normal. Jelas aku cemburu calon tunanganku bersama lelaki lain. Siapa yang menjamin dia tidak menyentuhmu, huh? Bib1r ini..." Andika mengulurkan tangannya dengan lancang. Namun, Senja segera menepis tangan itu. Tatapan nyalang masih mengarah pada lelaki yang pernah menjadi tunangannya itu."Ckkk. Jangan sentuh aku!" pekiknya."Pasti sudah ternod4 tangan lelaki itu." "Aku selalu menjaga apa yang berharga kelak untuk suamiku. Tapi apa yang kudapat? Kamu malah bersama perempuan lain berbagi kamar.""Selama ini kamu selalu menolak aku s3ntuh. A
"Mas, meetingnya dipercepat nggak bisa, ya?" Lagi, Senja menawar waktu luang suaminya. Perempuan yang menyandar di kursi kemudi itu memejamkan mata.Terdengar suara tangisan di seberang sana."Nggak bisa, Ja. Ini urgen.""Tapi ada suara tangisan. Mas di mana, sih?" tanya Senja sambil menegakkan tubuh. Pandangan mengedar ek arah resto hotel. Benar saja, Adam sudah masuk menemui perempuan yang sedang menenangkan bayinya."Mas di rumah makan. Itu suara bayi pengunjung. Sudah dulu, ya. Nanti kita sambung lagi malam. Umi abi datang ke rumah siang ini trus menginap di hotel. Jadi kamu nggak harus menginap di rumah Mama Alea.""Hmm." "Ja, kamu baik-baik saja, kan?""Hmm.""Senja.""Ya. Aku baik-baik saja."Senja tiba-tiba merasa mal4s menanggapi suaminya. Ia pun bergegas menutup panggilannya. Setitik cairan bening tanpa izin menetes membasahi pipi. Ia keluar dari mobil berniat memastikan siapa yang bersama suaminya. Melangkah pasti dan penuh hati-hati, akhirnya Senja bisa melihat dengan je
"Habis ini Mbak mau kemana?""Mbak istirahat di sini dulu, Lang. Kamu tolong bawa mobilnya pulang ke rumah.""Ke rumah Mbak?" tanya Galang ragu."Nggak. Nanti Mbak menyusul ke rumah Mama.""Mbak nggak pulang? Mbak sudah pamit Mas Adam?""Hmm, sudah." Senja menghela napas panjang lalu menghembuskannya kasar."Mbak ada masalah sama Mas Adam?" tanya Galang dengan raut wajah ragu."Biasa Lang, masalah kerjaan. Mbak mau diskusi sama Pak Adam tapi belum ada kesempatan. Nanti lah Mbak coba hubungi kolega lain dulu.""Ya, Mbak. Kalau ada apa-apa aku siap bantu.""Makasih, Lang. Kamu memang adik yang bisa diandalkan." Senja memeluk adiknya sembarangan. Reflek ia mengaduh karena bahunya tersenggol Galang."Ough.""Mbak!""Nggak apa-apa. Nanti Mbak minta tolong Papa obati kalau sudah sampai rumah.""Yakin nggak mau pulang bareng?" "Nanti saja, Mbak menyusul.""Kalau gitu berobat ke klinim dekat sini saja. Nanti keburu nyeri kalau nunggu pulang.""Ya, nanti Mbak ke klinik."Galang akhirnya mengal