"Mas ..." Suara Hana lirih terdengar di jam dua belas tengah malam.
Hana memegangi perutnya yang mulas. Saat ini usia kandungan Hana sudah cukup bulan. Adam yang saat itu baru hendak tidur, hanya bisa menghibur istrinya.
"Mas, sakit! Aku gak kuat, Mas! Ayo kita ke bidan yang dekat dari sini saja," ucap Hana sembari terus meringis kesakitan.
"Kamu tunggu di rumah aja dulu. Biar Mas ke sana dulu dan lihat ada enggaknya ibu bidannya, ya."
Hana mengangguk karena sungguh rasa sakit itu kini semakin sering dia rasakan. Sehingga untuk membuka mulut pun tidak sanggup.
Adam mengeluarkan motor dari rumah yang sudah mereka tempati kurang lebih satu tahun itu. Walaupun kecil, tapi rumah itu sudah rumah sendiri dan hanya ditinggali oleh mereka berdua.
Tak sampai lima menit, Adam kembali lagi ke rumah. "Gak ada orangnya. Kamu sabar aja, nanti kalau sudah pagi, kita ke sana," ucap Adam dengan entengnya.
"Mas ... Aku mau minum." Hana merasakan haus yang teramat seperti orang yang habis berlari maraton.
Dengan lemah, Hana meminta air kepada suaminya. Adam dengan sigap langsung mengambilkan air minum, walaupun dia sudah sangat mengantuk karena baru selesai menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda.
Kontraksi yang Hana rasakan semakin menjadi-jadi. Setiap lima menit sekali, rasa sakit itu datang lagi.
"Mas ... Aku gak kuat! Antar aku ke bidan sekarang, Mas!" rengek Hana kepada Adam yang tertidur di sampingnya.
Jarum jam sudah berada di angka empat pagi. Dan sepanjang malam itu, Hana merasakan kontraksi seorang diri karena suaminya tertidur. Hana tak ingin membangunkan suaminya karena tahu kalau Adam juga capek.
Tapi saat menjelang subuh, rasa sakitnya sudah tidak tertahankan dan terpaksa Hana membangunkan Adam, suaminya.
Kali ini Adam menuruti permintaan Hana karena tak tega juga melihat istrinya kesakitan. Hanya membawa buku KMS dan sebuah dompet, berangkatlah mereka berdua ke bidan yang hanya berjarak satu gang dari rumahnya yang sekarang.
Saat sampai di sana, terlihat satu perempuan berjilbab tengah menyapu tempat yang biasa digunakan oleh bidan praktek. Melihat kedatangan Adam dan Hana, perempuan itu mempersilahkan keduanya untuk masuk.
"Keluhannya apa, Bu?" tanya perempuan yang bisa dipastikan perawat di klinik bidan itu.
"Perut saya mulas dan sakit sejak tadi, Mbak. Aduh ... sakit!" Saat menjawab pertanyaan perawat, Hana merasakan kontraksi lagi.
"Baik, Bu. Silahkan berbaring di sana, ya, biar saya periksa terlebih dahulu."
Dituntun oleh Adam, Hana berjalan menuju kasur. Perlahan, dia berbaring di sana. Perawat yang Hana tidak tahu namanya itu lalu menyuruh Hana untuk mengangkat kedua kakinya.
"Ini sudah pembukaan delapan, Ibu!" seru perawat itu.
"Apa?" Hana sedikit terkejut karena sebelumnya tidak menyangka akan melahirkan hari itu.
Dua hari yang lalu, Hana baru saja periksa di dokter tempat biasa dia periksa. Dan dokter juga menyarankan untuk tidak dilahirkan dalam waktu dekat. Manusia hanya bisa memprediksi, tapi Allah-lah yang menentukan semuanya.
Sejak awal kehamilan, Adam dan Hana sepakat untuk tidak ingin tahu jenis kelamin anak mereka. Biarkan itu menjadi kejutan di hari kelahiran anaknya nanti.
"Nanti kalau sakitnya datang lagi, coba ambil nafas yang dalam, ya, Ibu. Dan jangan mengejan kalau belum pembukaan sepuluh karena nanti bisa berakibat robeknya jalan lahir," terang perawat berkacamata itu. Hana hanya mengangguk saja karena banyak teman-temannya yang juga menyarankan hal seperti itu, jadi Hana sudah tahu.
