“Anda penipu! Bukankah kemarin Anda menelpon saya, dan bilang bahwa saya telah diterima bekerja di sini. Kenapa sekarang tidak?!!” Suara Agil gemetar menahan amarah. Otot dadanya menyempit hingga lelaki kerempeng itu susah bernapas.
“Maaf, itu perintah atasan kami. Saya tidak bisa berkutik.” Lelaki botak itu lantas memberikan map merah pada Agil dengan wajah membantu.
“Ini keterlaluan! Anda telah mempermainkan hidup saya,” ujar Agil. Dia berusaha membela diri dan memperoleh haknya.
Pria selaku Manager HRD itu melipat tangannya di depan dada. “Anda tahu jalan keluar kan? Maaf, saya masih banyak urusan,” ucapnya tanpa setitik simpati.
Agil mendengkus kesal, ingin sekali ia meraih gelas yang berisi kopi di atas meja tersebut lalu melemparkannya pada lelaki di hadapannya itu. Tapi… nyalinya ciut. Pria itu hanya bisa menunduk dan keluar kantor dengan raut merana.
Menyusuri trotoar, langkah Agil limbung melewati sekumpulan penjual kaki lima yang berderet menjajakan dagangan. Hatinya sangat sensitif. Ia muak mendengar sapaan dan senyuman para pedagang.
Senyum itu seolah mengejek dirinya untuk menerima kenyataan pahit tentang hidupnya. Ia kian frustrasi, hingga isi perutnya mendesak keluar dan memuntahkannya tepat di samping penjual bubur ayam yang sedang sibuk melayani pembeli.
Penjual bubur ayam itu melotot pada Agil, “Waduh! Rugi bandar kalo begini. Lihat-lihat dong kalo mau muntah,” ujar penjual bubur itu dongkol karena pembelinya ngacir.
Agil menangkupkan kedua tangannya, minta maaf. Kemudian kembali berjalan sambil menertawakan nasibnya, “Hahahahaha, beginilah nasib orang miskin, punya predikat Cum Laude, tapi tak bisa membantu mendapatkan pekerjaan!” Pria itu terus berjalan tanpa tujuan hingga senja turun, membawa serta mendung tebal yang siap-siap tumpah.
Sedetik kemudian, titik-titik air hujan menampar tubuh pemuda ceking itu dengan kasar. Tubuhnya basah kuyup. Mata Agil memerah darah, menggerogoti seluruh emosi yang selama ini rapat disimpannya. “Apa yang harus ku katakan pada Ibu nanti?” gumamnya lara. Ia tak sanggup melihat ibunya bersedih.
Agil melemparkan mapnya ke selokan dengan murka. Map itu tersangkut pada tumpukan ranting pohon, di sebelah sepatu boots merah. Mulutnya terus menggerutu dan sesekali memaki, “Tuhan, aku muak dengan hidup ini!” Pikirannya buntu, dia merasa tak berguna.
Bertahun-tahun dalam dekapan kemiskinan, membuat dirinya terlampau lelah. Agil sudah putus asa menerima kemalangan dan ketidakadilan. Lantas, pria itu menyeret kakinya ke jembatan penyebrangan. Ia ingin mengakhiri perjalanannya di sana.
Pelan-pelan, ia menaiki tangga jembatan penyebrangan. Suasana di sekitar jembatan penyebrangan tampak sepi, meski begitu jalan di bawah sana tampak ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Saat tubuhnya menyentuh aspal, pasti mobil-mobil itu akan dengan cepat mengoyak tubuh kurusnya. Mungkin akan sangat sakit pada awalnya, tetapi kepedihan itu tidak akan berlangsung lama.
“Ibu maafkan aku,” ucap Agil sedih. Diusapnya air mata yang mengalir deras di pipinya. Dia memejamkan mata dan bersiap melompat terjun dari jembatan penyeberangan. Ia berharap dengan tindakan ini semua masalahnya akan segera hilang.
Pria itu tidak akan lagi menanggung beban yang tak berkesudahan. Sungguh, ia bosan dengan kemelaratan. Dunia ini sangat tidak adil meski dirinya sudah berusahan dengan semua hal yang ia bisa.
