Bunyi debum mobil yang ditabrak oleh sebuah truk besar terdengar begitu keras. Teriakan empat orang yang ada dalam mobil begitu histeris.
"Aaa!!!" teriakku seketika saat bayangan sebuah mobil itu mengarah dan menabrakku.Teriakan itu berbarengan dengan tersadarnya diri ini dari mimpi buruk. Aku terbangun dengan peluh yang telah membasahi tubuh. Jantung berdetak lebih cepat bak dentuman meriam yang meledak-ledak.Ah, lagi-lagi mimpi yang sama. Aku pun tak mengerti kenapa mimpi yang sama selalu datang menghampiri tidurku. Sudah hampir delapan tahun bunga tidur yang aneh terus hadir menghias pikiran alam bawah sadarku.Aku Darren, usiaku hampir genap 18 tahun dan sedang menyelesaikan pendidikan di SMA Elite di kotaku, aku masih duduk di kelas XII. Aku termasuk anak yang cukup populer di sekolahku. Tak hanya memiliki wajah tampan, namun prestasiku juga dapat dibanggakan.Beberapa kali memegang sabuk juara pertama karate tingkat nasional dan tahun kemarin masuk dalam tiga besar juara Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika.Sebenarnya pada saat sang mentari mulai muncul bertahta aku sangat menikmati hari-hariku. Namun, ketika malam menjemput maka ketakutan akan hadirnya mimpi yang terus berulang membuat diriku sering mengalami insomnia.Sungguh aku tak mengerti kenapa bayangan mengerikan itu terus saja hadir membayangi malamku. Terkadang muncul sesosok wanita yang aku sendiri tak tahu dia siapa. Entah kenapa sudah beberapa kali ia menyapaku dalam mimpi nan indah.Saat usiaku masih sepuluh tahun, bayangan gadis itu hanya samar-samar. Tetapi entah sejak kapan wajah gadis yang hadir dalam mimpi itu semakin jelas. Senyum yang ia ulas, belaian tangan di pipi yang ia beri, dan bisikan di gendang telinga pun semua serasa nyata."Darren ... bangun, Sayang!" Sebuah suara dari luar kamar membuyarkan lamunanku.Kuseka peluh di dahi, kemudian melepas kaos yang telah basah karena peluh membanjiri tubuh. Melirik penanda waktu di atas nakas, ternyata sudah menunjukkan pukul 17.35 dan mentari mulai berpamitan di kaki langit sebelah barat."Darren, sudah sore. Bangun, Sayang. Segera mandi." Kembali suara khas mama yang lembut."Iya, Ma. Sebentar lagi Darren mandi dan turun.""Yang cepet, ya? Kamu dari pulang sekolah belum makan.""Iya, Mama sayang.""Mama tunggu di bawah.""Iya, nanti Darren segera turun."Kebiasaan mama yang sering khawatir kalau anak semata wayangnya ini tidak mau menyentuh masakannya. Mama akan berusaha merayuku dan memasakkan apa yang menjadi makanan kesukaanku.Di rumah ini, aku mendapatkan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuaku. Memang, sih, mereka terkadang over protektif. Tapi aku mencoba mengerti, meski dulu seringkali aku protes dan tak mau menurut.Bertambahnya usia, mama dan papa sering menceritakan masa kecilku dan juga perjuangan mereka untuk mendapatkan buah hati. Aku adalah anak yang mahal. Hampir delapan tahun pernikahan, mama barulah dinyatakan positif setelah melakukan rangkaian program hamil.Sesuai permintaan mama, selesai mandi aku segera turun ke bawah. Aroma ikan goreng dan sambal tomat kesukaanku menguar menggoda indera pembau. Kulihat selada dan mentimun ikut mendampingi ikan kakap yang telah berubah warna menjadi keemasan."Wah, Mama memang paling hebat. Tahu aja makanan kesukaan Darren, Ma.""Iya, donk, Sayang. Udah, hayuk makan. Mumpung semua masih anget."Aku segera