Share

Miliarder Tampan Itu Jodohku!
Miliarder Tampan Itu Jodohku!
Penulis: Airlea Hayza

CHAPTER 1  Panti Asuhan

Selepas makan malam, seperti biasanya, Nindia akan membantu teman-temannya merapikan ruang makan. Lalu, dilanjutkan memandu adik-adik panti untuk belajar. Akan tetapi, saat ia hendak beranjak pada rutinitas lain, tangan umi menahan Nindita untuk tetap berada di sana.

Tidak berapa lama, Abah datang menghampiri dan duduk disebelah umi. Saat itu Nindia sadar, ada sesuatu yang akan mereka sampaikan padanya. Ia kemudian memilih untuk segera duduk di depan keduanya. Kemudian, umi menatap ke arah suaminya dan memberi sebuah isyarat untuk menyampaikan sesuatu padanya.

Abah tidak langsung bicara, melainkan hanya diam dan terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya membicarakan hal penting itu pada Nindia.

Di Lingkungan panti, Abah dikenal sebagai sosok yang jarang bicara. Akan tetapi, jika Abah mulai bicara, semua orang akan diam dan mendengarkan dengan seksama. Terlebih, dengan intonasi suara yang tegas tapi tetap terlihat santun, membuat seluruh penghuni panti sangat menghormatinya.

Abah menatap Nindia dengan tatapan yang dirinya tidak dapat mengerti. Sosok yang sangat dihormati itu sepertinya menyimpan satu rahasia besar tentang dirinya.

"Nindia ..."

Abah kembali diam setelah memanggil namanya. Tentu saja, hal itu semakin membuat dirinya penasaran.

"Ini ada apa sebenarnya? Apakah ada sesuatu hal yang ingin Abah dan umi sampaikan tentang diriku?" tanyaku pada keduanya.

Umi berusaha menenangkan hati suaminya dengan tatapan mata yang tidak kalah teduhnya. Keduanya memang sosok yang sangat dihormati dan disegani bukan hanya oleh Nindia, melainkan juga pada santri lainnya.

"Katakan saja, Abah. Tarik nafas dalam dan hembuskan. Jangan lupa, mengucap bismillah sebelum menyampaikan sesuatu padanya," kata Umi pada Abah.

Abah mengikuti perkataan istrinya dan mulai menarik napas panjang lalu kemudian menghembuskan kembali. Setelah itu, Abah mengucapkan bismillah sebelum mengatakan sebuah rahasia besar Nindia.

"Nindia, ada satu hal yang ingin Abah dan umi sampaikan padamu. Dengarkan baik-baik dan jangan menyela ucapan Abah dulu.Mengerti?" ucap Abah padanya.

"inshaAllah, mengerti, Abah."

"Baguslah. Abah berharap, setelah mengetahui semuanya kau masih tetap menjadi Nindia yang selama ini kami kenal," ucap Abah terlihat berkaca-kaca.

Nindia yang sudah tidak sabar dengan apa yang ingin disampaikan oleh pimpinan yayasan itu pun nampak gelisah.

"Mengapa Abah berkata seperti itu? Ini sebenarnya ada apa?" lanjutnya lagi.

Abah hanya tersenyum menatap Nindia yang merasakan keanehan dalam pembicaraan mereka kali ini.

Nindia gadis pintar dalam berargumen. Dia selalu berusaha memahami konteks pembicaraan dengan baik dan benar. Dengan gaya bicaranya yang lembut dan juga pemahaman tentang isi pembicaraan, membuat Nindia selalu mendapatkan simpati dari lawan bicaranya.

Tak hanya disitu saja Nindia juga memiliki intuisi yang kuat sehingga sering menjadi andalan bagi rekan-rekan untuk mengambil keputusan kecil diantara mereka, jika menghadapi suatu masalah.

