“Pak Kaisar tadi menelepon minta dibawakan mie goreng untuk sarapan pagi. Dari pada beli, saya bawa saja sisa masakan saya.” Retno langsung mendesah lega begitu mendengar jawaban itu. Walau tidak cukup memuaskan, tapi setidaknya tidak terlalu mencurigakan. Dia lupa kalau tidak ada sisa mie, selain yang dipiring. “Boleh Tante ikut mobil kamu gak? Banyak yang ingin Tante tanyakan soal Kaisar.” Erika tak langsung menjawab. Dia sedang mempertimbangkan beberapa hal terlebih dulu, sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin ini jadi kesempatan yang baik untuk mencari tahu beberapa hal atau bisa memprovokasi. “Sudah lama tinggal di sini?” Retno mulai berbicara setelah menelepon putra bungsunya, perihal perubahan rencana dadakan ini. “Apa mengetahui hal itu penting?” Erika menjawab sambil fokus pada jalanan. “Penting gak penting sih.” Retno meringis pelan. “Tolong tanyakan yang amat sangat penting saja,” balas Erika malas sekali melakukan percakapan ini. “Kalau tanya-tanya soal kantor bole
“Apa yang kau lakukan sampai ibuku menempel padamu?” Kaisar menggeram ketika Erika masuk ke ruangannya. “Tanyakan itu pada Pak Bima. Beliau yang membawa Bu Retno ke rumah saya,” Jawab Erika acuh saja, sambil meletakkan berkas yang perlu dikerjakan Kaisar. “Dan bagaimana bisa kau terpergok dengan Bima?” “Nah, itu juga saya ingin tanyakan pada Bu Retno. Sayangnya saya lupa.” “Kau bodoh atau apa sih? Maksud pertanyaanku di sini adalah apa yang kau perbuat dengan Bima, sampai ibuku tahu soal kau.” Erika mengangkat sebelah alisnya. Rasanya tadi pertanyaan Kaisar tidak seperti itu deh. Pria itu jelas-jelas hanya menanyakan ‘bagaimana bisa terpergok,’ bukan ‘apa yang dilakukan saat terpergok.’ “Saya bosan menolak Pak Bima, jadi saya menatang dia untuk mencium saya di tempat umum. Siapa sangka dia benar-benar melakukannya.” Erika memutuskan menjawab dengan nada cuek. Kaisar mengepalkan tangannya yang ada di bawah meja. Sungguh dia tidak suka mendengar hal itu langsung dari mulut sekre
Erika nyaris saja memekik kegirangan ketika dia berada di toilet. Dia sudah berhasil. Kaisar sepertinya sudah terprovokasi. Apalagi setelah dia mendengar tadi katanya ada Bima. “Dia pasti melihat kami ciuman dan akan marah, lalu bum...” Erika terkikik geli. “Okay. Jangan terlalu cepat senang, Erika. Ini semua belum berakhir dan mungkin sekarang waktunya cooling down sedikit.” Erika kini mengangguk menyetujui idenya. Setelah cukup lama berada di dalam bilik toilet untuk merayakan kemenangan tahap pertamanya. Agak berlebihan memang, tapi biarlah. Sekarang saatnya Erika bersantai sedikit. [Erika Bego: Bestie, jalan bareng yuk. Kali lalu kan kita terganggu, jadi kali ini mari kita bersenang-senang.] “Erika.” “Ya.” Erika mendonggak ketika mendengar namanya disebut. “Oh, Nyonya. Mau ketemu dengan Pak Kaisar?” Erika segera berdiri dari kursinya begitu melihat Flora. “Bukan.” Flora cepat-cepat menahan tangan Erika yang sudah berdiri hendak membuka pintu. “Aku butuh bantuanmu,” Flo
Bima mengusap dagunya dengan gusar. Dia harus memisahkan kakaknya dengan Erika, tapi bingung harus melakukan apa. Cara paling mudah tentu dengan mengungkap perselikuhan ini, tapi Bima tidak mau. Erika akan beresiko mendapat hujatan, bahkan mungkin akan ditampar jika ini terbongkar dan Bima tak mau itu terjadi. Dia tak mungkin membiarkan Erika terluka dalam bentuk apa pun. “Jadi aku harus ngapain buat merebut Erika?” Bima terus begumam. “Apa mungkin memaksa aja ya? Tapi gimana supaya dia gak takut ya?” Bima jadi makin bingung.*** “Apa sih yang membuatmu mau sama Kaisar?” tiba-tiba saja Cinta bertanya pada sahabatnya, Erika. Saat ini empat orang sahabat itu tengah berkumpul di penthouse Erika. Ini dilakukan agar mereka tidak mendapat gangguan lagi seperti kali lalu. Setidaknya mereka tidak akan tanpa sengaja bertemu dengan seseorang. “Gimana ya aku ngomongnya?” Bukannya menjawab, Erika malah bingung. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. “Katakan saja… ada sesuatu yang