duduk dan mengambil piring kemudian mengisinya dengan dua centong nasi. Sepotong ikan, lalapan, dan sambel melengkapi makan malam yang merangkap makan siang tadi."Papa belum pulang, Ma?""Belum. Dua hari lagi kerjaan Papa baru selesai.""Ma ...." panggilku ragu-ragu."Iya, ada apa?""Darren sering mimpi."Mama mengernyitkan dahi. Mungkin baginya mimpi itu sudah biasa. Ia tak tahu jika anak emasnya ini hampir tiap malam ketakutan karena mimpi yang sama dan terus terulang."Ma, Darren serius. Mimpi Darren selalu sama dan itu sudah sejak lama. Saat Darren usia sepuluh tahun hingga sekarang." Aku mencoba meyakinkan mama."Maksud kamu ...." Wajah itu semakin memperlihatkan garis lipatan pada dahi."Iya, Ma. Dalam mimpi Darren ada seorang gadis yang sering datang menyentuh pipi Darren, kemudian dia tersenyum.""Lalu?""Tapi yang aneh ... gadis itu hanya tersenyum saat menatap Darren, kemudian berbisik sesuatu ke telinga Darren. Terkadang di lain mimpi ia terlihat menangis, sorot matanya penuh kesedihan."Mama bergeming mendengar penjelasanku. Memang terdengar aneh, tetapi itulah yang aku alami."Gadis itu berbisik apa?" Mama sepertinya mulai tertarik dengan ceritaku."Entahlah, Ma. Itu yang Darren hingga sekarang tak mampu mendengar apa yang dibisikkan oleh gadis itu."Mama kembali menatapku lekat, dari raut wajahnya ada sorot antara percaya dan tidak. Bola mata ini tampak tak fokus, seperti ada yang dia pikirkan."Selain itu, Darren juga mimpi ada mobil yang hendak menabrak Darren, Ma."Mama mengernyitkan dahi mendengar penuturanku. Tampak ia berpikir, "Lain kali berdoa dulu kalau mau tidur, ya?" Setelah menunggu beberapa menit hanya itu tanggapan mama."Tapi, Ma ....""Mama bawa piring ke dapur dulu. Nggak ada Bi Atin kayak gini Mama yang repot sendiri," ujar mama seolah mengelak."Memangnya Bi Atin ke sini lagi kapan, Ma?" tanyaku setengah berteriak karena wanita yang telah melahirkan aku itu sudah berada di dapur yang berbatas sekat dinding dengan ruang makan.Sejenak tidak ada sahutan dari mama, sepertinya ia tengah menyelesaikan cucian piringnya. Aku mengalah untuk mendekatinya, kemudian mengulang pertanyaan."Katanya, sih, hanya satu minggu. Berarti besok sudah pulang, tadi Bi Atin telepon Mama hanya untuk minta ijin bawa keponakannya," ujar mama sembari tangannya sibuk mencuci gelas dan piring."Memangnya keponakan Bi Atin kenapa?""Bi Atin bilang, bapaknya si anak itu pengen banget anaknya sekolah di kota. Biar banyak pengalaman terus nanti kuliah.""Ooh ... memang kalau di desa nggak banyak pengalaman?""Beda lah, Darren. Kalau di kota, wawasan seseorang akan mudah terbuka dibandingkan jika tinggal di kampung."Aku terpegun dan hanya manggut-manggut. Aku sendiri belum tahu bagaimana kehidupan masyarakat di kampung. Seumur-umur orang tuaku tak pernah mengajakku untuk melihat langsung bagaimana kehidupan di sana.Hanya saja dulu waktu masih sering menonton televisi petualangan bocah kecil itu, kurasa kehidupan di kampung sangat menyenangkan dan seru. Bahkan aku pernah memaksa mama dan papa untuk mengajakku liburan di desa Bi Atin. Jawabannya sudah jelas, pasti ditolak mentah-mentah oleh mereka.Kata Bi Atin, tinggal di kampung itu damai. Nggak ada kebisingan seperti di kota. Ingin menikmati jagung bakar tinggal petik dan bakar sendiri, ingin makan buah juga tinggal petik. Kubayangkan kehidupan di sana begitu simple tak banyak