Dengan pertanyaan Nindia tadi, Abah tidak ingin membuat anak asuhnya itu menjadi gundah. Setelah meminta Nindia tenang, Abah pun menceritakan semuanya

"Tempo lalu, saat Pak Edward mengunjungi dan melihat perkembangan yayasan ini, ia melihat dirimu sedang membantu Abah mengajar anak-anak. Beliau merasa tertarik dengan caramu mengajar mereka," ucap Abah padanya.

"Maksudnya bagaimana Abah? Nindia belum paham," tanyanya bingung.

"Intinya, Pak Edward ingin memberikan beasiswa padamu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi," jawab Abah pada Nindia..

Nindia terdiam cukup lama. Mencoba meresapi dan mencerna semua ucapan Abah saat ini.

"Jadi, maksud Abah, aku harus meninggalkan panti dan melanjutkan pendidikan di tempat lain sesuai permintaan Pak Edward jika ingin mendapatkan beasiswa itu?" tanya Nindia meyakinkan.

"Benar, Nindia. Hanya itu satu-satunya cara untuk dirimu bisa mendapatkannya. Lagipula, kau harus mengejar impian untuk masa depan yang lebih baik lagi," ungkap Abah lagi.

"Artinya, Abah dan umi sudah tidak menginginkan Nindia berada di sini?" tanyanya sedih.

Umi berdiri dan beranjak dari tempat duduknya lalu menghampiri Nindia yang mulai terisak. Sementara, Abah hanya diam menahan berbagai perasaannya.

"Nindia, bukan begitu. Jangan salah sangka. Di sini, Abah dan umi hanya ingin diriku mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik. Jika kamu menyetujuinya, maka, jalan menuju keberhasilan akan terbuka lebar untuk masa depan lebih baik lagi. Abah dan umi hanya ingin yang terbaik untukmu, Nindia," ungkap abah pada Nindia.

"Nindia mengerti, Abah. Jika memang itu buat kebaikan dan masa depanku, Nindia akan menerimanya. Terima kasih atas semua yang sudah Abah dan umi lakukan untuk Nindia selama ini," ucap Nidia pada keduanya yang sudah gadis itu anggap seperti orang tua sendiri.

Umi memeluk Nindia semakin erat. Mereka berdua sama-sama saling menguatkan hati dan bersiap kapan saja akan berpisah setelah ini. Sementara, Abah menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.

Jauh dari lubuk hati Nindia yang terdalam, dia berat meninggalkan panti. Terlebih, dia sudah menganggap semua yang ada di yayasan ini adalah keluarganya.

Di sisi lain, jika dia menolak, maka kesempatan yang diberikan kepadanya tidak akan terulang kedua kalinya. Dengan menerimanya, Nindia berharap bisa membantu anak-anak panti yang lain dan juga yayasan.

Umi mengeluarkan surat keterangan beasiswa yang memang sudah dipersiapkan sejak tadi pada Nindia. Ia pun menerimanya dengan berat hati. 

Tangis Nindia dan umi pecah sesaat setelah ia membaca surat keterangan beasiswa tersebut. Nindia berat meninggalkan panti karena terlalu banyak kenangan yang terukir di tempat ini.

Delapan belas tahun silam, Abah dan umi menemukan bayi perempuan cantik dalam kardus yang diletakkan di saung dekat panti. 

Disamping tubuh bayi itu, mereka menemukan sebuah amplop berisi sebuah cincin dan tulisan "mohon rawat bayi ini. Beri dia nama Nindia."

Bayi perempuan cantik itu kini sudah bertransformasi menjadi seorang gadis pengukir hati Abah dan umi yang telah menganggapnya layaknya anak kandung

Bukan hanya Nindia yang merasakan kesedihan, tetapi juga Abah dan umi. Mereka sebenarnya tidak rela melepaskan Nindia. Tapi, semua mereka lakukan demi masa depan Nindia.

Pak Edward hanya memberi waktu satu hari untuk Nindia berkemas. Beliau menugaskan seorang driver menjemput Nindia dan membawanya ke Jakarta.

Dapat dibayangkan kesedihan yang terpancar dari seluruh penghuni panti saat Nindia berpamitan. Mereka bukan hanya kehilangan teman berbagi, tapi juga partner kerja.

Nindia menyalami satu per satu seluruh penghuni panti dan mencoba untuk tidak menangis. Namun, tetap saja, air mata mengalir saat dia mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya.

Saat tiba pada giliran Doni, anak itu langsung merajuk dan menghentakkan kakinya seperti anak kecil.

Doni adalah seorang anak berkebutuhan khusus. Dia selalu mengatakan pada semua penghuni panti bahwa Nindia adalah pacarnya. Tidak ada seorangpun yang boleh mengganggu Nindia. Anak itu akan marah jika ada yang mencoba mendekati atau mengganggu Nindia.

Sikap Doni menjadi hiburan bukan untuk para penghuni panti, melainkan juga untuk Nindia. Sebelum pergi, ia memberi pesan pada Doni untuk menuruti semua ucapan para petugas panti. Doni tidak merelakan Nindia pergi. Ia berteriak hingga membuat para petugas harus menenangkan anak itu.

"Nindia tidak boleh pergi ..." teriak Doni jatuh duduk dan menghentakkan kakinya.Satu tangan Doni memegang erat ujung rok Nindia. Tentu saja, hal itu membuat hati Nindia merasa sakit dan sedih. Ia berusaha menenangkan anak itu dan juga hati Nindia sendiri.

Umi bergerak cepat dan membantu Fatimah menenangkan Doni. Ia hanya menjaga supaya Doni tidak melemahkan pikiran Nindia dan membuat gadis itu membatalkan rencananya.

"Nindia hanya pergi sebentar untuk mencari ilmu. Lebih baik Doni mendoakan supaya Nindia berhasil dan bisa kembali ke panti lalu kita berkumpul lagi. Doni anak baik kan? turuti ucapan umi," ucapnya mengelus kepala anak itu penuh kasih.

Doni menganggukkan kepala dan kemudian menuruti ucapan umi panti. Dengan segera umi panti menyuruh Fatimah membawa Doni pergi supaya tidak melihat Nindia lagi.

Pandangan Nindia beralih pada dua sahabatnya, Inggit dan Puspa. Ketiganya berpelukan sebagai tanda perpisahan.

"Inggit, tolong gantikan aku mengingatkan pipit untuk meminum obatnya tepat waktu," ucapnya menatap kedua sahabatnya bergantian.

"Tentu saja. Aku akan selalu mengingatkan pipit akan hal itu. Jaga dirimu baik-baik dan ingat kami selalu," ucap Inggit padanya.

Pipit diserahkan oleh kedua orang tuanya ke panti karena mereka merasa sudah tidak mampu lagi menanggung biaya pengobatannya. Penyakit leukimia yang diderita Pipit membuat mereka berpikir lebih baik kehilangan anak itu daripada menyusahkan.

Beruntung, Abah dan umi masih mau menerima kehadiran Pipit dan merawatnya dengan ikhlas. Mereka menyayangi Pipit sama seperti keduanya menyayangi dirinya.

Kehadiran Pipit justru menjadi berkah tersendiri bukan hanya untuk Abah dan umi, melainkan juga untuk yayasan di mana Pipit berada. Rejeki seakan tidak pernah putus menghampiri panti asuhan karena keikhlasan mereka.

Nindia melepaskan pelukan kedua sahabatnya dan saling mengucap janji untuk bisa bertemu kembali satu hari nanti. Isak tangis kedua sahabatnya mengiringi kepergian Nindia hari itu.

Sementara, Abah sudah menunggu di depan halaman panti dengan menenteng dua koper berisi perlengkapan Nindia serta satu kardus berisi oleh-oleh yang dititipkan oleh Abah untuk keluarga Pak Edward nanti.

"Setelah tiba di rumah kediaman Pak Edward, kamu langsung hubungi kabari Abah dan umi," pesan Abah saat Nindia mencium takzim tangan kanan orang tua angkatnya itu.

