Aku langsung berlari dan mengabaikan bentakan itu.
BRAKK!
“IBU! Ibu kenapa?”
Sosok yang terbaring dan membelakangiku langsung mengangkat tempurung kepalanya yang merebah di atas bantal.
“Hhh…. Man? Kamu, tidak apa-apa?” Wajahnya terlihat amat pucat dengan bibir yang berwarna seperti tanah.
Lekas-lekas aku menghampirinya dan duduk di samping ranjangnya.
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang saja. Semua aman.”
“Ayahmu--”
“Alah, orang itu lebay. Kan Lukman barusan bilang, Bu. Lukman baik-baik saja. Ibu jangan terlalu khawatir. Lukman sudah
Biji mataku langsung bergerak cepat sesaat untuk mencari rencana yang lainnya.“Gua harus mencari tahu dulu nih, itu genset butuh waktu berapa lama akan menyala otomatis setelah aliran listrik utamanya dipadamkan,” gumamku.Lalu, setelah mengumbar senyuman saat menerima uang kembalianku, pikiran yang lain pun lekas-lekas mengusulkan gambaran umum rencana alternatif lainnya.“Radit! Ke tempatnya dulu, terus, kontak Brian,” bisik benakku lagi.Aku kemudian mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pramusaji itu, sambil mengamat-ngamati lagi setiap sudut cafe itu.Tak berselang lama, setelah berhasil melangkah kira-kira dua puluh meter, aku pun menemukan kalau sisi lain cafe yang menjadi ujung dan bertemu de
Radit dengan spontannya melompat dan memeluk tubuhku. Dekapannya benar-benar kuat, sampai-sampai aku dibuat sesak. “Eh..” Mataku langsung menangkap dua ekor kucing yang dengan liarnya tengah berlari dan menabrak kakinya, juga menabrak satu kaleng tempat sampah hingga isinya berantakan bersama suaranya yang gaduh. “Ma--Maaf, Mas,” kikuknya sambil melerai pelukan kedua lengannya dari tubuhku. Ku tatap terus wajah yang semakin malu dan gugup itu. “Tidak apa-apa kok.” “Elu.. eh… kamu… Aduh, ribet gua. Kita, elu gua aja ya. Nggak biasa gua kaku begitu." "Terserah Masnya."
Sisa malam yang semakin kelam itu segera kuhabiskan di jalanan. Sampai pada akhirnya, satu kumis tebal yang setia menjaga pagar kediamanan rumah sahabat sejatiku, bersedia mempersilahkan aku untuk singgah ke pelataran parkirannya lagi. “Malam sekali, Den.” “Iya, Mang. Urusannya baru selesai,” lanjutku sambil meluruskan pijakan standar motor besar itu. “Brian dimana, Mang?” “Ada tuh. Tadi sih di kolam renang.” “Malam-malam berenang?” “Bukan, bakar sate?” “Sate?” “Ituuu… yang bakar daging gede-gede.” “Barbeque!”
Daguku tersentak dengan kaki yang ikutan menolak hingga tubuhku terdorong menjauhi ibu.“Apa?”“Sekolah. Kamu dengar kata ibu, kan?” bibirnya kembali mengatup namun dua matanya masih terus menusuk ke dalam pandanganku.“Man!”Segera ibu menggerak-gerakkan telapak tangannya di tengah-tengah tatapannya. Ia seraya memastikan kalau aku, masih tidak gila atau terhasut bisikan setan yang kesiangan.Dia sempat terperangah saat aku tidak memberikan respon sama sekali. Namun setelah ibu berhasil menyimpulkan kalau aku masih waras, ia pun bernapas dengan lega.“Buruan mandi! Ikut ayah ke sekolah!”
“Anj*ng!” umpatku seketika dengan wajah yang semringah. Tapi tidak dengan sosok jelita yang berdiri di sampingku. Begitu aku selesai mengucapkan kata tadi, sontak aku tersadar akan kehadirannya. Manik mataku langsung melirik ke parasnya yang ternyata berubah jijik sekaligus sewot. “Ma--maaf, Bu.” “Oke. Ini kelas kamu,” ucapnya tegas. “Jaga sikap ya,” imbuhnya dengan ekspresi yang masih sama. “Oke. Guys. Ini teman kalian ya, Guru kalian kemana?” “Mudik, Bu!” “Kawin lari, Bu!” “Mati!” “SIAPA
“HEH!”Kepanikanku tiba-tiba muncul dan menjalar secepat kilat hingga aku kehilangan konsentrasinya sesaat.“Shit! Apaan?” lontar bibirku kala merasakan sakitnya tendangan kecil di jendolan mata kaki.“Itu Denise nanya. Elo, nanti pulang naik apaan?”“Apa ajalah. Yang penting sampe.”“Bareng gua aja ya. Sekalian kita obrolin rencana kita.”“WEITS…. Maksudnya apa nih? Ada rencana-rencanaan. Elu bedua punya rencana apa? Kok kita berdua nggak di ajak?” potong Frans. Dia dengan kecewa melepas sendoknya hingga terjatuh di atas piring dan menimbulkan denting kaca yang nyaring.
Kami semua saling bertatapan, terkecuali Denise yang masih membuang pandangannya ke arah yang sama. Tapi tak lama, ia pun melirik dan memalingkan manik indahnya ke lingkaran kami. “Kenapa? Ada yang salah sama gue?” “Bini lu lagi kesambet setan judes ya, Bro.” “Berisik lu!” Dengan kesalnya Brian menempeleng kepala Frans. Korban penyiksaan itu pun akhirnya bergumam sendirian. “Jadi gimana strateginya?” “Aih….” Jonathan langsung melihatku dengan amat antusias. Senyum petualangannya seraya bangkit dan menggebu-gebu menanti penjelasanku. “Oke, gini gua jelasin.” Kusimak lagi semua pasang mata yang menatapku tajam, terkecuali Denise,
Apaan sih!” risiku yang menatapnya sewot sejenak. Brian langsung menyibukkan dirinya sendiri. Tanpa memedulikan Jo serta Frans yang sedang bersenda gurau membicarakan gadis seksi di ujung lain, jarinya dengan cekatan menggeser dan menekan layar gawainya beberapa kali. “BANGSAAAT!” Ketiga orang selain aku sontak terkaget. “Yang? Kenapa? Kesambet?” “Ini kunyuk ulang tahun. Anjiir... gua lupa!” Lekas-lekas dia menepuk punggung dengan keras. Rautku yang pura-pura polos pun langsung menatap sohib konyolku itu. Lalu, dua maniknya segera berpindah ke muka Frans dan Jo yang menahan senyuman mencurigakan. “Kenapa lu berdua senyum-senyum