Agil tertawa, “Tuhan, kenapa dunia tak adil? Aku udah mati-matian berusaha, tapi nggak pernah sekalipun berhasil!”
Agil kian dekat dengan batas jalan. Pria itu melihat pada padatnya lalu lintas jalan. Hanya dengan satu langkah, semua kemalangan dan kesialannya akan hilang. Setan di kepalanya terus merayu dengan penuh semangat, memberi gambaran jika mati adalah pilihan tepat.
“Ya, aku harus melakukannya,” gumamnya dengan seringai lebar, dia menarik napas panjang, sebentar lagi deritanya usai. 1…2...3 dia mulai menghitung.
Tapi… tiba-tiba benda keras menghantam kepalanya, membuat badan cekingnya terhuyung ke samping. Sebelum itu, dia melihat ada seorang gadis anggun menghampirinya dan memegang tangannya kuat. Rambut panjangnya menggelitik lembut pipi Agil. Semerbak harum bunga melati menyelimutinya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa.
Agil tak ingat, berapa lama ia pingsan. Hingga samar-samar pria itu mendengar namanya dipanggil. Pelan-pelan pria itu membuka matanya. Cahaya lampu dan ruangan putih membuatnya kebingungan. “Apakah ini surga?” tanyanya serak. “Tapi, kenapa bau obat?” Lelaki itu menoleh ke kiri, tampak ibunya sedang menyusut air matanya. Dan di sebelah kanannya ia melihat sesosok laki-laki yang…
Ibu memeluknya kuat. “Alhamdulillah Gusti, anak kesayanganku sudah sadar. Kami semua mengkuatirkan kamu!” kata Ibu lega.
“Kenapa aku di sini, siapa yang membawaku?” tanya Agil mengeluh. Dirinya kesal masih hidup.
“Arif yang menemukanmu. Apa kamu masih ingat Arif Wicaksono, sahabatmu dulu waktu SMP. Dia yang membawamu ke rumah sakit.”
Agil mengangguk dan menyunggingkan senyum terpaksa, “Tapi di manakah gadis yang menyelamatkan aku, Bu?” tanya Agil gusar.
“Lho, kok malah nanya orang lain. Setahu Ibu, yang menyelamatkan kamu adalah Arif.” Perempuan itu menoleh pada Arif, “Betul kan, Nak Arif?” Dia merupakan anak blasteran Jawa-Australia.
“Iya, aku menemukanmu di tepi jembatan. Kepalamu terluka dan aku langsung membawamu ke rumah sakit. Setelah itu menjemput ibumu,” balas Arif. Ia menyandarkan tubuh atletisnya ke dinding. Meski tampak lelah, ketampanannya masih terpendar di wajah bulenya. Dia kelihatan gagah dengan setelan jeans, kemeja biru serta sepatu kets putih.
Agil memejamkan matanya. Berulang kali mencerna kejadian semalam. Sebelum pingsan ia terkenang ada tangan seorang gadis yang mencengkram lengannya kuat agar ia tidak terjatuh dari jembatan penyebrangan. Ia yakin gadis itu yang telah menyelamatkannya, “Siapakah dia?” ucapnya mengambang.
Pria itu membuang napas berat. “Terima kasih, Rif.” Hanya kata itu yang mampu diucapkannya. Dirinya belum rela, kenapa Arif tak membiarkannya tergeletak di sana dan mati kehabisan darah, supaya dia tak menyakiti hati ibunya. Tapi, kalimat itu tertahan di tenggorokan.
“Kamu kenapa, Nak? Adakah beban yang memberatkan hatimu?” tanya Ibu dengan tatapan sayang. Dirinya tahu, ada sesuatu yang menghimpit dada anak lanangnya. Sehingga Agil selalu menghindari tatapan matanya.
Ada gerimis di mata Agil. “Mereka menipuku. Bu! Mereka memberikan posisiku untuk keponakan atasan mereka,” ungkap Agil geram. Kedua tangannya mengepal menahan emosi. Ia mengetahuinya secara tak sengaja saat berada di toilet.