Mata Erika memicing, menatap pria yang duduk di depannya dengan tatapan yang seolah siap memakan manusia hidup-hidup. Mau tidak mau, Bima meringis karenanya. “Sejak kapan aku jadi tunanganmu?” tanya Erika dengan nada ketus. “Pacaran saja tidak.” “Maaf,” gumam Bima pelan. Saat ini dia tidak mau berbuat yang aneh-aneh, karena sang mama juga ada di sana. “Sepertinya aku harus memberitahu satpam di lobi untuk tidak seenaknya membiarkanmu naik ke atas lagi.” “Loh, kenapa? Jangan gitu dong, Erika.” Bukan Bima yang menjawab, tapi Retno. Ya. Lelaki itu pada akhirnya memutuskan untuk melibatkan sang mama untuk menarik perhatian Erika, tanpa tahu yang terjadi di masa lalu. Dia pikir Erika akan luluh dengan sang mama karena merasa perempuan itu baik hati. “Bima hanya kaget karena melihat teman-temanmu. Dia berpikir mereka keluargamu. Itu hanya refleks kurasa,” Retno kembali menjelaskan. “Tapi saya tetap tidak suka dengan kedatangan tiba-tiba anda berdua yang sangat mengganggu. Kami sedang
“Eh, loh?” Lydia tertegun ketika mendengar seseorang menekan pin di pintu rumah Erika, saat baru kembali dari area dapur. “Ka? Ada yang tahu pin rumah kamu?” “Hah?” “Aku dengar ada yang menekan pin dan itu dia sudah masuk,” lanjut Lydia bertepatan dengan suara pintu yang terbuka. “Hah? Siapa?” Erika yang bingung langsung berdiri, hendak melihat siapa yang kira-kira menginvasi rumahnya. Dan betapa terkejutnya semua orang, ketika melihat seorang pria yang mereka kenal masuk dengan santainya. Pria itu adalah Kaisar dan dia langsung terkejut melihat banyak orang di ruang tamu. “Pak Kaisar ngapain ke sini?” tanya Erika dengan mata melotot. Tak ada yang menyangka pria itu akan muncul. “Aku... hanya berkunjung?” Kaisar malah bertanya saking bingungnya. “Berkunjung? Pengunjung mana yang langsung masuk begitu saja? Lagian tahu pin pintu ruumah i
Kening Erika berkerut ketika merasakan sinar matahari yang masuk dari celah tirai jendelanya. Dirinya yang masih mengantuk, memilih untuk berbalik. Erika tidak begitu merasakan lengan kekar yang menimpa pinggangnya dan dengan gerakan luwes, masuk ke dalam dekapan pria yang memeluknya. Perempuan dengan gaun tidur tipis dengan tali yang sudah terjatuh dari bahu itu, malah mengusapkan kepalanya ke dada bidang yang terasa nyaman dan hangat itu. Mencari posisi terbaik, lalu balas memeluk. ‘Tumben hari ini bisa tidur nyenyak,” Erika bergumam dalam hati, belum menyadari kalau sedari tadi dia memeluk seseorang. Sampai akhirnya Kaisar mengeratkan pelukannya dan membuat Erika tersadar ada yang salah. Ketika membuka mata, hal pertama yang Erika lihata dalah dada bidang Kaisar yang untungnya masih mengenakan kaos. “Tapi kenapa bisa ada di sini? Bukannya kemarin di kamar tamu ya?” “Jangan berisik! Aku masih mau tidur.” Entah Kaisar mengigau atau apa, tapi dia menegeratkan lagi pelukannya d
“Apa Tante mengganggu?” pertanyaan itu yang didengar Erika saat membukakan pintu. “Sangat,” jawabnya tanpa ragu masih dengan napas terengah. Setelah mengetahui siapa yang tadi menelepon, Erika dibantu Kaisar segera membereskan kekacauan yang ada. Perempuan itu bahkan hanya bisa menyambar jubah mandi yang disiapkan di area kolam renang untuk menutupi ketelanjangannya. Semua dilakukan dengan buru-buru karena Retno sedang naik lift menuju unitnya. “Rasanya saya sudah meminta Nyonya untuk berhenti datang.” Erika tetap menyingkir dari pintu, membiarkan Retno dan Bik Sum masuk. “Tumben Neng Erika telat bangunnya,” Bik Sum berbicara sambil menerawang ke arah kolam renang yang masih agak berantakan. Beberapa bagian lantai, masih ada yang basah. “Lagi pengen aja.” Erika mengedikkan bahunya dengan santai. “Tolong diberesin ya, Bik.” “Kamu sudah mandi kan, Ka? Habis re