Share

Kaya dan miskin memang beda

Miskin itu Memalukan 2

Kaya dan miskin emang beda

“Assalamualaikum.”

Begitu bunyi bel yang aku pencet, membuat aku dan Ruly saling melempar pandang dan senyuman. Hari ini aku mengajak Ruly berkunjung ke rumah Budhe aku, yaitu kakak dari mama. Sebenarnya yang kakak kandung mamaku adalah Pakdhe Susanto, Budhe Lies jatuhnya kakak ipar kalau sama mama.

Sambil menunggu dibukakan pintu aku melihat sekeliling rumah Budhe yang lumayan mewah ini. Mobil Avanza teronggok di carport itu tandanya Pakdhe sama Budhe ada di rumah, lagian aku sudah janjian kok. Kalau ke rumah Budhe aku nggak malu mengajak Ruly, beberapa kali aku sudah mampir ke sini berdua. Menurutku Budhe ini kaya dan tidak malu maluin. Lebih pantas disejajarkan dengan keluarga Ruly dari pada mama.

Rumah Budhe bagus, besar dan berada di kompleks perumahan BUMN karena Pakdhe memang salah satu pegawai di sana. Meskipun hanya Avanza tetapi Budhe punya mobil, dari pada mamaku yang tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Bagiku, memiliki mobil pribadi adalah simbol status sosial yang menandakan kalau seseorang tersebut adalah orang mampu. Bayangkan saja, pajak mobil itu mahal, belum perawatannya dan lain-kain. Mamaku itu biar sampai renta juga nggak bisa beli mobil karena miskin. Beli beras aja susah kok mengkhayal beli mobil haha. Itu mungkin akibat salah pilih suami.

Kalau ke rumah Budhe ini aksesnya mudah, tidak seperti rumah mama yang masuk gang sempit, jadi kalau ke sana mobil Ruly nggak bisa masuk. Terpaksa nebeng parkir di halaman tetangga terus jalan kaki. Ribet dan bikin malas.

Pintu rumah terbuka, seraut wajah Budhe berhias senyum lebar menyapa kami.

“Ufi … anakku, apa kabar?” Agak berteriak Budhe menyambutku, saking gembiranya mungkin. Kedua tangan Budhe terbuka memeluk dan mencium aku. “Baik, Budhe,” jawabku semringah.

“Ruly, apa kabarnya?” Budhe berpaling pada pacarku yang terlihat lebih menjulang bila berhadapan dengan Budhe Lies yang mungil.

“Baik, Budhe ….” Ruly mencium hormat punggung tangan Budhe, selanjutnya kami berdua dipersilakan masuk. Ternyata Pakdhe Sus sudah menunggu di ruang tamu.

“Hana ke mana, Budhe?” Tanyaku setelah duduk. Hana adalah anak perempuan Budhe dan Pakdhe. Hana seorang bidan yang bertugas di salah satu rumah sakit. Anak Budhe ada dua, yang satu lagi namanya Toni, dia lulusan sekolah pelayaran dan sekarang sedang berlayar. Inginnya aku juga punya keluarga seperti ini, ada Ayah yang seorang pegawai, ibu yang seorang aktivis sosial dan saudara berpendidikan tinggi. Sayangnya aku terlahir dari seorang mama miskin yang sering membuatku tidak percaya diri.

“Kerja dong, kebetulan dapat shift pagi,” jawab Budhe yang kemudian berdiri dan berjalan masuk ke rumah.

“Nggak usah repot-repot, Budhe,” aku berteriak, pasti Budhe mau buatin minuman dan mengeluarkan camilan buat aku dan Ruly. Bedanya di sini, kalau datang ke rumah Budhe pasti ada kudapan terhidang di meja dan sering diajak makan siang kalau pas jam makan. Di rumah mama boro-boro, terkadang minuman pantas aja nggak ada soalnya nggak punya gula atau sirup. Untungnya Ruly tipe cowok apa adanya jadi meskipun hanya air putih dia minum juga.

“Budhe, Pakdhe, Ufi ke sini mau memberitahu kalau acara lamaran jadinya hari Sabtu depan di Restoran Pandan wangi. Pakdhe, Budhe tolong bantu untuk menjawab,ya?” Aku mengurai maksud kedatanganku ke mari. Sebagai pengganti orang tua, aku meminta Pakdhe untuk menjawab lamaran yang akan disampaikan oleh pihak keluarga Ruly nantinya. Tidak mungkin aku menyuruh mama. Membayangkan mama bertemu dengan mamanya Ruly aja aku sudah mau nangis. Bagai langit dan bumi … Bu Rosita mamanya Ruly penampilannya begitu glamor dengan balutan barang branded dan wajahnya selalu berhias sapuan make up sepanjang hari. sedangkan mama? Yaelah, boro-boro bedakan, Sandal jepit saja sudah kluwus.

