Rani menunggu Rendi hingga tengah malam. Karena kelelahan, gadis itu tertidur di samping Rendi. Perlahan Rendi membuka matanya, pandangannya terasa buram, setelah beberapa saat pandangannya mulai terang. Dilihatnya siapa yang kini berada disampingnya. Rani tertidur sambil menggenggam tangan Rendi. Rendi tersenyum hangat melihat gadis itu. Dia merasakan ketulusan Rani, cinta yang besar dari gadis itu. Tangannya membelai lembut wajah Rani. Sentuhan tangan Rendi membuat gadis itu menggeliat. Dengan setengah sadar dia membuka matanya, dan membulat sempurna ketika melihat Rendi tengah memandangnya. "Mas, Mas Rendi ... kamu udah sadar, Mas?" ucap Rani masih tak percaya. Rendi tersenyum menanggapi ucapan Rani. Lantas gadis itu memeluk erat Rendi yang masih terbaring lemah. "Mas, aku khawatir banget sama kamu, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu," ucap Rani tak dapat menahan tangis. Rendi membelai rambut hitam legam milik Rani,"B
Bu Sukma, Pak Jaka, dan Irda bersiap-siap pergi menjenguk Rendi. Mereka membawa baju ganti dan makanan untuk Bu Ida dan anaknya karena masih belum diperbolehkan dokter untuk pulang. "Mas, kamu berangkat kerja jam berapa? Ini aku udah mau pergi sama Bapak dan Ibu," tanya Irda pada suaminya, Anton. "Ini udah mau berangkat, Dek. Bekal makan siangku udah kamu siapkan?" tanya Anton. "Udah itu tinggal ambil di meja makan," sahut Irda. "Yaudah, aku berangkat dulu, Dek," ucap Anton. Seperginya Anton, Bu Sukma dan keluarganya juga pergi ke rumah sakit. Sedangkan Ikhsan sudah berangkat kerja dari tadi pagi sekalian mampir ngopi di warung. Tinggal Amanda yang masih tidur di kamar. Perempuan itu memang terbiasa bangun siang. Dia tak mau bersusah payah masak dan membersihkan rumah. Mengetahui istri dan mertuanya telah pergi, Anton kembali lagi ke rumah. Lelaki itu sudah punya rencana licik di kepalanya. Sudah lama dia tergoda akan ke
Di kediamannya, Arya tersenyum sendiri memandangi ponsel. Tanpa sepengetahuan Naila, pria itu berhasil mengambil foto dirinya. Bu Hera merasa heran dengan sikap putranya itu. Dia mendekati Arya, tapi anaknya itu belum menyadari kedatangan Mamanya. Dilihatnya sumber yang membuat putranya tersenyum sendiri. Bu Hera tersenyum melihatnya. "Cantik!" Bu Hera mengatakannya ketika melihat foto Naila. Arya kaget dan ponsel ditangannya nyaris terlepas. Beruntung dia dapat menangkapnya kembali. "Mama, selalu ngagetin aja," ucap Arya malu-malu. "Jadi kapan kamu membawa Naila ke sini?" tanya Bu Hera penasaran. "Nanti, Ma. Aku belum menyatakan perasaanku padanya." jawab Arya masih malu-malu. "Maksud Mama bukan itu. Kapan kamu membawa Naila ke sini untuk membicarakan pengambilan foto," ujar Bu Hera santai. "Oh, itu!" Arya tertawa dengan kesalahpahamannya, wajahnya merah menahan malu. "Beberapa hari ini Naila masih sibuk, na
"Nai, aku dengar kamu akan menikah dengan Arya? Benarkah itu?" tanya Ikhsan dengan tatapan tajam. "Iya benar. Naila memang akan menikah denganku," sahut Arya yang tiba-tiba muncul diantara mereka. Ikhsan dan Naila menoleh ke asal suara itu. Arya telah berdiri di belakang mereka. Ikhsan yang merasa urusannya dicampuri, memasang wajah penuh amarah. "Siapa kau hingga berani mencampuri urusan kami," geram Ikhsan. "Aku jelas calon suaminya dan kau sekarang bukan siapa-siapanya Naila." jawab Arya santai. "Diantara kami masih ada urusan yang belum selesei, jadi aku minta kau pergi dari hadapan kami sekarang juga," gertak Ikhsan. "Sebagai calon suami Naila, aku bertanggungjawab penuh terhadapnya. Katakan semuanya di depanku," tegas Arya. "Arya, aku mohon berikan kami kesempatan untuk berbicara, sebentar saja," ucap Naila memohon. Naila tak ingin situasi semakin runyam, dia akan memberi kesempatan Ikhsan agar pria itu segara pergi.