"InshaAllah, Abah," ucapnya. "Kalau begitu, Nindia pamit. Jaga kesehatan Abah dan umi disini," ucap Nindia dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu juga ya, Nduk," jawab Abah mengusap kepala Nindia. 

Nindia dapat melihat mata Abah yang memerah menahan air mata. Namun, Abah tetap berusaha menahan tangisan di depan Nindia supaya tidak memberatkan langkahnya

Setelah sopir yang ditugaskan menjemput Nindia berpamitan, dia pun segera memasuki mobil dan melajukan kendaraan meninggalkan panti asuhan di mana Nindia tinggal selama ini. Sementara, Nindia tidak banyak bicara dan hanya menatap keluar jendela melihat hamparan sawah dan pepohonan yang bagai siluet terlihat dari dalam mobil.

Terlalu banyak kenangan tersimpan di desa dimana panti asuhan itu berada. Nindia terasa berat melepas semua kenangan itu hingga dadanya terasa sangat sesak.

"Akan lebih baik jika Non Nindia menangis. Itu akan membuat Non jauh lebih tenang," ucap sopir yang bersamanya saat itu.

Nindia menatap sekilas ke arah sopir itu dan mencoba tersenyum. Yang dikatakan oleh sopir itu benar, akan jauh lebih baik jika dia menangis dan melepaskan beban yang selama beberapa hari ini dia tahan demi menjaga perasaan semua orang.

Hari ini, Nindia tidak mampu lagi menahan rasa sesak dan sakit karena harus berpisah dengan orang-orang yang sangat dia cinta. Namun, dia melakukan hal ini demi masa depan yang jauh lebih baik.

"Ini pertama kali Non Nindia jauh dari mereka ya? Bapak tahu ini berat sekali buat non. Tapi, non juga harus ingat, semua ini demi masa depan non supaya bisa membantu mereka satu hari nanti," ucapnya menguatkan Nindia.

"Iya, Pak. Nindia mengerti. Hanya saja, Nindia merasa sedih harus berpisah cukup lama," jawab Nindia pada sopir itu.

"Nanti juga akan terbiasa. Apalagi, nanti non akan sibuk dengan kuliah dan lainnya. Oh ya, bapak belum memperkenalkan diri. Nama bapak Manto, asli Jogja. Saya sudah lama menjadi sopir keluarga Pak Edward," ucapnya memperkenalkan diri.

"Bagaimana Pak Edward di mata bapak?" tanya Nindia penasaran.

"Bapak orang baik. Dia tidak pernah membeda-bedakan siapapun. Jadi, non tidak perlu khawatir," lanjutnya lagi.

Nindia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Pak Manto. Beliau sangat ramah dan memperlakukan dirinya dengan baik.

Nindia berinisiatif meminta Pak Manto menceritakan tentang Pak Edward dan keluarganya. Tanpa ragu, sopir itu pun menceritakan semuanya.

Menurut Pak Manto, anak pertama Pak Edward bernama Bella. Ia gemar berpetualang dan pernah menggeluti dunia foto model. Namun, saat ini putrinya itu memilih tinggal di Inggris.

Anak keduanya bernama Kevin. Setelah menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas ternama di New Zealand, dia   kini bekerja di perusahaan milik keluarganya.

Sementara, anak ketiga bernama Jeremy. Usianya tidak berbeda jauh dengan dirinya. Akan tetapi, putra ketiga keluarga itu tidak mau meneruskan kuliah di luar negeri seperti kedua kakaknya dan memilih untuk kuliah di Jakarta.

"Satu hal yang perlu non Nindia ingat, berhati-hatilah dengan Den Kevin. Karena terlalu lama tinggal di luar negeri, membuat ia bersikap  kebarat-baratan dan sedikit angkuh. Jadi, bersabarlah dengan segala kelakuan anak itu nantinya," ucap Pak Manto mengingatkan Nindia. "Tapi, sebenarnya, Den Kevin anak baik. Nanti non akan tahu sendiri," lanjutnya lagi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status