Lyla dan Damian telah selesai sarapan bersama ketika pagi itu tiba-tiba Damian mendapat sebuah telepon dari Nathan."Halo, Nath, ada apa?" jawab Damian setelah menerima uluran ponselnya dari Lyla.Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Damian menjawab lagi. "Baiklah, aku akan segera ke sana," balas Damian. Setelahnya, ia kemudian memutus sambungan telepon."Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Lyla was-was.Damian tersenyum dan menggeleng. "Tak perlu khawatir, hanya beberapa masalah kecil saja di perusahaan. Semua akan segera beres saat aku turun tangan langsung. Hari ini, beristirahatlah di rumah dan tunggu aku. Mungkin aku akan pulang larut malam ini." "Aku akan menemanimu!" ucap Lyla cepat."Tak perlu, Sayang. Jangan khawatir, Ben dan Joe akan selalu ada di sampingku.""Tapi ... Damian," ucap Lyla."Tenanglah, dan tunggu aku saja, oke?" ucap Damian sambil mengusap wajah Lyla. Lyla sendiri akhirnya mengangguk walau masih ada rasa berat di dadanya.***Malam telah larut, tetapi Dami
Entah sejak kapan, tempat yang paling terasa nyaman, familiar bagi Lyla adalah bersandar di atas dada bidang Damian dan berada di dalam pelukan hangat pria itu. Ia begitu lega dan merasa sangat tenang saat jemari kokoh Damian membelainya dan memberi perlindungan yang nyaman."Jangan pernah melakukan hal ini pada wanita lain ya?" gumam Lyla.Damian tersenyum. "Memang menurutmu wanita mana yang akan kuperlakukan seperti ini selain hanya dirimu, Sayang?""Entahlah ... mungkin deretan antrian wanita yang siap menggantikanku begitu kau menendangku seperti yang pernah diucapkan oleh Felicia," balas Lyla."Aku sekarang tak akan pernah menyentuh wanita lain selain dirimu. Terlebih, kau adalah istriku. Dan hari ini aku telah mengumumkan pada semua bahwa kau adalah istriku," balas Damian.Lyla mendongak menatap Damian. "Benarkah? Apa karena itu Edric kemudian menyerangku karena begitu murka padaku?"Damian mengembuskan napasnya dan mengerucutkan bibirnya. "Sayangnya ya, karena itulah ia kemudia
Hari ini, Lyla menandatangani begitu banyak berkas-berkas terkait dengan insiden kemarin. Ya, ia harus menandatangani tumpukan berkas karena jati dirinya sebagai istri Damian telah terkuak. Lyla tak tahu apa, tetapi ia yakin ia harus mengikuti semua prosedur yang ada karena statusnya sekarang. "Kau lelah, Sayang?" tanya Damian. Ia duduk di sebelah Lyla dan menemaninya selama istrinya berkutat dengan kegiatannya itu. "Tidak, kurasa ini hampir selesai," jawab Lyla. "Kau tak ingin membaca semua isi berkas itu?" tanya Damian. "Haruskah? Maksudku, bukankah ini adalah berkas-berkas yang menyatakan aku adalah istrimu? Apakah ada yang harus aku pelajari atau semacamnya?" tanya Lyla. "Nathan tak menyebutkan itu. Ia bahkan menyerahkan semua ini dengan tampang menakutkannya," lanjut Lyla lagi Damian tergelak. "Ya, maklumilah, Sayang. Ia memang memiliki ekspresi yang tidak bersahabat. Dan tidak ada yang harus kau pelajari, itu hanya untuk prosedur umum saja. Setelah kau selesai, aku ingin me
Lyla dan Damian kembali lagi ke rumah setelah mendengar percakapan dan semua detail penjelasan yang Sammy sampaikan tadi. Walau sebelumnya Damian sering mengatakan padanya tentang keadaannya, tapi Lyla baru benar-benar menyadari betapa malangnya nasib pria itu setelah ia mendengar langsung semua kecelakaan buruk yang fatal itu dari mulut orang lain."Kau banyak diam, Sayang," tegur Damian ketika mereka memasuki kamar.Tentu saja banyak diam, karena Lyla tak tahu bagaimana ia harus menyembunyikan kesedihannya. Ya, lagi-lagi ia merasa hatinya seperti diremas dan sakit mengetahui bagaimana para orang-orang jahat itu memperlakukan Damian. Ia mengiba, tapi ia lebih merasa marah. Ia merasa tak rela dan tak adil bagi Damian untukw mengalami itu semua."Hei ... Sayang, apa yang kau pikirkan? Apa kau takut? Apa kau berubah pikiran setelah mendengar semua detail itu dari Sammy?" tanya Damian lembut. Ia kemudian membimbing Lyla untuk duduk di pinggir ranjang mereka.Damian meraih wajah Lyla perl
Sore itu, Lyla tengah bersiap dengan gaun malamnya saat Alice masuk ke dalam kamarnya. Well kamar Damian yang telah menjadi kamarnya juga lebih tepatnya."Nona ... ah, maksudku Nyonya, kau sungguh cantik dengan gaun itu," puji Alice sambil menatap Lyla penuh binar. Semenjak Damian membuka pernikahan mereka, para pelayan di rumah otomatis memanggilnya dengan sebutan nyonya."Benarkah? Terima kasih Alice, aku hanya ingin tampil sempurna karena ini adalah makan malam istimewa kami," jawab Lyla. Walau belum sepenuhnya terbiasa dengan panggilan Nyonya, Lyla tetap bersikap biasa."Aku belum melihat Tuan, apakah Tuan akan datang menjemput Nyonya?" tanyanya."Ya, Alice, Damian masih sibuk dengan urusan pekerjaannya hari ini. Sama seperti kemarin, kurasa ia akan sedikit terlambat. Walau begitu, aku sudah harus bersiap sebelumnya, bukan?" ucapnya."Tentu, Nyonya!" balas Alice. "Ini adalah sepatu yang Nyonya minta," ucapnya sambil menyerahkan dua pasang sepatu dengan warna senada. Marun dan hita
Lyla terbangun dalam balutan selimut lembut di dalam penthouse setelah ia merasakan silau dari sinar matahari yang menyelinap dari balik tirai yang berada di dekat ranjangnya.Lyla menguap dan mengerjapkan matanya sebelum akhirnya bangkit dan duduk. Ia begitu heran saat mendapati Damian tak ada di sampingnya. Kelopak-kelopak mawar yang berserakan menjadi saksi satu-satunya tentang keberadaannya semalam.a"Damian, apa kau sedang di dalam kamar mandi?" panggilnya sambil kemudian melompat dan bergegas menuju ke dalam kamar mandi. Tapi ia tak dapat menemukan Damian."Damian, Sayang, kau di mana?" panggilnya lagi. Lyla mulai panik dan memburu ke segala arah. Tapi walau begitu Damian masih tak dapat ia temukan.Ia akhirnya meraih telepon yang tersambung untuk pelayanan kamar. Ia menanyakan perihal suaminya yang mungkin telah pergi meninggalkan hotel atau semacamnya. Tapi, bahkan para petugas hotel pun tak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan.Lyla kemudian bergegas meraih ponselnya dan
"Apakah kau sudah merasa lebih tenang?"tanya Nathan.Wanita berambut cokelat dan bermata teduh itu mengangguk. Lyla menatap Nathan dengan raut yang masih menunjukkan kekhawatiran."Lyla, untuk saat ini, bisakah kau menenangkan diri agar dapat berpikir lebih rasional? Setidaknya dalam rekaman kamera pengawas terlihat bahwa Damian baik-baik saja saat keluar dari kamar. Ia pasti tahu siapa yang ditemuinya hingga memutuskan untuk keluar melalui tangga darurat. Dan jika perkiraanku tepat, mungkin Damian memang merencanakan ini. Atau ... maaf jika memang sepertinya ada kemungkinan terburuk lainnya," gumam Nathan.Lyla membulatkan kedua matanya. "Apa maksudmu? Please ... jangan katakan jika Damian sedang dijebak, disekap, atau semacamnya ...," ucapnya memohon."Tidak ... kita semua berharap ia akan baik-baik saja. Sekarang, yang harus kau lakukan adalah menjalankan semua yang diinginkannya sebelum ia menghilang. Tolong, ingat-ingat lagi apa yang pernah ia ucapkan sebelumnya," ucap Nathan ser
Lyla melangkah keluar kamar dengan terusan formal miliknya. Kemeja satin dan rok span senada menjadi piihan bajunya untuk menghadiri rapat para direksi pagi ini. Ia telah bersiap dengan bajunya serta mengenakan riasan ringan yang segar. Rambutnya ia tata ponytail rapi hingga berkesan praktis, profesional, dan simpel."Kau sudah siap? Ada yang sedang menunggumu di bawah, bersiaplah dengan 'kejutan' pagi ini yang tampaknya akan menyenangkan," ucap Allen. Ia yang tadinya menunggu Lyla di sofa depan kamarnya, kini beranjak mendekatinya. Allen yang sebelumnya juga sudah terlebih dahulu rapi dengan setelan jasnya dan berkas-berkas dalam tas kerjanya, mulai berwajah serius."Apa maksudmu?" tanya Lyla sambil mengerutkan alisnya."Madison," jawab Allen singkat. "Ah ... ya, aku mengerti," decaknya dengan sedikit mendesah kesal. "Apa lagi kali ini?" ucapnya dengan nada penuh tanya.Allen mengangkat kedua bahunya. "Masalah, yang pasti. Tapi walau begitu, kita tetap harus menghadapinya, bukan? Ka