tuntutan.Ting tong!Terdengar bel pintu depan ditekan, pertanda ada tamu."Biar Darren yang bukain, Ma," usulku saat melihat mama mencuci tangan dan hendak mengelapnya.Aku bergegas keluar untuk membuka pintu. Ternyata Bi Atin, asisten rumah tangga yang telah lama ikut keluargaku."Panjang umur kamu, Bik. Baru juga diomongin udah muncul aja.""Iya, Den Darren. Sengaja pulang sekarang biar besok bisa ke sekolahan Den Darren.""Untuk apa?" tanyaku sembari menyipitkan mata."Mau daftarin keponakan Bibi, Den.""Mana keponakannya?"Tampak Bi Atin celingukan bingung mencari ponakannya. "Meisya! Meisya!"What? Nama gadis desa itu Meisya? Keren amat namanya untuk seukuran gadis desa.Bi Atin meletakkan tas yang ia tenteng, kemudian keluar pagar sembari memanggil nama Meisya. Aku menyusul di belakang wanita paruh baya itu, berharap bisa membantunya.Namun, baru saja kepala ini melongok ke luar pagar tetiba retinaku menangkap bayangan sesosok gadis berambut panjang dan ....Duniaku serasa terhenti seketika saat melihat gadis yang muncul dari tikungan dekat rumah. Aku berasa dejavu. Ya ... dia, gadis yang saat ini membuatku berdiri terpegun adalah dara yang selalu hadir dalam mimpiku.Bola manikku membulat dengan mulut terngaga, bukan karena terpesona, melainkan lebih pada keterkejutan yang teramat sangat.Tuhan, pertanda apakah ini?"Maaf, Bulik. Aku terpaksa ngejar taksinya," tutur gadis itu dengan napas tak beraturan."Lho, kamu ini. Taksi kok dikejar.""Iya, Bulik. Ponsel aku ketinggalan di dalam taksi.""Oalah, Nduk. Kamu ini masih muda, kok sudah pelupa. Masih untung taksinya bisa dikejar.""Iya, Bulik. Eh, Bulik ... itu siapa, kok, lihat aku sampai nggak kedip, gitu?"Aku yang sejak tadi terpegun memperhatikan gadis itu segera tersadar karena mendengar ucapan dia yang blak-blakan. Logat medok Jawa khas gadis desa terdengar aneh di telingaku.Secara wajah, dia memang mirip gadis yang sering menemuiku. Tapi secara logat ... teramat jauh beda. Benar-benar aneh bagiku karena semua seolah menjadi dejavu."Ini Den Darren, anak majikan Bulik." Bik Atin memperkenalkan keponakannya yang terkesan norak itu.Dengan percaya diri, gadis bernama Meisya itu mengulurkan tangan meraih tanganku. Tanpa malu-malu ia memperkenalkan diri terlebih dahulu. "Kenalin Mas Darren, aku Meisya Anindya Ningrum anak dari Pak Joyo Diwiryo
Sudah seminggu gadis cantik itu tinggal bersama keluargaku. Anehnya, semenjak kehadiran dia di rumah ini, malam lelapku tak lagi bermimpi tentang dirinya. Ketenangan bisa lebih kurasakan, bahkan rasa nyaman saat menatap wanita itu begitu nyata hadir dalam relung batin. Aneh memang, tapi semua itu sungguh nyata.Seperti hari ini, kulihat ia begitu anggun memesona dalam balutan pakaian seragam putih abu-abu dengan rambut digerai dan ada kepangan kecil dari belahan tengah rambut menyamping di kedua sisi. Tak tampak seperti gadis desa, ia justru bak tuan putri yang mengalihkan duniaku. Entah sejak kapan tanpa aku sadari ada pendar asmara yang mulai mengusik istana hatiku yang telah lama kosong.“Meisya, hari ini kamu sudah mulai berangkat sekolah, ‘kan?” tanya mama yang melihat Meisya telah menggendong tas ransel dan membopong beberapa buku dalam dekapannya.“Iya, Nyonya. Aku sudah seperti anak kota belum, Nyonya?” tanyanya seraya memacak diri meminta pendapat.Mama tersenyum melilhat tin
