"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Mas, aku ikut ke rumah Ibu, ya?" "Jangan, Tsa! Sudah, kamu diam di rumah, biar aku yang pergi ke sana.""Tapi, aku juga mau tahu keadaan Ibu," cetusku lagi. Pasalnya, tadi Mas Rendra mendapatkan kabar jika Ibu sedang sakit, dan sekarang suamiku akan pergi ke Jakarta. Namun, seperti biasa dia melarangku ikut. Dia akan pergi seorang diri, tanpa membawaku ke rumah ibunya.Mas Rendra berdiri dengan tegak seraya melihatku lekat. Dia menghentikan aktivitasnya yang tengah mengemasi dompet dan ponsel ke dalam tas kecil miliknya. "Ikut ke rumah Ibu, ya?" pintaku lagi membalas tatapan matanya. "Ibu juga pasti seneng, kok kalau aku datang menjenguknya."Mas Rendra mengembuskan napas kasar. Dia memegang kedua pundakku dengan tidak mengalihkan pandangan. "Tsa, aku bukan tidak ingin membawamu. Tapi—""Keadaan rumah Ibu yang kumuh, kotor dan bau?" Aku memotong ucapan Mas Rendra yang kuhafal di luar kepala. "Aku tidak masalah dengan itu, Mas. Justru dengan adanya aku, aku bisa bantu beresin ruma
"Katamu rumahnya jelek, kumuh. Kok, ini bagus banget?" Sabrina kembali bicara saat aku memindai bangunan rumah yang ada di depan sana. Meskipun Sabrina berhenti sedikit jauh dari mobil Mas Rendra, tapi bangunan di depan sana terlihat begitu jelas. Dan benar kata temanku. Tidak jelek, tidak kumuh dan kotor seperti yang selalu Mas Rendra katakan padaku. Lagi, pikiranku semakin buruk pada Mas Rendra, yang ternyata telah membohongiku. Dia berdusta mengenai rumah orang tuanya. Yang dia katakan buruk, ternyata tidak benar adanya. Justru rumah Ibu sangat bagus dan bersih. Meskipun bukan di perumahan, tapi cukup bagus untuk ukuran hunian yang berada di dalam gang. Bahkan rumah itu menjadi bangunan paling besar di antara rumah-rumah yang ada di sekitarnya. "Tsa, lihat si Rendra. Dia membawa belanjaannya ke rumah," ujar Sabrina mencolek pahaku. Aku memajukan tubuh semakin ke depan, memperhatikan gerak-gerik Mas Rendra dan ibu mertua. Sangat santai. Tidak ada keterkejutan dari Ibu, saat
"Apa, sih, Mas?" Aku memprotes tindakan Mas Rendra yang kembali mencekal lenganku. "Jangan ke sana, tidak sopan. Ini rumah Ibu, bukan rumah kita!" kilahnya. "Aku mau lihat ke sana!" Aku mencoba melepaskan diri dari Mas Rendra. Namun, semakin aku berusaha melepaskan tangannya, semakin erat pula cengkraman dia hingga akhirnya Ibu keluar dari ruangan yang ada di belakang kami seraya menggendong seekor kucing berbulu lebat. "Dia menjatuhkan piring dari meja makan," tutur Ibu seraya menurunkan hewan itu. "Tuh, kamu lihat sendiri. Hanya kucing." Mas Rendra menimpali. Aku diam dengan memperhatikan wajah Mas Rendra dan ibu mertua bergantian. Senyum yang disuguhkan wanita paruh baya itu tidak sama sekali membuat rasa ingin tahuku hilang. Justru semakin menggebu dan curiga jika Ibu hanya bersandiwara dengan membawa kucing sebagai alat kebohongannya. Melihat kediamanku, Mas Rendra pun mengendurkan pegangannya di tanganku. Dan tentu saja itu membuatku dengan mudah lepas dari dia, dan langs
"Kontraksi?" Aku mengulang kata yang baru saja disebutkan suamiku itu. Aku langsung memundurkan tubuh saat pandangan Mas Rendra menoleh ke arahku. Dengan cepat dan tanpa suara, aku pergi ke kamar sebelum dia mengetahui aku telah menguping pembicaraannya. Sepertinya aku tidak bisa mendesak Mas Rendra untuk bicara yang sejujurnya. Aku juga tidak yakin, jika dia akan mengatakan yang sebenarnya. Aku harus punya cara lain untuk bisa mengetahui rahasia yang ada di rumah ibu mertua. "Tsania." Aku terperanjat saat Mas Rendra tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Namun, buru-buru kusembunyikan rasa terkejutku dengan menghindari tatapan darinya. "Tsania, aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ibu. Oke, jujur aku emang sudah berbohong padamu," ujarnya lagi membuatku menatap dia. Mas Rendra maju beberapa langkah hingga akhirnya dia berada di depanku yang duduk di ujung ranjang. Dia pun ikut duduk, lalu menggenggam tanganku ini. Aku menariknya, tapi tidak berhasil melepaskan
[Wanita itu berjalan ke luar lewat pintu belakang, terus masuk ke bangunan kecil di belakang rumah mertuamu.]Sabrina kembali mengirimkan pesan beserta gambar sebuah bangunan yang lebih mirip seperti kandang. Entahlah itu gubuk atau apa, aku belum pernah melihatnya. Datang ke rumah Ibu pun, baru tadi dengan cara memaksa pula. [Oke, makasih, Sabrina,] balasku padanya. [Sama-sama. Kalau butuh bantuan apa pun, tinggal hubungi aku, ya? Selamat tidur, Tsania.]Pandanganku tak lepas dari foto yang diberikan Sabrina. Ternyata benar saja kecurigaanku, jika wanita itu kabur lewat pintu belakang. Sialnya, aku tidak menyadari itu saat di rumah ibu mertua. Pikiranku buntu karena amarah yang terlalu menggebu. "Sepertinya aku harus ke sana lagi," ucapku pelan, nyaris tanpa suara. Kupandangi wajah Mas Rendra yang sudah terlelap sejak tadi. Demi Tuhan aku tidak percaya jika laki-laki itu telah berkhianat. Dia bahkan tidak sendirian. Ibu mertua pun ikut andil dalam menutupi kebohongan putranya.
Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah Sabrina yang kebingungan. "Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu. "Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?" "Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya. Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri. Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari. Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini."Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?" Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina. Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku. Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan. "Sabar, Tsa. Aku tahu kamu ke