"Bagaimana, apa tidur anda semalam nyenyak?" Zeline bertanya khawatir.
"Tidurku? Ah kau tenang saja—"
"Nona, saya sungguh penasaran hadiah apa yang telah anda siapkan untuk para pelayan." Zeline tersenyum.
Apa ini? Apakah Zeline sengaja memotong ucapannya?
Lalu ... Hadiah apa yang dimaksud?
"Hadiah...?"
Zeline mengangguk antusias, "iya, maksudku, bukan hadiah yang mewah, tapi hadiah sebagai bentuk apresiasi untuk para pelayan karena sudah bekerja keras."
Aquila tak dapat merespon.
"Oh? Nona Aquila tidak menyiapkan apa-apa, ya?" Zeline merasa canggung, "maafkan saya karena sudah bertanya, nona,"
"Nona Aquila sudah menyiapkan sesuatu!" Kali ini Ahn yang menjawab. Ia tidak terima Aquila direndahkan begitu saja.
"Oh, begitukah?" Wajah Zeline terlihat cerah. "Aku sungguh penasaran, apa itu?"
"Yang jelas, hadiah yang disiapkan nona Aquila begitu bagus!" Ahn menyahut lagi.
"Wah, sesuai dugaan, n
"ALASTER?!" Alaster langsung keluar dari tempat persembunyiannya, ia mendekatkan telunjuknya ke bibirnya, memberi isyarat kepada Aquila untuk diam. "Hey, adikku, kau tidak mau para prajurit itu menangkapku, 'kan?" Alaster bertanya. "Maka dari itu, jangan berisik." Aquila mengangguk-angguk. "Kau, ada keperluan apa di sini?" Tanya Aquila berbisik. "Untuk bertemu denganmu, tentu saja," Sahut Alaster. "Memangnya apa lagi?" "Tapi kenapa harus bersembunyi di semak-semak? Memangnya tidak ada tempat lain?" Aquila bertanya keheranan. Tidak bisakah Alaster sedikit menjaga kewibawaannya sebagai seorang bangsawan? "Adikku, asal kau tahu, itu adalah tempat yang paling aman." Sahut Alaster. "Oh iya, tujuanku ke sini adalah..." Tangan Alaster terlihat merogoh isi dari tas jerami yang ia bawa. "Ta-da!" Ujarnya bangga seolah memperlihatkan sesuatu paling berharga yang ia punya. Aquila mengernyit, tapi sesuatu yang ditunjuk
"Nona Zeline," kali ini Aquila balas menatap sinis. "Menurut pendapat saya, orang yang mendekati Putra Mahkota karena mengincar hartanya, itulah yang lebih palsu." Kali ini Zeline yang terdiam. Aquila tersenyum penuh kemenangan. "Saya tahu apa yang anda rencanakan dengan Baron Aideos." Sambungnya. Zeline tak berkutik lagi. Apakah ini bisa dibilang skakmat? ... Zeline tak menjawab apa-apa? Aquila yakin, Zeline saat ini sedang terkejut dan bertanya-tanya, dari mana Aquila mengetahuinya? Tapi reaksi Zeline sungguh di luar perkiraan. "Apa? Pfffttt," Zeline menutup mulutnya, berusaha menahan tawanya. "Ah, maaf, Nona Aquila, tapi anda benar-benar lucu!" "Apa?" Tanya Aquila tidak senang. "Nona, anda tidak menganggap saya akan merasa terancam karena hal itu, kan?" Tanya Zeline. "Lucu sekali menatap wajah penuh percaya diri anda saat mengatakan hal tadi." Zeline menyeka air matanya, "ah, biar saya
Bagaimana ini, sepertinya Aquila telah tersasar?! Aquila menoleh ke arah kanan dan kirinya, tadi ia sedang berjalan-jalan santai di sekeliling istana. Tapi nampaknya ia tak dapat mengingat jalan mana yang harus ditempuh, alhasil ia justru tersesat di area ini. Tidak, bukan salahnya, salah istana ini yang terlalu luas. Mata Aquila menatap salah satu kereta kerajaan yang bergerak mendekatinya. Kereta itu berhenti, turun seseorang dari dalamnya. Aquila terpaku. Orang itu ... Rambutnya yang berwarna biru muda terang serta bola mata yang berwarna biru laut. Orang itu ... Aquila tidak tahu siapa dia. Ah, ia baru tahu setelah mencarinya di dalam ingatan. Orang itu adalah Iluka de Athanasius, salah satu pangeran di kerjaan ini. Ia adalah adik dari Zero! Iluka yang menangkap keberadaan Aquila berjalan mendekat, ia mengusap rambut birunya. "Selamat pagi, kak Aquila." Iluka ter