“Iya, Fi, memang Budhe sama pakdhe juga sudah membahas itu. Nanti Budhe mengajak Pakdhe Nur sama istrinya, Om Anwar sekalian, sama Budhe Sri, ya kira-kira dua belas orang lah. Berangkat dari sini tiga mobil,” jawab Budhe yang juga dianggukkan Pakdhe.

“Iya, Gapapa Budhe, malah bagus kalau yang datang banyak, iya, kan, Rul?” Aku menyenggol tangan Ruly yang duduk di sebelah. Pacarku itu mengangguk setuju. Semua nama yang disebutkan Budhe tadi adalah kerabat dari Budhe Lies sendiri. Saudara mamaku yang lain ada di luar kota jadi nggak mungkin datang. Aku akan mengundang mereka pada saat hari H saja.

“Kan kalau yang datang banyak itu kan menghormati gitu lho, Fi ….” Kata Pakdhe.

“Iya, Ufi juga mikirnya gitu, Pakdhe. Makasih lho, jadi kan Ufi nggak malu, terlihat punya keluarga, gitu.”balasku terharu. Bayangkan saja kalau Budhe nggak punya ide begini, masak cuma mamaku doang yang datang? Hih! Nggak kebayang mau ditaruh di mana wajahku kalau mama datang culun sendirian. Tiga mobil cukup lah untuk menunjukkan identitas keluargaku. Setidaknya ada pengiring dengan mobil bagus bukan Isuzu carteran.

Setelah bercerita cerita santai, akhirnya aku dan Ruly berpamitan.

“Makan dulu, ayo!” Ajak Budhe saat kami pamit. Kebetulan ini jam makan siang. Aku menolak halus sebab sudah punya rencana untuk makan siang berdua. Budhe dan Pakdhe mengantar sampai aku dan Ruly masuk ke mobil. Mereka melambaikan tangan setelah mobil Ruly melaju. Jujur saja, aku lebih percaya diri menganggap Budhe sama Pakdhe sebagai orang tuaku. Mereka lebih pantas mendampingi aku dari pada mama.

“Lega rasanya dengar Budhe bawa rombongan. Acaranya nanti kan jadi terlihat formal,” kataku pada Ruly saat di mobil.

“Dari keluarga mama, siapa aja yang datang?” Tanya Ruly tanpa menoleh. Fokus menyetir.

“Ya cuma mama aja, emang siapa lagi?”

“Maksud aku, dari keluarga bapakmu itu lho, masak mama sendirian?” Ruly menoleh sekilas lalu kembali melihat ke depan.

“Nggak usah lah, ngapain ngundang mereka? Nggak ada kendaraan di rumah mama, mau naik apa mereka? Naik brondol? Ah, nggak usah aja!” Kepalaku menggeleng kuat. Membayangkan bapak tiriku datang aja aku udah ilfil. Malu aku nanti kalau ada yang tanya siapa dia. Sampai detik ini saja aku tidak pernah memanggilnya bapak. Seandainya mama tidak menikah lagi pasti ceritanya tidak begini. Mama akan hidup bersamaku, kecukupan dan bahagia.

“Emang kenapa sih, Fi, kamu selalu melarang orang tuaku datang ke rumahmu? Padahal mama sama papa nggak masalah lho kamu itu anaknya siapa.”

Aku tidak menjawab pertanyaan Ruly. Menjelang pernikahan aku memang jadi lebih parno. Ada ketakutan dalam hatiku tentang keadaan mama yang miskin. Aku takut pandangan kedua orang tua Ruly jadi berubah setelah melihat kenyataan mamaku yang hanya seorang perempuan kampung biasa bersuamikan lelaki yang tidak punya pekerjaan tetap dan lebih muda lagi!

Ciut rasanya membayangkan bila mama dan suaminya bertemu dengan orang tajir macam Pak Wondo dan Bu Rosita. Kesenjangannya nampak jelas. Pak Wondo yang pengusaha dan Bu Rosita yang sosialita mau ngobrol apa dengan mama yang mantan buruh pabrik dan Om Arif, bapakku yang kerjanya serabutan? Nggak nyambung pastinya. Orang miskin memang memalukan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status