Adam saat itu pulang kembali untuk mengambil baju yang sudah disiapkan di tas sejak jauh-jauh hari. Karena jaraknya dekat, Adam tidak begitu khawatir meninggalkan Hana sebentar.
Selang sepuluh menit kemudian, Hana berteriak. "Mbak, aku gak kuat, Mbak! Gimana ini? Kok aku pengen ngeden, ya?" rintihnya.
"Sabar, Bu, jangan dulu! Tarik nafas dan buang secara perlahan, Ibu."
Hana mengikuti arahan dari perawat itu walaupun sebenarnya sangat sulit. Adam masih senantiasa mendampinginya di ruangan itu.
Perawat perempuan tadi segera memanggil bidan dan menyiapkan persiapan untuk persalinan. Dua kali Hana mengejan, dia hampir menyerah.
"Lagi, Bu! Kepala adiknya sudah keluar," seru Ibu bidan.
"Ayo, Sayang! Anak kita sudah kelihatan kepalanya. Semangat, Sayang!" Adam meremas kencang tangan Hana dan juga mengelus rambut Hana sebagai penyemangat untuk istrinya itu.
"Owek! Owek! Owek!" Tangis suara bayi terdengar memenuhi ruang bersalin yang ukurannya tidak terlalu besar itu.
"Alhamdulillah, Ya Allah," batin Hana lega.
"Alhamdulillah ... terima kasih, Sayang!" Cup! Sebuah ciuman di kening diberikan oleh Adam untuk Hana.
"Anak kita cantik sepertimu," sambung Adam lagi.
"Anak kita perempuan, Mas?" tanya Hana yang dijawab anggukan oleh Adam.
"Alhamdulillah. Tapi —"
"Sstttt! Gak usah membahas hal yang bisa membuat kebahagiaan kita rusak, ya, Sayang." Adam memotong perkataan Hana. Hana pun mengangguk pelan sambil menahan air matanya.
Adam dipanggil oleh bidan untuk mengadzani anaknya yang baru lahir. Sementara Hana, dia tengah dilakukan tindakan mengeluarkan ari-ari dalam perutnya.
Setelah ari-ari dalam perutnya keluar, Hana langsung dijahit jalan lahirnya. Beruntung tidak ada robekan yang lebar pada Hana, jadi dia cukup dijahit dua saja.
"Ini, Bu, bayinya! Silahkan disusui, ya," ujar perawat sambil membawa bayi perempuan mungil itu pada Hana.
Perawat dan bidan membantu Hana saat baru pertama kali menyusui. ASI Hana saat itu belum keluar, tapi dia tidak berkecil hati karena support suami, bidan dan perawat di sana sangatlah baik.
"Mas mau telepon Ayah dan Ibu dulu, ya, Sayang. Kamu di sini dulu," kata Adam.
"Iya, Mas."
Adam keluar dari ruangan yang digunakan Hana setelah persalinan. Dia menekan nomer ibunya.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, Dam. Ada apa, Dam?" tanya Ibu Laila.
"Alhamdulillah Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami sehat dan Hana juga sehat," sahut Adam dengan nada yang gembira.
"Alhamdulillah, Ya Allah! Yah ... Ayah ... Hana sudah melahirkan, Yah!" teriak Ibu Laila memberitahukan berita baik itu pada Ayah Adam yang bernama Guntur.
Ibu Laila tentu saja sangat antusias dan gembira menyambut kelahiran cucu yang sudah dinantikannya. Pasalnya, Adam adalah anak tunggal.
"Apa, sih, Bu, teriak-teriak?!" cebik Pak Guntur dari dalam kamar.
"Hana sudah melahirkan, Yah. Keduanya sehat semua," jawab Ibu Hana yang bisa jelas terdengar oleh Adam.
"Pak! Pak! Istri Anda pendarahan hebat. Ayo kita bawa ke rumah sakit!" seru perawat yang lari keluar menyusul Adam.
Adam yang saat itu masih menelepon kelihatan panik.
"Ada apa, Dam?" tanya Ibu Laila yang juga mendengar teriakan dari perawat itu.
"Dam! Adam ... Kamu dengar Ibu, kan, Nak?"