“Mas Darren, dia siapa, sih?” tanya Meisya dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Sudah jangan banyak tanya. Sebentar lagi bel masuk, buruan aku antar kamu ke kelas.” Dengan sedikit kasar kutarik tangannya menuju ruang kelas tempat ia akan belajar.“Ini kelas kamu, nanti saat istirahat jangan mencoba mencari aku!” titahku saat ia sudah ada di depan kelasnya.“Kenapa, to, Mas Darren? Takut aku minta dijajanin, yo?”“Udah, jangan banyak tanya!”“Iya.”Tanpa menunggu ia masuk kelas, aku sudah melenggangkan kaki pergi meninggalkan Meisya yang mungkin saat ini masih deg-degan di lingkungan barunya. Lebih baik aku jaga jarak dengan dia karena tak ingin gadis lugu itu terkena masalah dari Alea yang terus saja cemburu kepada setiap gadis yang mendekatiku.Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia melakukan perundungan terhadap Jenny si cewek cupu namun smart yang sering menghabiskan waktu bersamaku di meja perpustakaan.Aku memang nyaman saat diskusi dengan gadis berkaca mata tebal itu. Banyak i
Mentari telah condong ke arah barat saat kaki ini melangkah keluar dari pintu gerbang sekolah. Rasa lelah memaksaku ingin cepat sampai di rumah dan merebahkan diri.Beruntung sopir yang bertugas menjemputku telah standby di tepi jalan dekat dengan gerbang sekolah. Hanya saja kejadian menyebalkan membuatku ingin marah.“Den Darren, Meisya belum pulang?” tanya sopirku sembari melongok keluar jendela mobil.“Mungkin sebentar lagi, Pak Jo. Kita tunggu aja.”“Baik, Den. Den Darren kayaknya capek banget, pelajarannya susah, ya, Den?”“Pelajaran, mah, gampang. Yang bikin capek itu adalah kegiatan mikirnya, Pak Jo.”“Oh, begitu … maklum, Den. Dulu Pak Jo sekolahnya hanya sampai SMP saja,” ujar pria setengah baya itu diiringi tawa kecil.Kulirik penanda waktu di pergelangan tangan. Sudah hampir lima belas menit aku menunggu Meisya, tapi tak tampak juga batang hidungnya. Apa jangan-jangan ia nyasar dan tak tahu jalan pulang?Atau … ah, Alea! Jangan- jangan Meisya dihadang oleh Alea and the geng
Perjalanan pulang sekolah akhirnya sampai juga, mobil memasuki halaman rumah berpagar besi yang cukup tinggi menjulang. Pak Dalim yang bertugas sebagai sekuriti bergegas menutup kembali pintu gerbang setelah mobil masuk.Kulihat mama yang masih sibuk dengan tanaman bonsai, ia melakukan pekerjaannya dengan dibantu Bik Atin. Melihatku turun dari mobil, mama langsung menghambur dan memelukku seperti biasa. Tak hanya sekedar memeluk, tapi juga mendaratkan kecupan di kedua pipi ini.“Kok pulangnya telat, Sayang? Mampir dulu ke mana?”“Gadis kampung pakai acara ngilang, Ma!”Mama mengernyitkan dahi, “Kok, ngomongnya begitu?”“Habisnya Darren sebel, Ma. Aku, tuh, lagi capek banget. Eh, malah dia asyik ngelayap dengan cewek sok populer itu!”“Anak Mama kenapa, sih? Nggak biasanya jutek begini.”“Udah, ah, Ma. Darren mau mandi terus ke roof top. Suruh Bik Atin bawain camilan dan secangkir kopi latte kesukaanku, ya, Ma. Serius Darren lagi capek hari ini.”“Iya. Sudah sana masuk,” ucap mama semba
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”“Oh, begitu.”“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”“Tapi kata Darren ….”“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumo
Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”“Kemana, Mas?”“Ke kafe.”“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa ka
“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen s