Orang gila!
Semua tokoh yang ada di dalam novel 'Cinta Sejati' adalah orang gila!
Tidak ada satupun tokoh yang waras disini.
Aquila jadi merasa, sebenarnya ia tidak terjebak di dalam dunia novel, melainkan ia terjebak di dalam perkumpulan orang yang tidak waras.
Mulai dari peran utama laki-laki yang terlalu protektif terhadap pasangannya, lalu peran utama wanita yang terlalu baik hingga terasa tidak masuk akal. Lalu ada juga kakak si antagonis yang terlalu 'alay'. Ditambah lagi tokoh Grand Duke yang memiliki aura yang sangat menyeramkan.
Bahkan tokoh antagonisnya sendiri 'Aquila yang ada di dalam novel' juga sungguh tidak masuk akal perilaku jahatnya, hingga terkesan kalau tokoh tersebut sama sekali tak memiliki sisi baik.
Hanya Aquila yang waras disini.
Entah apa yang ada di pikiran si pengarang novel 'Cinta Sejati' sehingga dapat menciptakan novel picisan dengan segelintir orang-orang tidak waras sebagai tokohnya.
Alken de Athanasius. Ia adalah seorang putra dari Raja dan selirnya. Rambut Alken berwarna putih karena keturunan dari sang ibu. Kulitnya yang putih pucat juga merupakan keturunan dari sang ibunda. Usia Alken hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dari Zero, tapi kemampuannya sudah bisa menyetarai atau bahkan melebihi putra mahkota tersebut dalam beberapa hal. Alken sadar, posisinya dalam istana hanyalah seorang anak dari selir. Kedudukannya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Zero yang seorang penerus resmi. Lagipula, Alken juga tidak berniat mengkudeta kekaisaran, ia hanya sengaja mempermainkan orang-orang disekitarnya. "Ah, kekasih dari kakakku sudah datang rupanya," Alken berkomentar saat Zeline telah sampai di lorong kerajaan. "Hormat saya, tuan," Zeline mengangguk sopan. Alken memperhatikan penampilan Zeline dari ujung kaki hingga kepala, "kakakku sedang tidak ada di sini. Ia sedang sibuk menguru
Malam nanti, pesta pengenalan calon putri mahkota akan diadakan. Segala keperluan untuk pesta nanti malam telah disiapkan. Saat ini, meskipun masih pagi hari, Aquila sudah sampai di kediaman istana. Sesuai prosedur yang ada di sana, putri mahkota yang terpilih akan memperkenalkan dirinya terhadap sang putra mahkota. Ya, ini hanyalah formalitas belaka. Aquila yang ditemani Alaster, melangkahkan kakinya menuju aula besar dimana Baginda kaisar sudah menunggu di singgasananya. "Hormat kami, Yang Mulia Kaisar." Baik Aquila dan Alaster, keduanya menundukkan badan. "Saya merasa terhormat bisa menemui anda secara langsung, Yang Mulia." Alaster berucap dengan senyum hangat. Entah ucapannya tulus atau sekadar pencitraan belaka. Kali ini, dari sisi yang berseberangan masuk seorang lelaki berambut cokelat sambil menggenggam tangan seorang perempuan di sebelahnya. Itu Zero dan Zeline, protagonis kesayangan kita. "Hormat ka
"Yang Mulia!" Zeline menghampiri kekasihnya yang sedang menyendiri di lorong atas, memperhatikan pesta dari kejauhan. Zero yang saat itu sedang meminum segelas wine-nya langsung beralih, menatap wajah Zeline. "Hai, Zeline," sapanya. Zeline tersenyum manis, biasanya, senyuman ini selalu sukses meluluhkan hati sang putra mahkota. "Anda tidak menikmati pestanya? Mengapa anda menyendiri di sini?" "Tidak, aku hanya sedang terpikirkan sesuatu." Zero kembali menatap kerumunan pesta. Sedari tadi, ada yang mengganjal di hati Zero. Yakni saat ia melihat saudaranya yang menyebalkan— Alken, sedang berdansa dengan teman masa kecilnya. Hal yang semakin mengganggu, saat Alken dan Aquila tertawa bersama-sama tatkala Aquila melakukan kesalahan dalam berdansa atau sesekali menginjak kaki Alken. Tidak. Zero yakin ini bukan perasaan cemburu. Ia hanya merasa aneh? Karena Aquila yang ia kenal sangat anti dengan cowok lain. Karena bagi Aquila,
Ahn bilang ini bukan pertemuan resmi. Jadi Aquila tidak perlu repot-repot menggunakan korset yang menyesakkan ataupun menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Ia hanya menggunakan baju sederhana yang biasa digunakannya saat santai— meskipun masih berbentuk dress tapi tidak sekompleks dress yang digunakan untuk pertemuan resmi. Aquila menguap. Ini sudah malam tapi Zero mengajaknya bertemu? Anak itu tidak punya etika, ya? Ditambah lagi, Zero benar-benar tidak jelas. Ia hanya mengatakan 'bertemu di tempat biasa' Aquila bahkan tidak tahu di mana tempat biasa yang dimaksud Zero? Aquila sudah berusaha mengingat-ingat melalui memori dari Aquila yang dulu. Tempat itu terang, banyak ditanami bunga-bunga serta ada sebuah air mancur besar. Aquila menebak, sepertinya itu kebun kerajaan? Yang menjadi masalah. Aquila tidak tahu dimana letak kebun itu! Ia bahkan tidak hafal denah kerajaan ini! ISTANA INI TERLALU LUAS! "Sialan k
"Dulu kita selalu bersama, ya?" Zero menatap wajah Aquila, tangannya membelai rambut pirang teman masa kecilnya itu."Iya," Aquila menimpali. "Namun segalanya berubah saat Zeline datang." Ujarnya tanpa sadar....Tunggu.Seperti ada yang salah.EHHHH?!?!Mati! Aquila salah bicara.Bagaimana ini?!"Eh, tidak, maksudku," Aquila panik sendiri, Zero tidak akan marah, lalu mengeksekusinya karena ucapan Aquila tadi, 'kan? "Untung saja Zeline datang, jadi kau bisa bersama orang yang jauh lebih baik dariku."Aquila tersenyum kaku. Sejujurnya ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.Zero tidak bereaksi apa-apa, ia hanya menatap lurus ke arah Aquila. Ekspresinya datar.Apa Aquila salah bicara lagi?"Maksudku, kau beruntung sekali bisa menemukan Zeline. Wanita itu begitu manis dan baik hati, 'kan?" Aquila mengangkat kedua jempolnya. "Tidak sepertiku yang berwajah antagonis, kau jauh
"Bagaimana, apa tidur anda semalam nyenyak?" Zeline bertanya khawatir. "Tidurku? Ah kau tenang saja—" "Nona, saya sungguh penasaran hadiah apa yang telah anda siapkan untuk para pelayan." Zeline tersenyum. Apa ini? Apakah Zeline sengaja memotong ucapannya? Lalu ... Hadiah apa yang dimaksud? "Hadiah...?" Zeline mengangguk antusias, "iya, maksudku, bukan hadiah yang mewah, tapi hadiah sebagai bentuk apresiasi untuk para pelayan karena sudah bekerja keras." Aquila tak dapat merespon. "Oh? Nona Aquila tidak menyiapkan apa-apa, ya?" Zeline merasa canggung, "maafkan saya karena sudah bertanya, nona," "Nona Aquila sudah menyiapkan sesuatu!" Kali ini Ahn yang menjawab. Ia tidak terima Aquila direndahkan begitu saja. "Oh, begitukah?" Wajah Zeline terlihat cerah. "Aku sungguh penasaran, apa itu?" "Yang jelas, hadiah yang disiapkan nona Aquila begitu bagus!" Ahn menyahut lagi. "Wah, sesuai dugaan, n
"ALASTER?!" Alaster langsung keluar dari tempat persembunyiannya, ia mendekatkan telunjuknya ke bibirnya, memberi isyarat kepada Aquila untuk diam. "Hey, adikku, kau tidak mau para prajurit itu menangkapku, 'kan?" Alaster bertanya. "Maka dari itu, jangan berisik." Aquila mengangguk-angguk. "Kau, ada keperluan apa di sini?" Tanya Aquila berbisik. "Untuk bertemu denganmu, tentu saja," Sahut Alaster. "Memangnya apa lagi?" "Tapi kenapa harus bersembunyi di semak-semak? Memangnya tidak ada tempat lain?" Aquila bertanya keheranan. Tidak bisakah Alaster sedikit menjaga kewibawaannya sebagai seorang bangsawan? "Adikku, asal kau tahu, itu adalah tempat yang paling aman." Sahut Alaster. "Oh iya, tujuanku ke sini adalah..." Tangan Alaster terlihat merogoh isi dari tas jerami yang ia bawa. "Ta-da!" Ujarnya bangga seolah memperlihatkan sesuatu paling berharga yang ia punya. Aquila mengernyit, tapi sesuatu yang ditunjuk
"Nona Zeline," kali ini Aquila balas menatap sinis. "Menurut pendapat saya, orang yang mendekati Putra Mahkota karena mengincar hartanya, itulah yang lebih palsu." Kali ini Zeline yang terdiam. Aquila tersenyum penuh kemenangan. "Saya tahu apa yang anda rencanakan dengan Baron Aideos." Sambungnya. Zeline tak berkutik lagi. Apakah ini bisa dibilang skakmat? ... Zeline tak menjawab apa-apa? Aquila yakin, Zeline saat ini sedang terkejut dan bertanya-tanya, dari mana Aquila mengetahuinya? Tapi reaksi Zeline sungguh di luar perkiraan. "Apa? Pfffttt," Zeline menutup mulutnya, berusaha menahan tawanya. "Ah, maaf, Nona Aquila, tapi anda benar-benar lucu!" "Apa?" Tanya Aquila tidak senang. "Nona, anda tidak menganggap saya akan merasa terancam karena hal itu, kan?" Tanya Zeline. "Lucu sekali menatap wajah penuh percaya diri anda saat mengatakan hal tadi." Zeline menyeka air matanya, "ah, biar saya