Renata menemui Sekar di kediamannya. Wanita itu ingin mendekati Arya kembali setelah mengkhianatinya dengan teman kampusnya dulu. Renata baru tahu jika Arya berasal dari keluarga berada. Dulu dia berpikir jika Arya kerja keras karena memang dari keluarga tak mampu. Padahal lelaki itu ingin membahagiakannya dengan jerih payahnya sendiri. "Mbak Sekar, hingga kini aku masih belum bisa melupakan Arya. Itulah kenapa hingga kini aku belum menikah," Renata memulai pembicaraan. "Sabar, Ren. Nanti jika ada waktu, Mbak akan membujuk Arya. Dulu dia sangat mencintaimu. Pasti sampai sekarang dia masih menyimpan perasaannya itu," sahut Sekar yakin. "Mama Hera juga sangat membenciku, Mbak." ujar Renata sedih. "Pelan-pelan kita akan meyakinkannya lagi, Ren. Yang penting kamu harus sabar menunggu Arya," ucap Sekar memberikan semangat. "Aku ingin bertemu dengan Arya lagi, Mbak. Ingin menghabiskan waktu berdua seperti dulu. Aku ingin dia mengingat kenanga
Naila tersentak dengan ucapan Arya. Dia tak mengira jika pria itu menanyakan tentang perasaannya. Wanita itu merasa nyaman jika di dekat Arya, namun dia tak berani berharap lebih. Naila takut terluka lagi, dia masih belum mempunyai rasa percaya diri untuk menjalin hubungan baru. Meskipun disadari atau tidak, ada Arya di hatinya. "Kenapa diam, Nai? Ah, lupakan saja." Arya berkata dengan senyum manisnya. Naila terdiam masih bingung dengan perasaannya sendiri. Dia tak mau jika pria di sampinya itu kecewa. Mobil yang dikemudikan Arya, memasuki kawasan perumahan elit. Setelah beberapa blok, akhirnya mobil Arya berhenti di depan rumah berlantai dua. "Ayo, Nai. Dingin banget tangan kamu," ucap Arya setelah menggandeng tangan Naila. "Eh iya, gak apa-apa. Gak tau kenapa aku rada grogi aja. Padahal ketemu Bu Hera tempo hari juga biasa aja." sahut Naila. "Tenang, Nai. Kakakku udah jinak." Arya menjawab sembari tertawa lebar. Kedua ins
Naila masih hanyut dalam pikirannya, dia bingung harus menjawab apa kepada Arya. Sedangkan di sini ada dua orang yang yang terus menatapnya nyalang. "Bagaimana, Nai? Apa kamu menerimaku?" tanya Arya penuh harap. "Hentikan Arya! Mbak ngundang kamu ke sini bukan untuk menyaksikan drama percintaanmu. Apa kau tak bisa menghargai Renata sedikit pun?" Sekar marah dengan sikap spontan Arya. "Bagaimana bisa kamu memintaku untuk menghargai perempuan seperti dia, Mbak. Tak tahukah kamu bagaimana dia telah menyakitiku dengan begitu dalam?" sahut Arya. Arya menarik nafas panjang, dia tak mau berada di tempat itu terlalu lama. Dilihatnya Naila yang masih terpaku dengan mata sayunya. "Ayo kita pergi dari sini, Nai!" Arya menggandeng tangan Naila untuk pergi dari tempat itu. Naila dan Arya melangkah tanpa memandang ke belakang lagi. Baru beberapa langkah mereka berjalan, terdengar Sekar memanggilnya. "Tunggu Arya, sampai kapanpun Mbak gak akan setuju kamu berhubungan dengan wanita ini," Sekar
"Iya, Ma. Dan karena itu pula aku terpaksa mengungkapkan perasaanku kepada Naila di depan mereka. Sebenarnya aku ingin mengatakannya di saat yang tepat. Namun, untuk membungkam Mbak Sekar dan Renata aku melakukannya lebih cepat." jelas Arya. "Wow, Mama kagum dengan caramu, Arya. Disaat yang lain ingin melukai, kamu mengobatinya." ucap Bu Hera sumringah. "Jadi sekarang kalian sepasang kekasih?" tanya Bu Hera. "Iya, Ma. Bagaimana Mama bisa tahu jika Naila menerimaku?" tanya Arya penasaran. "Dari ekspresi wajahmu," sahut Bu Hera dengan senyum hangatnya. "Sepertinya malam ini aku tak bisa tidur, Ma." lirih Arya seraya membaringkan kepalanya di pangkuan Sang Mama.**** Hari ini rencana pemotretan Naila dan Arya untuk butik Bu Hera. Mereka mengambil foto di sebuah villa milik keluarga Arya yang berada di daerah pegunungan. Sesi pemotretan diambil dari segala sudut pandang. Baju yang digunakan pun berganti-ganti sesuai tema. Dengan b