“Sabar, Nak. Mungkin itu bukan rezekimu. Inshaallah nanti ada rezeki yang lebih baik.” Ibu mengelus tangan Agil, menutupi rasa gundahnya. Kesulitan-kesulitan yang mencambuknya, membuat perempuan berhati lembut itu terbiasa menghadapi dengan senyum, tanpa beban, tanpa complain. Semua diterimanya dengan legowo dan ikhlas.
Sedangkan Agil, matanya terpaku pada sosok seorang gadis di belakang Arif. Wajahnya pucat, seperti mayat. Rambut ikalnya terurai panjang, serta poni yang dipotong rapi. Gadis itu menatapnya dengan tatapan sendu. Agil terus memperhatikan mulai dari atas hingga kakinya yang memakai separu boots merah. Deg!
Rumah Agil tampak sunyi. Meski mentari telah menumpahkan sisa panas melalui daun-daun jambu air. Pohon jambu kesayangan Ibu, yang telah merekam sejuta memori di rumah sederhana itu. Bapak yang menanam pohon jambu, sebagai hadiah ulang tahun perkawinan mereka yang pertama. Mungkin karena dirawat dengan cinta, pohon ini selalu berbuah lebat. Ibu suka membaginya ke tetangga. Tapi, ada pula tetangga yang masih kurang dan tidak malu mengambilnya tanpa permisi lalu menjualnya ke pasar. Agil pernah menegur mereka. Parahnya mereka tidak merasa bersalah. “Halah, wong cuma jambu air kok pelitnya minta ampun.”Setelah itu, ia dan Ibu males menghadapi. “Biarin aja, mungkin mereka sedang butuh uang,” ujar Ibu gusar. Padahal saat itu Ibu sedang butuh uang untuk biaya berobat almarhum Bapak. Sama seperti sore ini, ada 3 o
Pemuda itu menggeliat, menggulingkan badannya ke samping dan mulutnya menguap lebar. Matanya masih mengantuk tapi masih sempat melirik jam weker di atas mejanya. Jam 4 pagi. Pemuda itu melompat dari pembaringannya, menyiapkan peralatan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Dia tak mau datang terlambat.Perutnya mules, bergegas ia pergi ke kamar mandi yang berada di luar rumah. “Aduh!” Pria itu mengaduh. Kaki kirinya terantuk lumpang batu yang biasa Ibu pakai untuk menumbuk kopi. Di luar gelap gulita karena lampu penerangan di sana mati.“Hihihi… makanya kalau jalan jangan meleng dong.” Suara tawa perempuan membuat bulu kuduk pria itu berdiri tegak. “Kuntilanak sialan,” sungutnya dongkol. Tangan lelaki itu mencari kerikil di sekitar kakinya lalu melemparkannya pada bayangan putih di dekat pohon pisang. Bayangan itu masih di sana, diam.&n
“Sial!” rutuk Agil, saat mengetahui ban motor belakangnya kempes. Ada paku besar menancap disitu. Matahari sudah mulai turun, sebentar lagi gelap dan posisinya berada di tengah persawahan. jauh dari pemukiman penduduk.Ini sepenuhnya kesalahannya. Waktu berangkat tadi. Ia sudah tahu bannya agak kempes tapi ia tak peduli dan malas untuk mengecek. Agil memegang lehernya gelisah, sambil berpikir bagaimana membawa motor Yamahanya. Situasi begini, ia sangat mengharapkan kehadiran seseorang. “Perlu bantuan?” Pertanyaan yang entah darimana datangnya. Sepertinya datang dari arah belakang. Ia terperanjat hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terperosok ke parit. Sepatu ketsnya basah. Pria itu geram, merasakan air merembes di celana dalam dan blue jeans yang ia pakai. Konyolnya sekarang ia kelihatan s
Rumor teror hantu, rupanya telah menyebar di kantor iNiRice. Desas-desus miring adanya permintaan tumbal, membuat suasana mencekam. Produktivitas kerja menjadi lebih lamban, karena ada beberapa staff wanita yang kerasukan. Setelah itu mereka bersama-sama mengundurkan diri dengan alasan takut. Kejadian yang bertubi-tubi membuat emosi Arif naik. Kesalahan sepele bisa membuat amarah pria itu meledak.Sore itu, Agil hendak masuk ke ruangannya setelah seharian keliling melihat proyek pertanian yang mereka garap. Di depan pintu dia tercekat ketika mendengar suara tinggi Arif sedang memarahi seseorang. “Kenapa kopinya pahit? You punya telinga nggak?” Belum hilang kekagetannya. Dia menden
“Di sini pengap, aku kedinginan dan ketakutan, Gil.” Gadis itu menangis dan berjalan tertatih-tatih berusaha meraih Agil. Wajahnya kesi, sebagian daging pipinya terkelupas memperlihatkan tulang di dalamnya.“Tidak! Tidak! Aku tak bisa membantumu, Bulan!” teriak Agil histeris. Teriakannya membangunkan Ibu, Ibu menggoncang-goncangkan tubuh Agil. “Bangun Gil!” Keringat dingin membasahi tubuhnya, mimpinya tadi seperti nyata. Beberapa kali pria itu menarik napas dalam-dalam, Ibu mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Agil. “Maukah kamu menceritakan mimpimu pada Ibu?” kata Ibu. Dia bisa merasakan keresahan hati anaknya.
Agil merasakan perutnya melilit ketika melihat Arif berdiri di samping Ibu. Penampilan pria itu amat payah, baju kumal, muka brewok, mata kuyu serta rambut acak-acakan seperti zombie. Pemuda itu enggan bertemu Arif yang telah melecehkannya. Kakinya gelenyar, ia hendak menghindar, tapi tak enak dengan tatapan Ibu. Ketegangan mulai menyusup mengaliri darahnya. Tetapi dia paksakan untuk bersikap biasa saja. “Hi… apa kabar?” tanyanya basa basi. Agil menarik mulutnya ke atas membentuk senyum palsu. Arif tampak canggung, badannya kaku. Pria itu lebih banyak menunduk, seperti pesakitan menunggu vonis mati. “Maafkan kesalahanku Gil. Tolong kembalilah bekerja denganku, aku tak sanggup menangani iNiRice sendirian,” jawab pemuda itu terbata-bata, egonya runtuh berceceran. Kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Lelaki itu tertegun, dia tak menyangka problem iNiRice separah itu sejak kepergiannya. Ada 200 orang lebih yang menyandarkan hidupnya di sana.
“Kamu sudah jadi milikku, cantik, tak usah malu-malu ayo lepaskan pakaianmu!” bujuk Ronald penuh nafsu. Matanya liar menelusuri tiap jengkal tubuh montok di hadapannya. “Sabar dulu, Om, bukankah kita baru sampai, bagaimana kalau kita melakukan permainan dulu,” ucap Chandra menolak membuka bajunya. “Em, misalnya foreplay.” Bah! Memangnya permainan foreplay seperti apa? Apakah semacam permainan kartu, tebak-tebakan atau gundu… entahlah! Ia tidak tahu. Gadis itu menguping dan meniru apa yang di katakan Mba Sri dengan teman lelakinya. Mba Sri adalah saudara jauhnya yang mengajaknya mencari pekerjaan di kota. Sebagai gadis dusun, Chandra mengagumi penampilan Mba Sri yang wah. Ia seperti artis, kulit Mba Sri terawat dan selalu memakai bedak, make up tebal serta bulu mata lentik yang membuat mata
Mata Chandra lelah setelah memainkan hape pemberian Agil. Gadis itu menoleh ke samping ke ranjang teman sekamarnya. “Halo Tante,” sapa Chandra ramah ketika melihat tangan perempuan itu merapikan selendang biru yang dipakainya. Perempuan itu menoleh, wajahnya amat pucat dan badannya kurus. Mata mereka bertemu. Tanpa di duga wanita itu histeris saat melihat Chandra. Dalam hitungan detik perempuan itu sudah berada di sampingnya dan merengkuh kepala Chandra, lalu mendekapnya erat hingga membuat gadis itu susah bernapas.Jantung Chandta terkesiap. Perempuan itu menciumi Chandra dengan terus meratap. “