Dua garis merah muda didapatinya pagi itu. Sayna masih harus terus melakukan tes kehamilan hingga dua minggu setelah keguguran. Dia memotret hasilnya dan mengirim gambar tersebut via pesan multimedia. Sayna masih diawasi hingga pendarahannya berhenti dan garis dua itu berubah menjadi satu saat mengambil tes urin nanti.
Gadis itu meraih kotak obat di mana ada butiran asing yang harus ditelannya untuk beberapa waktu kedepan, kabarnya adalah obat pembersih kandungan. Sebab Sayna tidak melakukan kuretase setelah keguguran. Dia mengalami pendarahan seperti wanita habis melahirkan, tanda kehamilan pun masih bisa Sayna rasakan.
Pinggang yang nyeri, dada membesar, hingga sedikit mual dan pusing. Hormonnya turun kembali, perlahan-lahan setelah tidak ada janin dalam perutnya lagi.
Dan Sayna masih merasa itu semua hanyalah mimpi.
Dia masih ingin menyangkal kalau semua itu tidak benar, kalau yang dilakukannya terakhir kali dengan Danish hanyalah mimpi buruk yang acap
Halaman belakang kediaman Melia Adiswara adalah taman bunga yang mekar bergantian sesuai musim. Melia mempersembahkan itu semua untuk putri tercintanya—Dinara, yang memang mencintai bunga-bunga hidup, terutama bunga matahari. Yang tidak pernah Danish tahu adalah, taman bunga itu sekaligus menjadi pemakaman untuk calon anaknya dengan Sayna.Janin 14 minggu itu dikubur di sana, tengah malam, saat di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Danish memaksakan diri untuk membawa jasad anaknya dari Bandung ke Jakarta, karena Sayna sudah bertransformasi jadi monster, bukan lagi manusia. Dia masih ngeri jika mengingat wajah datar gadis itu ketika membuang jasad anak mereka ke lubang pembuangan.Danish masih berusaha menata hati usai tragedi itu, biar bagaimanapun ada janji yang harus dia tepati, memaafkan Sayna bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.Namun kali ini, bagaimana caranya? Danish tidak tahu, seperti apa dia harus berusaha untuk sembuh? Dia sudah tidak memikirkan Sa
“Tunggu di sini sebentar, ya.”Rafika tersenyum senang mendengar nada ramah itu kembali. “Iya, santai aja.”Lalu dia melihat punggung gadis itu menjauh dari tempat duduk mereka. Butuh waktu lama sekali untuk membuatnya bersedia datang dengan sukarela ke tempat ini. Dia sedang butuh bantuan, Rafika tahu dengan jelas dari wajah gadis itu, tatapan matanya yang kosong dan kadang sendu.Namun tidak semua orang yang meminta bantuan mau berubah, beberapa orang ingin sembuh dari rasa sakit tanpa mau berusaha, dan awalnya Sayna pun sama. Dia membiarkannya saja, beban mental itu menggerogotinya bagai kayu dimakan rayap. Bahkan tak jarang dia melakukan penyerangan, padahal jelas sekali bahwa dia harus bekerja keras untuk pulih dari trauma.Entah trauma macam apa, yang jelas itu berkaitan erat dengan kasus-kasusnya di kampus.“Mau makan sesuatu?” tawar Giovanni ketika melihat Sayna masuk ke ruang konsultasi sementara t
Sayna terbangun dengan bunyi denting yang memuat rentetan pesan dari aplikasi perbankan dalam ponselnya. Beberapa nominal uang telah dikirimkan, jumlahnya sama setiap bulan, diterima pada tanggal yang sama pula. Pengirimnya adalah, Danish Adiswara Caka. Kekasihnya—atau calon mantan kekasihnya, Sayna tidak tahu juga.Jadi, meski sudah lama sekali tidak berkomunikasi, rekening Danish secara otomatis mengirim uang itu padanya. Mungkin dia sendiri tidak ingat, Danish memang sedikit pelupa. Nominalnya sama, perbulan sebesar 5 juta rupiah. Sayna pernah menolak dan meminta pengurangan jumlah, itu terlalu banyak untuk mahasiswi dari kelas sosial menengah sepertinya. Namun Danish berkilah, dia bilang jatahnya agak terlalu banyak jika tidak dibagi dengan Sayna.Dia punya kakak ipar kaya raya yang menanggung uang jajan sebesar 30 atau 40 juta perbulan, jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Juga pendapatan dari laundry karena ibunya tidak akan memberi Danish uan
“Jadi... sampai sekarang belum ada yang tahu?”Melia, Dinara, Pradnya bahkan Ceu Yati pun menggelengkan kepala. Mereka semua serempak melakukan gerakan itu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ayudia. Hari yang cerah untuk melakukan perkumpulan kecil di ruang lingkup keluarga, Ayudia sengaja terbang ke Jakarta melihat dua anak gadisnya keranjingan pulang pergi demi menemani ipar mereka yang tengah patah hati.Kemudian semuanya berkumpul di dapur, karena Melia sibuk membuat roti untuk Danish. Bungsunya itu menolak makan dan hanya bisa menjejali roti ke perutnya, itu pun harus roti buatan Melia. Dan seorang ibu, demi anaknya apa sih yang tidak? Melia rela melepas pakaian kerja dan kembali berkarier di dapur dengan apron serta tangan bertabur terigu.“Pacarnya Ninish ini apa, toh? Calon dokter?”“Iya, Bu.” Dinara menimpali jawaban mertuanya.“Keluarganya sekaya apa?” tanya Ayudia lagi.&l
“Aduh, aduh... sakit banget ini.”“Sakit? Sakit apa, Nish?”“Encok nih kayaknya, pinggang aku nyeri.”“Ya, ampun! Kok encok terus gimana ceritanya? Udah ke dokter belum?”“Belum, Bu, ntar aja. Nunggu Sayna yang jadi dokternya. Hehehe.”Sayna mengenang potongan itu, Danish selalu berlebihan jika kebetulan tangan Sayna jahil dan memelintir kulit perut atau pinggangnya. Dia akan meringis dan mengadu pada ibu, lalu mengatakan kalimat-kalimat yang lucu. Danish, Sayna rindu sekali padamu.“Pesen apa lagi? Gurame sambel cobek? Apa sambel mangga? Teteh mau apa aja? Kangkung terasi? Tumis genjer?”Sayna mengalihkan pandangan. “Aku kangkung aja, Bu.”“Biar nanti tainya warna ijo ya, Kak?”“Inara!” tegur wanita akhir tiga puluhan yang Sayna sebut sebagai Imo—alias Bibi, ibu kandung sepupunya. Sementara itu yang
Danish tidak tahu jika halaman belakang rumahnya akan sedikit berubah jadi pemakaman keluarga dan bukan hanya taman bunga biasa. Setelah janin Sayna dikubur di sana, Bolu—Chinchilla lucu berbulu miliknya juga bersemayam di tempat itu. Dia mengalami dehidrasi dan masalah pencernaan hingga tak bisa diselamatkan lagi, Bolu ditemukan oleh Dya, malam hari sebelum gadis itu pulang ke rumah keluarganya di Jakarta. Saat Danish sudah tidur lebih dulu.Awalnya dia tidak merasa apa-apa, kehilangan Bolu yang hanya hewan peliharaan tidak begitu melukainya. Danish tahu rasanya kehilangan lebih parah dari itu. Dia tidak menangis saat menguburkan Bolu di belakang rumah, Danish meyakini kalau Sayna pun pasti akan bersikap sama. Gadis itu bahkan mengeluarkan anaknya dari dalam perut setelah dibuat mati lebih dulu. Dan dengan tanpa pikir panjang membuang jasadnya ke lubang pembuangan.Danish tidak bersedih untuk kepergian Bolu dari hidupnya.Tidak sama sekali.Tapi ke
“Irya, turun.”“Iya.”“Den Irya... turun, ya?”“Iya.”“Iya, ayo turun!”“Iya.”“Iryaaaaa....”“Iya....”“Den, cah lanangku yang paling guanteng se-Jakarta sampai Surabaya. Dengerin Om-nya, turun ya, Sayang?”“Nggih...”“Sek, turun.”“Nggih...”“Irya...”“Iya...”“Den...”“Nggih...”“Nggih-nggih mboten kepanggih.”Anya menaruh kentang goreng dan saus sambal yang dibawanya di dekat Danish, sementara itu dia menyongsong Irya—keponakannya dari Arya dan Dinara—yang tengah memanjat palang jendela lalu menurunkan bocah itu agar dia berdiri dengan benar. Irya berusia hampir dua tahun dan sedang aktif-aktifnya, dia punya karakter manis, suaranya halus dan e
“Pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan kalau yang mengerjakannya adalah orang lain dan kita cuma lihat-lihat aja di Instagram.” Hamam dan petuahnya yang menyesatkan tidak ingin Danish gubris sama sekali.Mereka berdua berboncengan dengan sepeda motor dari rumah Danish menuju ke laundry. Danish mulai bekerja lagi, dia mulai bosan dengan kegiatan tidak bermanfaatnya di rumah. Terlebih Anya dan Dya tidak sesering itu berkunjung. Melihat Danish sudah lebih ceria, mereka pun mengurangi intensitas untuk datang, dan Danish terpaksa mencari kesibukan. Apa lagi selain bekerja?Meski tidak sesemangat dulu, tapi ini lebih baik dibanding tidak melakukan apa-apa.“Lo tuh bisa nggak sih? Kalau ada apa-apa, ada masalah sama Sayna, sedihnya biasa aja. Nggak usah bawa-bawa Dya sama Anya. Mereka jadi nggak pernah ke sini sejak kejadian lo depresi kemarin, Nish.”“Gue nggak depresi,” sangkal Danish tak terima.“Yah, po