"Bagaimana Aquila, kau melihatnya, kan?" Zero tersenyum puas, merasa bangga karena berhasil memperlihatkan kemampuannya di depan Aquila. Aquila mengernyit, kalau boleh jujur, sebenarnya ia tidak peduli. "Iya, Yang Mulia." Aquila memasang senyum palsu. Kalau orang di depannya ini bukan pewaris resmi kekaisaran, Aquila pasti sudah mengumpat di depan wajahnya. "Ah, ternyata sejak tadi nona Aquila menonton," Iluka menggaruk tengkuknya. "Aku jadi merasa malu karena belum bisa menunjukkan yang terbaik di depanmu." "Kau tenang saja, tidak perlu merasa seperti itu!" Aquila merasa tidak enak, ia tak mau tokoh favoritnya merasa rendah diri. Zero mendengus tidak senang, ia merasa bahwa sikap Aquila terhadap dirinya dan terhadap Iluka benar-benar berbeda! "Kau," Zero berucap kesal, tangannya memainkan rambut bergelombang Aquila. "Tadi kau bilang, kan, kalau aku berhasil mengalahkan adikku, kau akan memberikanku hadiah
"Nikahi Aquila supaya posisimu menjadi kuat, lalu jadikan Zeline sebagai selir setelahnya." Zero mengusap rambutnya kasar. Sejak tadi, kata-kata ayahnya itu terus saja terngiang. Zero bahkan sampai tak dapat fokus pada kegiatannya saat ini. "Kakakku, kalau kau terus melamun seperti tadi, kau bisa-bisa kalah dariku." Ucap Iluka yang sedang membidik panahnya. Cowok itu mengerahkan segala fokusnya, ia melesatkan satu anak panah. Bam! Anak panahnya mengenai angka delapan. Di sebelahnya, Zero sudah bersedia melakukan hal yang sama. Ia menarik panahnya, lalu melepaskannya. Bingo! Anak panah itu mengenai angka sepuluh! Zero tersenyum, merasa puas dengan hasil bidikannya yang akurat. "Kemampuanmu cukup mengagumkan, adikku, tapi masih belum bisa jika dibandingkan denganku," Zero menatap Iluka. Iluka tersenyum tipis, ia mengangguk. "Mari kita lanjutkan lagi permainannya." Zero meletakkan panahn
"Yang Mulia, nona Aquila menamparku!" Tubuh Aquila seketika membeku, pantas saja Zeline tiba-tiba terjatuh, Zeline sengaja membuat keadaan seakan Aquila tengah merisaknya. Aquila menatap sinis Zeline yang sedang bersembunyi di balik punggung Zero. Dasar cewek licik! "Aquila ... Benarkah itu?" tanya Zero setenang mungkin. "Tidak, Yang Mulia! Aku sungguh tidak melakukannya!" Aquila menyangkal, tentu saja, karena ia tidak melakukannya. Zeline muncul dari balik punggung Zero, "Yang Mulia, tentu saja nona Aquila tidak mungkin mengakui perbuatannya," air mata Zeline turun. Melihat sandiwara Zeline, membuat Aquila benar-benar merasa geram. "Untuk apa aku melakukannya?!" ia berseru. "Nona ... Nona marah karena Yang Mulia lebih menyukaiku, oleh karena itu nona melampiaskan semua amarahmu padaku." Zeline memiliki imajinasi yang luas, ya? "Uhm... Yang Mulia..." seseorang menginteru
Aquila sungguh tidak ingat apa yang terjadi semalam. Yang jelas, kepalanya masih terasa sangat sakit. Ahn bilang, semalam putra mahkota yang membawa Aquila ke sini, saat itu Aquila sedang dalam posisi tak sadarkan diri. Tapi tidak mungkin, kan, Zero melakukan itu? "Nona, jangan banyak bergerak," ujar Ahn yang sedang memasang anting mutiara kepada daun telinga Aquila. Aquila menurut, setelah Ahn selesai melakukan tugasnya, Aquila langsung berdiri. "Ahn, saat ini aku sedang ingin sendiri. Aku akan menuju perpustakaan untuk belajar, kalau terjadi apa-apa temui aku di sana." Tanpa menunggu jawaban Ahn, Aquila langsung keluar dari ruangannya. Cewek itu mencengkram kepalanya yang terasa berat. Aquila baru teringat sesuatu ... Ia ingat semalam mengatakan kalau ia membenci Zero. Aquila menepuk jidat. Bodohnya... Sialan, tak seharusnya ia mengatakan hal-hal semacam itu! Bag
Aquila harus banyak-banyak berterima kasih kepada Alken! Walaupun terkadang menyebalkan, nyatanya cowok itu sudah banyak sekali membantu Aquila. Seperti saat belajar bersama kemarin, dapat Aquila lihat, Alken memiliki wawasan yang begitu luas, bahasanya pun mudah dipahami. "Nona Aquila," Ahn memanggil, "para dayang anda telah tiba." Aquila mengangguk, ia bangkit dari tempatnya lalu berjalan menuju ruang tamunya. Di sana, ada tiga orang perempuan yang menunggu Aquila. Hanya satu dari mereka yang pernah Aquila lihat, dan sialnya, itu adalah putri dari Count Theta! Sialan. Kenapa harus dia yang menjadi dayang Aquila? "Salam hormat kami, nona Charles." ujar ketiganya kompak. Aquila berusaha tersenyum, jelas sekali ekspresi wajah Nona Theta yang terlihat tidak menyukainya. Aquila merasa, nona Theta adalah pendukung Zeline nomor satu! Seperti saat di pesta