Ibu Laila tidak tahu jika saat itu Adam lari membopong Hana masuk ke dalam mobil pribadi bidan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Adam sudah tak ingat lagi jika ia masih tersambung di telepon dengan ibunya. Saat ini dia fokus pada Hana. Sementara bayinya masih dia titipkan di klinik sang bidan."Bu, titip anak saya selama saya masih mengurus istri saya. Nanti saya telepon Ibu saya biar mengambil anak saya," ucap Adam pada Ibu Bidan."Tenang saja, Pak. Anak Bapak akan aman bersama kami. Semoga istri Bapak tidak ada masalah yang serius," jawab Ibu Bidan. Tak lupa pula Beliau mendoakan yang terbaik untuk pasiennya itu."Kalau begitu saya tinggal gak apa-apa, ya, Pak." Bidan itu pun pamit untuk kembali ke kliniknya karena juga punya tanggung jawab pada bayi yang masih merah itu.Sebelum Bidan pulang, Adam meminta nomor telepon Ibu Bidan agar lebih mudah dalam berkomunikasi. Hana masih ditangani oleh dokter di dalam. Adam pun berencana menelepon kembali ibunya karena tadi terputus.Baru saja Adam hendak menelpon ibunya, seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan yang digunakan untuk menindak Hana."Suami dari pasi
Adam mendekap istrinya dalam pelukan. Tentu saja dia tahu isi hati Hana setelah dia mengatakan uang sebenarnya. "Mas akan tetap mencintaimu apa adanya, Sayang. Kita akan besarkan anak kita satu-satunya bersama, ya? Kamu harus semangat agar cepat sembuh dan bisa pulang dari sini. Kamu sudah kangen, kan, sama malaikat kecil kita?" kata Adam pelan. Hana mengangguk pelan.Air matanya mengalir begitu saja ketika berada di pelukan Adam. Jika bukan karena Adam, Hana mungkin tidak akan sekuat itu. Cinta Adam mampu membuatnya menjadi kuat.Setiap hari, Adam mengajak video call Ibu Laila. Tak sehari pun dia lewatkan karena rasa kangen pada anak yang belum sempat dia gendong itu."Anak Ayah lagi apa? Doakan Ibu, ya, semoga cepat pulang dan gendong kamu," ucap Adam sambil mengarahkan kameranya kepada Hana.Hana tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir begitu deras ketika melihat anak perempuannya itu. Lima hari berlalu. Hana sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja hal itu disam
Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah. "Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih. Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah. "Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan. "Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana. "Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar. "Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya."Iya, Mas." Dengan mata yang sembab, Hana menuntun
"Ayah ... Adam mau bicara," kata Adam masih dengan nada sopan. Selama hidup, Adam belum pernah bicara kasar pada kedua orang tuanya dan itu sangat dihindari oleh Adam. Adam tahu karakter ayahnya seperti apa. Jika batu dilawan dengan batu, yang ada akan terjadi perpecahan. Pak Guntur duduk di ruang tamu dengan masih menahan amarah. Sedangkan Ibu Laila, Beliau ikut duduk bersama anak dan suaminya di sana. Ketakutan yang dirasakan Ibu Laila akhirnya terjadi juga. Awalnya Pak Guntur antusias saat diajak Ibu Laila mengambil cucunya di klinik bidan. Tapi, semuanya berubah ketika Beliau tahu jika cucunya perempuan bukan laki-laki."Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Tidakkah ada rasa kasihan melihat menantu Ayah yang baru saja melahirkan dan operasi? Belum cukupkah cobaan Hana dengan kehilangan rahim? Bagaimana hati Hana jika Adam menikah lagi hanya untuk memuaskan keinginan Ayah memiliki cucu laki-laki, Yah?" Panjang lebar Adam berkata-kata. "Iya, Yah. Laki-laki atau perempuan itu sa
