Share

Kontrak Pernikahan Kedua

Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..

~~~

“Saya tidak bisa pastikan, pak. Sebaiknya cek ke dokter kandungan langsung,”

Aku terbangun saat mendengar suara-suara disekitarku. Aku perlahan membuka mata dan menemukan seorang Wanita yang menggunakan jas dokter, sedang duduk di sampingku. Melihatku bangun, dia kemudian membantuku duduk.

“Bagaimana perasaan ibu sekarang?” Tanya Wanita itu.

“Hanya pusing saja,” Ujarku lemah dan sedikit tersenyum.

“Terimakasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?” Ujar sebuah suara berat yang berada di belakangku.

Aku berbalik dan mendongak menatap orang yang sangat aku rindukan. Dia menyadari tatapanku dan duduk di sampingku tepat semua karyawannya meninggalkan kami berdua di ruangan ini.

“Sepertinya kamu hamil,” Ujarnya tidak mau menatapku.

“Hamil?” Gumamku pada diri sendiri. Pantas saja akhir-akhir ini aku sering merasa mual dan lemas. Ternyata ada keajaiban yang sedang terjadi di dalam tubuhku. Aku mengelus perutku dengan perasaan bahagia.

Senyumku memudar saat melihat Cassian terdiam dengan ekspresi tegang. “Kayaknya hanya aku yang bahagia saat ini,” Ujarku kecewa saat melihat reaksi Cassian.

“Aku paham kalau kamu tidak menginginkan ini. Tapi tenang aja, aku gak akan nyusahin kamu,” Ujarku sambil berusaha berdiri.

“Mau kemana?” Tanyanya.

“Ke klinik. Mau cek kondisi anakku.” Ujarku dingin. Aku berjalan menuju pintu dan berbalik sedikit menghadapnya. “Ohiya, sebaiknya kak Ian pulang nanti. Kontrak pernikahan kita perlu diperbarui.”

Aku meninggalkannya dengan perasaan kecewa yang mendalam. Tapi aku paham kalau aku yang memulai semua ini. Ini risiko yang harus aku hadapi.

~~~

Aku duduk tidak tenang di ruang keluarga rumah kami. Mataku sedari tadi tidak berhenti menatap jam dinding. Aku khawatir kalau malam ini Cassian tidak pulang lagi.

Aku mengelus lembut perutku untuk menenangkan diri. Sepulang dari Rinaldi Corp., aku menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah klinik untuk memastikan apakah benar aku hamil atau tidak. Dan jawaban dari dokter membuatku sangat bahagia. Aku tengah hamil dan usianya sudah empat minggu.

Aku menghentikan kegiatanku saat mendengar deru mesin mobil Cassian. Seperti biasa, aku berjalan menuju pintu untuk menyambutnya.

Aku menyalami tangan Cassian, merasakan kebahagian memenuhi hatiku saat tangan kami bersatu. Aku sangat merindukan momen ini. Aku mendongak tanpa melepaskan genggaman tanganku. Mata kami bertemu, dan sejenak, waktu terasa berhenti. Aku bisa melihat kelelahan di matanya. Dan kelembutan? Aku tidak salah lihat kan?

Cassian memutuskan pandangan dan melepaskan pegangan tanganku. “Aku mau mandi setelah itu kita bicara di ruang kerjaku.”

Aku menatap Cassian yang berlalu. Sambil menghela napas, aku mengambil surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa aku hamil dan sebuah kontrak pernikahan. Kontrak kedua yang sudah aku buat setelah dari klinik.

Aku menunggu Cassian di ruang kerjanya seperti yang dimintanya tadi sembari bermain ponsel. Aku berencana memberitahukan kabar bahagia ini kepada keluarga kami dengan cara mengirimkan mereka semua foto usg dari janinku. Tak ada balasan dari mereka. Mungkin karena mereka sedang beristirahat.

Cklekk..

Aku menoleh begitu mendengar pintu terbuka menampilkan Cassian yang tampak segar dan tampan dengan kaos rumahannya. Masih dengan wajah datarnya, dia duduk di meja kerjanya membuatku berdiri dan menghampirinya.

“Aku rasa kita gak perlu memperbarui kontrak,” Ujarnya dengan tenang saat aku telah duduk dihadapannya.

“Hah?” Ujarku terperangah. Aku harus memastikan kembali apa yang dikatakannya.

“Pernikahan kita hanya untuk satu tahun. Dan itu berakhir dalam tiga bulan mendatang,” Jelasnya.

“Dan anak aku statusnya jadi gak jelas?” Ujarku berapi-api.

“Kamu belum tentu hamil, Ave.” Terang Cassian.

Aku memberikan surat keterangan dari klinik yang menyatakan aku hamil dengan keras di hadapan Cassian. “Aku hamil dan itu buktinya,” Bahkan foto USG pun kuberikan.

Cassian terdiam. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya. “Kejadian ini karena ulah kamu sendiri,” Ujarnya dengan datar.

Aku semakin panas. Amarahku semakin memuncak. “No. ini solusi yang kamu minta. Anak ini akan menjadi penerus Rinaldi Corp. Dia yang bakal buat kamu bebas,” Ujarku dengan nada tegas.

“Aku gak mau tau. Kontrak kita harus diperpanjang. Anak aku harus punya akta lahir lengkap. Kamu harus setuju atau lupain semua tentang kontrak pernikahan,” Ujarku dingin.

Aku tidak akan mundur. Aku tidak akan melepas Cassian tanpa berusaha lebih keras lagi. Aku tidak akan membiarkan anak aku tumbuh tanpa ayah. Setidaknya, aku bisa mengikat Cassian lebih lama lagi dan berharap kalau anak kami inilah yang akan meluluhkan hatinya.

Cassian menghela napas lelah. “Oke. Maumu apa sekarang?”

Aku memberikan kontrak pernikahan yang baru pada Cassian. "Aku mau ngajuin kontrak kedua untuk pernikahan kita, sebelum kita cerai," ujarku dengan nada yang lebih tenang.

Jujur, aku membuat kontrak kedua ini agak rumit. Meskipun aku mengatakan kalau aku tidak akan menyusahkannya, namun aku juga harus terus menjaga intensitas pertemuan dan kebersamaan kami. Semua ini kulakukan agar aku bisa membangun kenangan yang aku harap tidak akan mudah dilupakannya.

Aku mengajukan tiga syarat:

Pertama, pernikahan tidak akan berakhir sebelum Aveline melahirkan.

Kedua, Cassian dan Aveline sebagai pasangan suami istri harus tidur di ranjang yang sama.

Ketiga, Cassian sebagai suami harus mengajak Aveline sebagai istri kencan dan menghabiskan waktu berdua setiap weekend.

Cassian mengambil dan meneliti kontrak itu, “Syarat macam apa ini? aku gak mau.” Ujarnya sambil menjauhkan kontrak itu.

“Kita gak lagi negosiasi, Kak Ian.” Ujarku tenang sambil bersidekap.

“Kamu salah, Ave. Kamu harusnya diskusi dulu, baru buat syarat-syarat ini.”

“Aku udah berniat diskusikan ini. Tapi kamu yang gak mau ngeliat aku,” Ujarku tenang.

Aku mengingat kembali saat keesokan harinya setelah kejadian itu, aku memang ingin mendiskusikan mengenai hal ini. Tapi saat dia terus menghindariku, membuatku mengambil keputusan sendiri apalagi saat ini aku tengah mengandung.

Cassian terdiam sejenak. Tangannya dengan pelan menyeret kembali kertas itu kehadapannya. “Aku tetap gak mau kita tidur seranjang.”

“Kalau satu kamar?”

Cassian menggeleng. Aku pasrah saja karena memiliki rencana lain.

“Okelah. Tapi kita ganti dengan kita harus nunjukin kemesraan kita dihadapan orang tua. Gimana?” Tawarku.

Cassian berpikir sejenak dan mengangguk.

Aku bersorak senang dalam hati. Tanpa menyembunyikan senyum lebarku, aku mengambil kontrak itu dan memperbaikinya. Setelah selesai, aku bertanda tangan tepat di atas namaku dan menyerahkannya pada Cassian untuk ditandatangani.

“Makasih, Kak Ian. Aku janji gak bakal nyusahin kamu selama pernikahan kita. Kecuali itu yang udah sama-sama kita setujui.” Ujarku sambil tersenyum senang.

Aku hanya tidak mau kalau Cassian menganggapku pengganggu dan merepotkan. Itu bisa membuat kenangan yang akan aku buat dengannya akan tercemar. Oleh karenanya, aku berusaha sebisa mungkin melakukannya sendiri. Karena aku sudah terbiasa.

Aku mencium pipinya sebagai tanda terima kasih dan meninggalkannya yang membeku akibat perbuatanku. Aku mengacuhkannya dan mengabaikan rasa maluku karena terlalu senang. Setelah keluar dari ruang kerja Cassian dan menutup pintunya, aku menghubungi seseorang yang dapat melancarkan rencana selanjutnya.

Karena misi pertamaku BERHASIL.

Dan selanjutnya, misi kedua..

Tidur sekamar dengan Cassian..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status