Pak Guntur mendengar percakapan Adam dan juga Ibu Laila. "Kesempatan untukku bisa membuat mantu tak tahu diri itu mengerti posisinya di sini!" gumam Pak Guntur. Setelah Adam pergi, Pak Guntur lantas menunggu istrinya keluar dari kamar Hana. Benar saja, tak lama kemudian, Ibu Laila keluar dari kamar Hana dan pergi ke kamar mandi.Sudah menjadi kebiasaan jika Ibu Laila ke kamar mandi, Beliau bisa menghabiskan waktu setengah jam atau bahkan lebih. "Bagus! Waktu yang tepat untukku beraksi. Kamu kira Ayah akan menyerah begitu saja, Hana? Ayah akan tetap memaksa Adam menikah lagi, walaupun harus mengancamku," tekad Pak Guntur.Sebelum masuk ke kamar Hana, Pak Guntur memastikan jika istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Beliau dengan langkah mantap berjalan ke arah kamar Hana."Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan cucunya terdengar dari luar kamar. Kebetulan pintu kamar Hana tidak tertutup. Pak Guntur langsung masuk begitu saja dan mendapati Hana tengah menenangkan bayi
"Yah ... kenapa, sih, Ayah nekat seperti ini? Apa mau, Ayah? Istighfar, Yah!" kata Ibu Laila mengingatkan."Tahu apa kamu, Bu? Sudah, kamu diam saja!" seru Pak Guntur."Tunggu di sini sebentar, Pak! Saya mau panggil anak saya terlebih dahulu," kata Pak Guntur kepada dua orang laki-laki itu. Tak lupa, Pak Guntur mempersilahkan ketiganya untuk duduk.Senyum kedua laki-laki itu terasa sangat aneh bagi Ibu Laila. Berbanding terbalik dengan kedua laki-laki itu, perempuan yang disebut akan dinikahkan dengan Adam itu hanya menunduk. Tak sedikitpun dia berani menatap ke depan.Sementara ketiganya menunggu, Ibu Laila mengekor dibelakang suaminya. Ternyata Adam dan Hana sudah bangun dan keduanya tengah berada di kamar Ibu Laila mengambil Kanaya."Ada apa, Yah?" tanya Adam yang melihat ayahnya menghampirinya dengan senyum tak biasa."Ayo ikut Ayah sebentar! Ada yang ingin Ayah kenalkan sama kamu," ucap Pak Guntur. "Ikut kemana, Yah?""Jangan, Dam! Kamu di sini saja gak usah ikut ayahmu," seru I
"Tunggu!" Suara menggelegar Pak Guntur terdengar dari arah dalam.Adam dan Hana menghentikan langkahnya dan membalikkan badan mereka. Terlihat Pak Guntur keluar dari dalam rumah dengan muka merah penuh amarah."Kalau kamu keluar dari rumah ini, Ayah tidak akan menganggap kamu anak Ayah lagi! Ingat itu, Adam!" ancam Pak Guntur.Bak disambar petir di siang bolong, Adam dan Ibu Laila terkejut. Mereka tak bisa mengatakan apapun selain istighfar. Tega sekali laki-laki yang seharusnya menjadi panutan Adam, malah berbuat seperti itu."Ingat itu! Dan Ibu, masuk ke dalam!" perintah Pak Guntur. Matanya tajam menatap Ibu Laila."Kalau Ayah mengusir Adam, Ibu akan ikut Adam! Ayah benar-benar tak punya perasaan!" Kali ini ada perlawanan dari Ibu Laila.Ibu mana yang tidak sakit hati jika sang anak diperlakukan tidak layaknya seorang anak. Hanya karena menantunya melahirkan cucu perempuan, Pak Guntur tega meminta anaknya menikah lagi dan sekarang bahkan mengusir Adam karena tidak mau menuruti perin
Adam baru teringat jika dia sama sekali belum mengabari ibu mertuanya soal Hana yang sudah melahirkan. Sembari menunggu makanan yang dibungkus, Adam mencoba menghubungi mertuanya di kampung. Tut ... tut ... tut ....Terdengar suara khas jika telepon tersambung. Tak lama kemudian, ibu mertuanya yang bernama Ibu Nur mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Le. Apa kabar kamu?" sapa Ibu Nur terlebih dahulu.Sudah lama Beliau menanti telepon dari anaknya. Beliau di kampung bersama dengan adik Hana yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. Ayah Hana sudah meninggal sejak lama. Dan kini, Ibu Nur mengandalkan hasil dari berkebun untuk hidup sehari-hari."Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Bu. Maaf, ya, Bu, Adam baru telepon Ibu sekarang. Adam hanya mau mengabarkan kalau Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami perempuan dan sehat, Bu."Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ibu Nur. Cucu yang dia nantikan ternyata sudah lahir."Alhamdulillah, Ya Allah! Ibu bahagia dengarnya. Anak laki